Breaking News

Opini

Opini: Ekosofi Mutis dan Lilin Kematian Nurani

Naskah akademik yang dihasilkan harus melibatkan beberapa disiplin, tidak cukup planologi dan geografi tetapi juga sosiologi dan antropologi.

Editor: Agustinus Sape
DOK. POS-KUPANG.COM
Antonius Nesi, Dosen Prodi PBSI, FKIP, Unika St. Paulus Ruteng; Kandidat Doktor Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang. 

Pemanenan hasil hutan seperti madu, sayuran paku, jamur ampupu, dan sebagainya, pun tidak pernah rebutan. Siapa saja yang kebetulan bisa memanjat pohon, tapi hasilnya pun kemudian dibagi dengan tetangga di sekitar. Sesekali, itu dipasarkan di kota.

Apakah otoritas pemerintah mau ambil alih yang beginian? Sesungguhnya, masyarakat cukup difasilitasi agar mereka bisa berdaya saing sehingga hasil pertanian dan peternakan dapat memberdayakan ekonomi, sekaligus menjadi penciri daya saing di tingkat nasional. 

Sungguh miris ketika dibangun wacana bahwa di sekitar Mutis telah terjadi perambahan hutan, penggembalaan ternak secara ilegal, penebangan pohon yang makin masif, dan potensi penambangan ilegal. Siapa pelakunya?

Sampai titik inilah saya teringat pakar ekolinguistik abad ini, Arran Stibbe. Stibbe (2015) berhasil mengaitkan antara konstruksi bahasa dengan destruksi ekologi. Stibbe menyibak bahwa narasi-narasi, iklan, juga wacana-wacana yang dibangun pihak tertentu, termasuk produk-produk kebijakan pemerintah, patut dicurigai sebagai konstruksi untuk melegitimasi kepentingan sekaligus menghancurkan ekosofi lokal. 

Lilin Kematian 

Di pendopo gedung DPRD TTU yang didesain menyerupai rumah adat Atoin Meto (Uim Bubu), kumpulan mahasiswa dari berbagai elemen dan masyarakat adat yang melakukan demonstrasi jilid II pada Kamis (14/11) menyalakan beberapa batang lilin sambil menyanyikan lagu kematian.

Aksi itu menyimbolkan matinya nurani dan logika wakil rakyat yang tidak pernah melihat realitas ketidakadilan, serta Pemda yang turut mengampanyekan dukungannya untuk penurunan status Mutis menjadi TN. Harapan mereka satu, “Kembalikan Mutis sebagai CA”.  

Ada pula spanduk tertulis, “Kami tidak butuh kajian ilmiah”. Hal itu disebabkan di dalam Salinan SK KLHK 946 ditulis bahwa ada tim Terpadu yang telah melakukan penelitian hingga merekomendasikan status Mutis dari CA menjadi TN.

Saya kemudian teringat kembali pada prinsip-prinsip dasar ekosofi. Agar terjadi keharmonisan, kajian untuk penurunan status Mutis tidak cukup dengan satu pendekatan. 

Dalam menangani isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan ekologi dibutuhkan kajian interdisipliner, tidak sekadar “mengukur luas lahan” lalu membuat “klaim”.

Rekomendasi saya untuk Tim Terpadu: Naskah akademik yang dihasilkan harus melibatkan beberapa disiplin, tidak cukup planologi dan geografi tetapi juga sosiologi dan antropologi.

Dua disiplin yang terakhir ini penting karena manusia pada dasarnya selalu terikat dengan struktur sosial, budaya, dan alam.

Hasil kajian juga harus dipublikasikan secara terbuka agar dapat diakses masyarakat luas. Jangan sampai nanti ada “lilin kematian” untuk para peneliti!*

Baca juga: Politik Gelap dan Sakralitas Mutis

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved