Imigran Ilegal

Kisah Nelayan Rote yang Jadi Penyelundup Manusia

Untuk memanfaatkan jasa nelayan Papela, imigran ilegal menggunakan perantara di luar Pulau Rote.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-POLRES ROTE NDAO
Kapal motor yang mengangkut imigran ilegal terdampar di Pantai Sonimanu, Desa Sonimanu, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Senin (8/7/2024). 

POS-KUPANG.COM - Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT ) menjadi daya tarik bagi para imigran ilegal asal Afghanistan, Iran, Irak, dan Bangladesh. Karena Rote sebagai pulau paling selatan Indonesia dan paling dekat dengan wilayah Australia ini dianggap sebagai jalur terdekat dan termudah bagi para pencari suaka ilegal untuk masuk ke wilayah Australia. 

Secara geografis, negara Indonesia terutama Provinsi NTT merupakan posisi yang sangat strategis karena berada di antara Benua Australia dan Benua Asia. Provinsi NTT merupakan yang terdekat sehingga menjadi jalur terakhir menuju Australia. Jika menempuh perjalanan dengan perahu motor dari Desa Papela, Kecamatan Rote Timur, hanya butuh waktu tiga hari untuk tiba di Pulau Pasir atau Ashmore Reef, Australia. Karena begitu dekat, para nelayan dari Desa Papela kerap menangkap ikan hiu untuk diambil siripnya dan mencari teripang di sekitar Pulau Pasir. Merekalah yang mengendalikan jalur tersebut. Wilayah perairan Australia juga menjadi arena bermain bagi para nelayan Papela.

Posisi strategis Pulau Rote ( NTT ) dan pengetahuan nelayan setempat dalam mengenali jalur pelayaran menuju Australia menjadi peluang bagi para imigran gelap untuk memilih lokasi ini sebagai titik transit potensial untuk menyeberang. Mereka tidak khawatir terombang-ambing di tengah laut, kehabisan makanan dan bahan bakar. Mereka tidak takut kapal motor tenggelam atau dihantam ombak akibat cuaca ekstrem. Meski sadar nyawa mereka terancam, mereka tetap berani bermigrasi secara ilegal melalui jalur laut ini.

Untuk memanfaatkan jasa nelayan Papela, para imigran ilegal menggunakan perantara yang berada di luar Pulau Rote. Beberapa perantara diketahui berada di Makassar, Sulawesi Selatan. Para perantara tersebut kemudian mengajak para nelayan Papela untuk menjadi nakhoda dan merekrut anak buah kapal (ABK). Tugas lain yang dilakukan para perantara tersebut adalah menyiapkan kapal motor, bahan bakar, logistik (termasuk makanan), dan mengatur biaya jasa bagi nakhoda dan ABK.

Muhammad Yamin Noto (45), nelayan Desa Papela, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, pernah membawa imigran ilegal ke Pulau Pasir atau Ashmore Reef Australia.
Muhammad Yamin Noto (45), nelayan Desa Papela, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, pernah membawa imigran ilegal ke Pulau Pasir atau Ashmore Reef Australia. (POS-KUPANG.COM/MARIO TETI)

Beberapa contoh kasus yang terungkap dari nelayan yang tertangkap: 

Muhammad Yamin Noto (45), warga Rukun Tetatan (RT) 15 Desa Papela, membawa 37 imigran gelap ke Ashmore Reef pada tahun 2009. Bertindak sebagai kapten, Yamin digaji sebesar Rp30 juta. Dua orang anak buah kapal (ABK) yang bersama Yamin masing-masing menerima Rp15 juta.

Awalnya, Yamin dihubungi oleh temannya yang tinggal di Makassar. Teman Yamin yang juga berasal dari Pulau Rote mengabarkan bahwa dirinya tengah mencari kapten untuk mengangkut imigran gelap. Yamin yang baru saja pulang dari Australia setelah bebas dari penjara karena kasus pencurian ikan langsung menerima tawaran tersebut. Hatinya luluh setelah dijanjikan puluhan juta rupiah. Istri dan anak-anaknya pun menyetujui pekerjaan tersebut. Yamin menerima tawaran tersebut, lalu merekrut dua orang anak buah kapal.

