Ponco Sutowo: Ada Fenomena Baru Hukum Indonesia, No Viral No Justice

Saat ini ada kecenderungan baru, ada fenomena baru yang terjadi pada hukum Indonesia. Fenomena baru itu, adalah adalah no viral, no justice. Simak ini

Editor: Frans Krowin
ISTIMEWA/POS-KUPANG.COM
FENOMENA BARU – Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo membeberkan fakta baru tentang fenomena baru digital di Indonesia. No viral no justice. 

POS-KUPANG.COM -  Era digitalisasi yang berkembang demikian luar biasa di Indonesia saat ini, ternyata membawa pengaruh hingga ke dunia hukum. Saat ini ada kecenderungan baru yang terjadi pada hukum Indonesia, adalah no viral, no justice.

“Ini fenomena digital yang terjadi belakangan ini. Bahwa semacam ada tanda bahaya bagi kebangsaan kita, kalau public distrust atas hukum menguat, karena rakyat tidak lagi berharap hukum akan dapat melindungi hak dasar dan kepentingan mereka."

Dalam kondisi demikian, hukum potensial gagal menjadi instrumen kebangsaan yang melemahkan kesatuan kita dalam keindonesiaan.

"Mudah-mudahan upaya kita ini bermuara pada pencapaian tujuan nasional kita dan tugas konstitusional pemerintah, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tandasnya. 

Hal ini disampaikan Pontjo Sutowo, Ketua Aliansi Kebangsaan dalam FGD Kembali Ke Fitrah Cita Negara, dengan topik Mempersoalkan Paradigma Hukum Nasional: Mewujudkan Negara Hukum Pancasila di Jakarta, Jumat 13 Desember 2024.

Ia menyebutkan bahwa Pancasila merupakan dasar filosofis (philosofische grondslag). Pancasila juga sebagai ideologi negara, norma fundamental negara (staatfundamental norm), dan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila adalah Cita Hukum (Rechtsidee) Indonesia.

"Konstitusi Negara kita menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum  rechstaat, bukan negara kekuasaan machstaat," kata Pontjo dalam FGD Kembali Ke Fitrah Cita
Negara dengan topik Mempersoalkan Paradigma Hukum Nasional: Mewujudkan Negara Hukum Pancasila, Jumat 13 Desember 2024.

Pontjo menyebutkan bahwa sebagai negara hukum dan sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia tentunya secara ideal dan faktual memiliki sistem hukum nasionalnya sendiri yang berbasis pada jatidiri.

Kemudian berbasis kepribadian bangsa, filosofi, dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat Indonesia sendiri, yang semuanya terkristal dalam Pancasila.

Pada aras ideal, sistem hukum kita itu berdiri di atas pada Pancasila sebagai norma dasar
(grund norm), sehingga jika kita menemukan hal-hal yang mesti kita pertanyakan pada aras faktual,
maka dasar untuk ‘kembali’, mempersoalkan, dan memperbaikinya adakah dengan merujuk pada
Pancasila.

Sebab, Pancasila di samping sebagai sumber hukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of ethics) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pancasila merupakan ruh bagi hukum dasar kita (the spirit of the constitution), yang
mengalami penubuhan atau embodiment dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis.

Dengan demikian, Pancasila menjadi paradigma sistem hukum nasional, yang menjiwai substansi, kerangka sistem hukum nasional, dan dalam derivasi ke dalam peraturan perundangan-undalangan pada tingkat yang lebih rendah serta implementasinya.

"Meminjam kerangka Friedman, Pancasila mendasari substance, structure, dan legal culture dalam sistem hukum nasional Indonesia," ujarnya.

Dalam rumpun pengetahuan, teori, dan filsafat hukum, lanjutnya, dikenal doktrin bahwa hukum merupakan instrumen untuk melakukan rekayasa sosial, law as tool of social engineering.

Hal ini sebagaimana keyakinan para ahli dalam mazhab hukum sosiologis, yang dipelopori utamanya oleh Roscoe Pound.

Pada pokoknya, mazhab hukum ini mengajarkan bahwa tatanan ideal masyarakat harus dibentuk dan dilahirkan melalui hukum.

Jadi hukum memiliki fungsi manufacturing dan membentuk tatanan sosial.

Namun, aspek yang jarang sekali diperbincangkan dalam dunia akademik dan praksis hukum
kita adalah bahwa hukum merupakan instrumen kebangsaan.

Agenda Perbaharui Hukum Nasional

Pontjo menjelaskan, hukum di Indonesia idealnya memiliki fungsi untuk memperkuat keindonesiaan dan peradaban sosial bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, sangat relevan lagi urgen, untuk merefleksikan paradigma hukum nasional Indonesia.

Apakah ia semata-mata dibangun berdasarkan warisan kolonialisme Belanda yang visi utamanya mewujudkan ketertiban umum dalam sebuah koloni untuk menunjang agenda-agenda kolonialisme?

Ataukah kita sudah secara serius mengikhtiarkan agar paradigma hukum kita diikhtiarkan untuk mengokohkan kebangsaan Indonesia dan bervisi pada upaya untuk membangun bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan Makmur.

"Kalau kita cermati substansi, struktur, dan kultur hukum kita, banyak hal yang masih harus kita upayakan agenda untuk memperbarui hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai dan jatidiri bangsa Indonesia masih harus terus dilakukan," tutur Pontjo.

"Namun dalam kenyataannya hingga kini, untuk sebagian besarnya, Indonesia masih mewarisi paradigma civil law dari hukum kolonial Belanda," tambahnya.

Pontjo menjelaskan, memang dalam perkembangannya Indonesia juga mengadopsi sebagian unsur dari tradisi common law, terutama prinsip rule of law.

Namun dalam praktiknya yang lebih dominan dalam dunia hukum kita adalah karakter civil law tersebut.

Paradigma civil law diimplementasikan melalui tradisi hukum positivistik, legal-formal, terikat pada teks UU sebagai sumber hukum, dan mengedepankankepastian hukum.

Tradisi ini cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Tradisi positivis menganggap hukum yang dibentuk oleh penguasa secara legal-formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertulis (legislated law) merupakan satu-satunya sumber hukum.

Ruang bagi hukum yang hidup di tengah masyarakat tidak banyak diakomodasi.

Betul bahwa sudah ada upaya untuk mengakomodasi secara sporadis hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, living law, dalam KUHP baru kita.

Namun, secara umum hal itu tidak mengurangi kecenderungan utama hukum kita yang positivistik dan legal-formal. 

Tradisi hukum yang terlalu positivistik dan legal formal akan sangat bias kekuasaan politik,
karena seringkali produk hukum yang dihasilkannya cenderung menjadi corong kepentingan
pembentuknya (yaitu eksekutif dan legislatif).

Tradisi ini tentu saja berpijak pada salah satu doktrin utama bahwa hukum adalah produk politik dan dalam praktiknya hukum mudah tergelincir sebagai sarana legalisasi dan legitimasi kepentingan penguasa.

Pada kadar tertentu, hukum lalu menjadi instrumen kekuasaan.

Hukum lalu dengan gampang dimanfaat sebagai alat penguasa yang sering disebut oleh teoritikus hukum kritis sebagai autocratic legalism.

Kecenderungan legalisme otokratis berkorelasi dengan merosotnya demokrasi serta pengabaian kedaulatan rakyat dan keadilan sosial kita.

Indeks demokrasi dan tata kelola kedaulatan  rakyat dan keadilan yang merosot, yang ditandai dengan demokrasi ‘cacat’, flawed democracy, dan menyempitnya ruang warga, shrinking civic space, ternyata juga diikuti dengan stagnannya indeks negara hukum Indonesia.

No Viral No Justice

Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law) 2024 dari World Justice Project (WJP), indeks negara hukum Indonesia mengalami stagnasi alias jalan di tempat, sejak tahun 2015 dengan skor indeks 0,51 hingga tahun 2024 dengan skor 0,53.

Di sisi lain, terdapat persoalan yang lebih mendasar, yang mana Pancasila sebagai cita hukum
atau rechtsidee, sebagai norma dasar atau grundnorm, dan sebagai ruh hukum dasar atau spirit of
constitution, belum sungguh-sungguh menjadi panduan dalam pembentukan sistem hukum nasional.

Di ranah substansi hukum, banyak Undang-Undang yang dipersoalkan karena hanya berpihak pada
kepentingan elite dan meminggirkan hak-hak dasar rakyat, misal hak ulayat masyarakat adat.

Pada ranah penegakan hukum teramat sering kita mendengar grievance bahwa “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”.

Baca juga: Usai Batalkan Gugatan ke MK, Kini Ridwan Kamil-Suswono Akui Kemenangan Pramono Anung

Fenomena digital belakangan ini menunjukkan fenomena baru “No Viral No Justice”.

Ini semacam tanda bahaya bagi kebangsaan kita kalau public distrust atas hukum menguat, karena rakyat tidak lagi berharap hukum akan dapat melindungi hak dasar dan kepentingan mereka.

Dalam kondisi demikian, hukum potensial gagal menjadi instrumen kebangsaan yang melemahkan kesatuan kita dalam keindonesiaan.

"Mudah-mudahan upaya kita ini bermuara pada pencapaian tujuan nasional kita dan tugas konstitusional pemerintah, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tandasnya. (*)

Ikuti Pos-Kupang.Com di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved