NTT Terkini
NTT Gudang Kekerasan Seksual, KDRT dan TPPO
Kekerasan seksual anak masih menempati urutan pertama yakni 22 persen, diikuti dengan perceraian 21 persen dan KDRT 18 persen
Penulis: novemy | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Provinsi NTT merupakan gudang Kekerasan Seksual (KS), Tindak Pidana Perdagangan orang (TPPO), dan Kekerasan Dalam Rumah Rumah Tangga (KDRT). Sebab hingga saat ini ketiga kasus itu memiliki angka yang tinggi dalam penanganannya dan kasus ini menjadi momok bagi perempuan dan anak di Provinsi NTT.
Hal ini tergambar dalam catatan akhir tahun (Catahu) LBH APIK NTT yang disampaikan Direktris LBH APIK NTT, Ansi D Rihi Dara, SH, kepada wartawan di Sekretariat LBH APIK NTT, Kamis (23/1) pagi.
Ansi menjelaskan, Catahu LBH APIK NTT ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas segala aktifitasnya dalam setahun.
Selain wujud pertanggungjawaban publik, Catahu juga merupakan dasar bagi advokasi LBH APIK NTT atau Evident Based Advocacy dalam melakukan upaya pengurangan kasus berbasis gender atau gender based violent/GBV.
"Catahu yang diluncurkan ini berisi riset terhadap media yang meliput tentang kasus-kasus di NTT, secara khusus khasus GBV. Selain riset media, catahu juga berisi data pendampingan kasus perempuan dan anak yang dilakukan oleh LBH APIK NTT. Dalam catahu ini, Riset media dibandingkan dengan data pengaduan kasus untuk menemukan trend kasus di NTT," jelas Ansi.
Baca juga: Ada Pola Siklonik di Tenggara NTT, Begini Prakiraan BMKG di Dua Wilayah Pulau Flores
Dirincikan Ansi, data riset media menunjukkan bahwa kasus GBV dominan adalah kasus TPPO (20 persen), diikuti dengan kasus KDRT (18.5 persen) dan Kekerasan seksual pada anak (15,7 persen). Mirisnya, jelas Ansi, kasus TPPO, KDRT dan KS merupakan kasus dominan dari tahun ke tahun.
Hal yang sama juga nampak pada pengaduan yang masuk ke LBH APIK NTT.
"Dari total 78 kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT, Kekerasan seksual anak masih menempati urutan pertama yakni 22 persen, diikuti dengan perceraian 21 persen dan KDRT 18 persen," rinci Ansi.
Ansi menjelaskan, hasil riset LBH APIK NTT ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan kasus GBV belum maksimal dilakukan oleh Pemerintah NTT termasuk kabupaten/kota di dalam provinsi NTT.
"Tingginya kasus TPPO membuktikan bahwa Keputusan Gubernur NTT nomor 357/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Asal NTT, tidak efektif. "Malah moratorium pengiriman pekerja migran asal NTT ini menimbulkan masalah baru yakni tingginya angka TPPO di Provinsi NTT," katanya.
Lebih lanjut dijelaskan Ansi, kasus TPPO di NTT berdasarkan riset media terbesar berasa di kota kupang (43 persen), selebihnya terbagi pada kabupaten Manggarai Timur, Flores Timur, Nagekeo dan Sikka.
Data pengaduan kasus LBH APIK NTT memperlihatkan tingginya kasus perceraian di NTT. Hal ini menjadi “warning” bagi rumah tangga di provinsi NTT.
Data pengaduan kasus LBH APIK NTT juga memperlihatkan adanya korelasi antara tingginya angka perceraian dengan kasus KDRT. Dari total kasus perceraian, 87.5 persen disebabkan oleh KDRT. "Mirisnya lagi, eskalasi KDRT di NTT semakin meningkat menjadi kasus pembunuhan," kata Ansi.
Tahun 2024, ada enam kasus pembunuhan yang berlatarbalakang kebencian terhadap gender tertentu (femisida).
"Ada banyak faktor penyebab terjadinya femisida, namun pada kasus di NTT, umumnya, pelaku merasa bahwa perempuan adalah hak miliknya dan harus tunduk pada pelaku sebagai laki-laki atau kepala rumah tangga," katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.