Dari Papela, Yamin beserta dua orang ABK diberangkatkan ke Kupang dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Makassar – Sulawesi Utara dengan pesawat. Sesampainya di Makassar, mereka dijemput dan diantar ke sebuah hotel selama empat malam. Yamin berkesempatan bertemu dengan seorang pria yang disebutnya sebagai 'si bos besar'. Si bos menanggung biaya perjalanan, akomodasi, dan makan selama di Makassar. Dalam pertemuan yang berlangsung di rumah si bos, mereka menyepakati biaya pengiriman imigran gelap ke Australia. Kemudian Yamin beserta dua orang ABK dibawa ke sebuah pelabuhan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Di sana, sebuah kapal telah siap. Para imigran gelap itu sudah berada di dalam kapal dan mereka langsung berlayar menuju Australia. Namun, saat hendak memasuki perairan Ashmore Reef, mereka tertangkap oleh Coast Guard Australia.

Syarif bin Simmi (68) juga pernah mengangkut imigran gelap pada tahun 1999. Saat itu, Syarif berusia 42 tahun, bertugas sebagai crew engineer dan digaji sebesar Rp 20 juta. Menurut Syarif, nakhoda kapalnya digaji Rp 30 juta dan dua orang ABK masing-masing mendapat Rp 15 juta.

Syarif bersama nakhoda dan ABK dijemput di Papela, kemudian dibawa ke Kota Kupang. Dari Kupang, mereka dibawa ke Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Kemudian, dengan kapal motor Morisama menuju Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat kapal Morisama tiba di Pelabuhan Labuan Haji, sebanyak 80 orang imigran naik, dan kapal motor tersebut langsung berlayar menuju Australia. Setelah berlayar selama dua hari dua malam, mereka ditangkap oleh Coast Guard Australia di sekitar perairan Ashmore Reef.

Dahlan Karabi (47) dua kali mengangkut imigran gelap. Pertama pada Februari 2000, mengangkut 47 imigran dengan kapal motor Budi Murni. Mereka dicegat di dekat Ashmore Reef pada 11 Februari 2000. Kasus kedua terjadi pada tahun 2009 saat Dahlan berperan sebagai kapten kapal penyelundup imigran gelap ke Australia.

Bagi Dahlan, Syarif, dan Yamin, mereka menerima tawaran untuk membawa imigran gelap ke Ashmore Reef, karena faktor ekonomi dan keputusasaan. Mereka membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membiayai pendidikan anak-anak, dan melunasi utang-utang mereka. Karena tuntutan ekonomi tersebut, mereka terpaksa melanggar aturan. Mereka sadar bahwa pekerjaan tersebut berisiko dipenjara, disiksa, atau bahkan dibunuh. Namun, demi kelangsungan hidup keluarga, konsekuensi tersebut diabaikan.

Penyelundupan imigran berakhir dengan penangkapan oleh aparat keamanan. Jika tertangkap, kapal mereka akan disita dan dimusnahkan. Sementara itu, bagi pelaku yang melanggar dan tertangkap, akan dituntut dan berakhir mendekam di penjara. Yamin dijatuhi hukuman penjara dan dibebaskan pada tahun 2013. Syarif dijatuhi hukuman 18 bulan penjara, dibebaskan pada bulan September 2001. Mereka tidak menyangka hukuman seberat itu. Awalnya, mereka membayangkan hukuman ringan hanya tiga bulan.

Kapal motor pembawa imigran ilegal terdampar di Pantai Pengodua, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Senin (8/7/2024)..
Kapal motor pembawa imigran ilegal terdampar di Pantai Pengodua, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Senin (8/7/2024).. (POS-KUPANG.COM/HO-POLRES ROTE NDAO)

Beratnya hukuman tersebut memberikan efek jera. Hidup di penjara di negeri asing, jauh dari istri dan anak-anak, membuat mereka sadar. Setelah kembali ke Papela, Yamin, Syarif, dan Dahlan tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Meski ada tawaran lain sebesar Rp 100 juta, mereka tak tergoda. Mereka tak tergiur dengan jumlah uang yang fantastis. Nelayan Papela pun mulai menyadari risikonya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah perilaku kasar para pendatang. Jika perahu motor melaju ke arah yang salah, para pendatang akan sangat marah. Para pendatang tak segan-segan menganiaya orang lain, bahkan mendorong atau melempar kapten dan awaknya ke laut.

Faktor lainnya, aparat keamanan di NTT makin ketat. Setiap upaya penyelundupan orang ke Australia dengan perahu motor berhasil digagalkan. Selama tiga tahun terakhir (2022-2024), Polres Rote Ndao berhasil mengungkap sejumlah kasus imigran gelap. Pada Mei 2024, anggota Polres Rote Ndao menangkap dua orang imigran Tiongkok di Perairan Landu, Kabupaten Rote Barat Daya, yang berupaya melakukan migrasi ilegal.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved