Wisata NTT

Wisata NTT, Pertapaan Trappist Lamanabi, Spot Wisata Religi di Flores Timur - NTT

Kota Larantuka dikenal juga dengan sebutan Vatikan di Indonesia sebab ibu kota Kabupaten Fores Timur setiap menggelar prossi semana santa dalam ritua

Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
TRIBUNFLORES.COM/KRISTIN ADAL
Kapela di pertapaan Trappist Lamanabi di Desa Lamanabi, Kecamatan Tanjung Bunga. Destinasi wisata rohani yang berada sekitar 40 kilometer arah barat daya dari Larantuka, pusat kota Kabupaten Flores Timur. 

POS KUPANG.COM -- Kota Larantuka dikenal juga dengan sebutan Vatikan di Indonesia sebab ibu kota Kabupaten Fores Timur setiap menggelar prossi semana santa dalam ritual Perayaan Kisah Sengsara Yesus hingga disalibkan dan Kebangkita Yesus saay Minggi Pascah.

Ternyata wisata religi di Flores  Timur bukan hanya itu, ada post wisata religi lain yang juga menjasi spot baru kunjungan ke Flores Timur yaitu di Lamanabi.

Terdapayt sebua biara Katolik yang menjasi pertapaan para biawaran yang mendedikaskna diri untuk berdoa .

Pertapaan Trappist Lamanabi salah satu destinasi wisata religi di Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: Wisata NTT, Nikmatu Pesona Labuan Bajo dari Bukit Sylvia, Tak Lengkap Meski sudah ke TN Komodo

Pertapaan rohani ini berada di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebuah tempat pertapaan yang indah dengan kesunyian di ujung timur Pulau Flores.

Tempat pertapaan ini didirikan Ordo Cisterciensis Observansi Ketat atau Trappist di Desa Lamanabi, Kecamatan Tanjung Bunga. Sekitar 40 kilometer arah barat daya dari Larantuka, pusat kota Kabupaten Flores Timur.


Di tempat ini ada sebuah komunitas para rahib dari Biara Trappist yang menghabiskan waktu secara tersembunyi untuk berdoa dan saling melayani.

Nama Trappist berasal dari nama sebuah biara di Perancis ‘La Trappe’. Pengikut aliran corak bertapa di biara La Trappe tersebut lama kelamaan disebut para rahib ‘Trappist’.  Sementara nama Lamanabi dalam bahasa Lamaholot secara harafiah berarti kelompok suku (lama) yang bermukim di bukit (nabi/nubi). 

Untuk mengunjungi pertapaan Trappist Lamanabi, anda menyusuri perjalanan dari Larantuka. Melewati jalan sepanjang tepi pantai kemudian mendaki perbukitan yang berliku-berliku hingga tiba di pertapaan ini.

Satu hingga dua jam perjalan tidak terasa saat tiba di pertapaan Trappist Lamanabi. Perjalanan yang menguras tenaga ke destinasi ini disambut pemandangan alam yang asrih hingga arsitektur bangunan Pertapaan Trappist Lamanabi yang begitu indah.

Pertapaan yang juga berdiri di puncak bukit ini menyuguhkan lanskap perbukitan Lamanabi yang dipenuhi ilalang, pepohonan hijau dan laut Flores yang membentang luas.

Bukit bagi warga asli, merupakan tempat ritual kurban untuk berbakti kepada wujud tertinggi (Allah), maka Lamanabi mendapatkan arti simbolik sebagai bukit kurban.

Pesona bukit yang sakral ini menyatu dengan kesunyian pertapaan Trappist Lamanabi. Kesunyian inilah yang menjadi ciri khas pertapaan ini. 

Para rahib yang berdoa dalam kesunyian untuk memuji Tuhan namun mereka juga menerima tamu yang datang untuk berziarah di pertapaan Trappist Lamanabi .

Mereka juga mengizinkan pengunjung untuk menelusuri tiap sudut pertapaan yang berada di lahan seluas lima hektar ini. Termasuk untuk mengabadikannya dalam foto maupun video.

Di pertapaan ini pengunjung bisa membeli roti dan makanan ringan lainnya yang dibuat para rahib dan karyawan. Mereka juga membuat lilin, benda-benda devosional yang bisa dibeli tamu dan menyediakan penginapan untuk retret.

Gagasan Awal Pembangunan Pertapaan Trappist Lamanabi

Diketahui gagasan mendirikan pertapaan Trappist di keuskupan Larantuka bermula dari keinginan bapak uskup Larantuka Alm. Mgr Darius Nggawa, SVD. Pada tahun 1983 beliau secara tertulis mengundang Abas Pertapaan Rawaseneng, Alm. Romo Frans Harjawiyata, untuk membuka fundasi Pertapaan Rawaseneng di dusun kecil Lamanabi.

Lamanabi dalam bahasa Lamaholot secara harafiah berarti kelompok suku (lama) yang bermukim di bukit (nabi/nubi). Bukit bagi warga asli, merupakan tempat ritual kurban untuk berbakti kepada Wujud Tertinggi (Allah), maka Lamanabi mendapatkan arti simbolik sebagai Bukit Kurban.

Upacara peletakan batu pertama pembangunan pertapaan tahap pertama di Lamanabi yang dipimpin oleh Mgr Darius Nggawa dilangsungkan pada 9 Juni 1997.  Pada 29 September 1998 mereka sudah dapat mulai menjalankan hidup regular secara resmi. Oleh karena itu 29 September dianggap sebagai hari jadi Fundasi Lamanabi.

Dalam Kapitel Umum Ordo November 1999 yang dilangsungkan di Lourdes Perancis, Lamanabi diizinkan untuk mulai membuka novisiat. Dan dalam Kapitel Umum Oktober 2005 yang dilangsungkan di Assisi Italia, status Pertapaan Lamanabi ditingkatkan dari fundasi menjadi keprioran sederhana. (TribunFlores/*)

Baca berita lain di Pos Kupang.com KLIK >>> GOOGLE.NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved