Pilkada Timor Tengah Utara
Tanggapi Turunnya Partisipasi Pemilih pada Pilkada 2024, Ini Penjelasan Akademisi Universitas Timor
pihak-pihak tertentu yang memiliki kuasa. Jika demikian, hal ini sebatas masuk dalam kriteria demokrasi prosedural.
Penulis: Dionisius Rebon | Editor: Rosalina Woso

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Dionisius Rebon
POS-KUPANG.COM, KEFAMENANU - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Timor, Dian Festianto, S.Ip., MA menjelaskan, kualitas partisipasi politik akan memberikan dua implikasi bagi pencapaian kualitas pemilu.
Pertama, apakah pemilu sekedar rutinitas reguler lima tahunan atau sekedar mencerminkan demokrasi prosedural dan kedua, apakah pemilu mampu menjadi instrumen politik yang bisa mewujudkan demokrasi substansial.
"Namun sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu saya sampaikan tentang batasan partisipasi dari kacamata akademik, sehingga kita jangan menyederhanakan apa itu partisipasi politik,"ujarnya, Senin, 9 Desember 2024.
Merujuk pendapat Samuel Huntington ada dua tipe partisipasi politik yaitu; partisipasi yang dimobilisasi dan partisipasi yang otonom. Jika sekedar menggunakan parameter kuantitas, yaitu warga negara yang telah memiliki hak memilih terdaftar dalam DPT dan semua atau sebagian besar datang ke TPS itu sudah memenuhi.
Baca juga: Dua Pengacara Timor Tengah Utara Kalahkan Polres Malaka dalam Sidang Praperadilan
Tidak semua masyarakat yang datang ke TPS karena faktor intrinsik yaitu atas kesadaran sendiri. Bisa saja mereka datang ke TPS karena dipengaruhi oleh pihak lain baik dalam bentuk persuasif atau represif, secara akademik hal ini masuk dalam kategori mobilisasi.
Pemilih datang ke TPS sekedar merespon dorongan faktor eksternal. Dorongan itu bisa berupa money politics dengan berbagai variannya atau dorongan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kuasa. Jika demikian, hal ini sebatas masuk dalam kriteria demokrasi prosedural.
"Sebaliknya, jika warga negara mampu menggunakan hak pilihnya secara otonom atas inisiatif dan kesadaran sendiri, tanpa dipengaruhi oleh pihak luar, itu baru masuk dalam kategori partisipasi. Sehingga pemilih memiliki kebebasan menentukan pilihan politiknya secara otonom," ucapnya.
Jika hal ini yang terjadi maka, pemilu mampu menjadi instrumen politik untuk mewujudkan demokrasi substansial, karena pemilu jauh lebih berkualitas.
Batasan ini yang selalu luput dari perhatian semua pihak , sehingga selalu terjebak dalam batasan yang pertama dan itu selalu menjadi parameter keberhasilan pemilu.
Dari kacamata akademik, Dian merasa persoalan ini menunjukkan adanya fenomena baru dalam pelaksanaan politik elektoral di TTU. Baginya hal ini wajar, karena masyarakat itu sangat dinamis dan selalu mengalami perubahan.
"Bisa saja itu menyangkut problem representasi, masyarakat merasa tidak terwakili dengan para kandidat bupati dan wakil bupati yang diusung oleh partai politik,"ujarnya.
Namun, bisa saja hal ini disebabkan oleh meningkatnya fenomena pragmatisme akibat kemiskinan dan rendahnya pendidikan masyarakat.
Di sisi lain, hal ini bisa saja terjadi sebaliknya dimana faktor penyebab rendahnya jumlah masyarakat memberikan hak suara karena meningkatnya kesadaran dan pendidikan masyarakat sehingga mereka semakin rasional.
Masyarakat yang rasional akan jauh lebih kritis dalam menilai para kandidat, apakah para kandidat tersebut layak memimpin atau tidak. Biasanya kelompok ini, akan memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya ketika tidak ada satupun kandidat yang memenuhi kriterianya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.