Berita NTT

Pengamat Undana Nilai Hakim MK Tidak Berprinsip Hapus Parlemen Threshold 

Karena berbeda dengan keputusan sebelumnya. Apalagi, dua keputusan silang itu pada suatu perkara yang sama. 

|
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/HO
Pengamat Hukum Tata Negara Undana Kupang, Dr John Tuba Helan. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG  - Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana atau Undana Kupang, Dr John Tuba Helan menilai hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berprinsip. 

Sebab, MK justru menghapus ambang batas atau parlemen threshold 20 dan 25 persen pada tahapan Pemilu. Menurut John, keputusan MK kali ini bertentangan dengan putusan sebelumnya. 

"Itu dulu sudah digugat beberapa kali dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutuskan gugatan itu ditolak," kata John dihubungi, Kamis 2 Januari 2025.

Pengajar Fakultas Hukum Undana itu berkata, penolakan MK sebelumnya karena menganggap ambang batas yang berlaku tidak berseberangan dengan undang-undang dasar 1945. 

Baca juga: NTT Memilih, PSU TPS 02 Kadiwano dan Letekomouna, Sumba Barat Daya Berjalan Lancar

Dalam pengujian suatu undang-undang, rujukan utamanya ada di UUD. Selama UUD belum mengalami perubahan maka keputusan yang ada tidak bisa dianggap bertentangan. 

"Seingat saya itu sudah empat atau lima kali digugat oleh berbagai kalangan, dan diputuskan bahwa UU itu ditolak. Kalau sekarang seperti ini, apakah UUD 1945 itu sudah berubah atau tidak," katanya. 

Indonesia, kata dia, menganut sistem politik multi partai. Ambang batas menjadi konsep untuk membatasi pengajuan calon presiden. Dia sepakat dengan penerapan ambang batas 20 persen. 

Berbeda pada negara yang menganut sistem dwi partai. Hanya terdapat dua partai politik yang mengajukan calon presiden. Partai pemenang adalah peraih suara di atas 50 persen. Sebaliknya partai yang kalah berdiri sebagai oposisi. 

John menyebut MK saat ini tidak konsisten dengan keputusan. Karena berbeda dengan keputusan sebelumnya. Apalagi, dua keputusan silang itu pada suatu perkara yang sama. 

"Kalau seperti ini, maka MK itu tidak konsisten dengan keputusan sebelumnya. Jadi terhadap hal yang sama sudah diputus, itu tidak bertentangan tapi sekarang diputus bertentangan. Itu aneh juga," ujarnya. 

Sisi lain, John juga mengomentari mengenai pertimbangan MK perihal aturan ambang batas yang tidak jelas dan rasional. Baginya, penghitungan ambang batas sudah sangat mendetail dan mudah untuk dihitung. 

"Sangat tidak masuk akal kalau dengan pertimbangan hakim MK seperti ini," kata John. 

Dengan keputusan seperti ini maka pada Pemilu 2029, bisa saja ada puluhan calon presiden yang akan berkontestasi. Jika asumsi ada 30 partai politik, setidaknya ada 30 calon presiden yang bakal diajukan. 

John berpendapat, keputusan MK diawal tahun 2025 ini merupakan kecelakaan demokrasi. Disamping tidak adanya prinsip yang dimiliki para hakim MK dalam memutus uji materi dalam perkara ini. 

"Keputusan MK ini bagi saya merupakan suatu  kecelakaan dalam demokrasi. Menurut saya MK sendiri tidak punya prinsip dalam menyelesaikan perkara," kata John. 

Dia mengaku tidak masuk akal dengan pertimbangan dari para hakim MK. Harusnya perkara yang sama dan telah ditolak, pada gugatan selanjutnya harus ditolak. Sepanjang rujukan di UUD itu belum diubah. 

"Sekarang mereka menyatakan mengabulkan. Kalau saja ada gugatan baru ke depan maka mereka bisa memutuskan lagi itu ditolak. Menurut saya MK tidak punya prinsip memutus perkara," ujar dia. (fan) 

ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved