Opini

Opini: Ekosofi Mutis dan Lilin Kematian Nurani

Naskah akademik yang dihasilkan harus melibatkan beberapa disiplin, tidak cukup planologi dan geografi tetapi juga sosiologi dan antropologi.

Editor: Agustinus Sape
DOK. POS-KUPANG.COM
Antonius Nesi, Dosen Prodi PBSI, FKIP, Unika St. Paulus Ruteng; Kandidat Doktor Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang. 

Oleh Antonius Nesi
Dosen Unika St. Paulus Ruteng; Kandidat Doktor Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa; Universitas Negeri Semarang

POS-KUPANG.COM - Cara pandang bahwa hamparan hutan seperti Mutis harus dikelola dengan tangan besi untuk mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, serta eksploitasi kemiskinan untuk mengembangkan sektor pariwisata di tengah lanskap alam masyarakat agraris yang sangat terikat pada adat istiadat dan budaya leluhur merupakan perspektif shallow ecology.

Perspektif shallow ecology berisi seperangkat penanganan terhadap ekologi secara dangkal. Halusinasi yang teramat tinggi pada ‘kesejahteraan bersama’, tetapi sesungguhnya untuk ‘kesejahteraan diri’ sehingga abai pada realitas keadilan sosial adalah modus operandi dari shallow ecology itu.

Lantas, atas nama kesejahteraan bersama, kebijakan diselundupkan sebagai solusi pragmatis untuk mengamankan ambisi diri dalam rangka menggapai kepentingan jangka panjang, tetapi yang lebih dekat, ialah kepentingan jangka pendek.

Arnae Naess, filsuf asal Norwegia,  sudah pada abad yang lalu mengampanyekan bahwa perspektif shallow ecology harus ditentang melalui prinsip-prinsip ecosophy, filsafat keharmonisan.

Di dalam filsafat itu dimuat mengenai konsep-konsep dan metodologi tentang keselarasan seluruh organisme hidup, termasuk solusi-solusi konkret dari manusia untuk mengatasi destruksi ekologi. 

Naess (1973) menentang perspektif ekologi dangkal dengan prinsip deep ecology. Prinsip deep ecology menekankan nilai-nilai intrinsik semua organisme dalam suatu zona, termasuk makhluk berakal budi, manusia.

Prinsip ini, karena itu, mengakomodasi logika dan hati nurani manusia untuk menyajikan pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap kearifan lokal, spiritual, dan etis dalam mengeksplorasi suatu fenomena untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkeadilan bagi segenap makhluk. 

Ekosofi Mutis

Mutis mengalirkan air. Air Mutis telah menghidupi masyarakat agraris di sekitar wilayah Mutis sejak berabad-abad. Pada 1990-an, ketika Air Mutis dimanfaatkan Pemda (TTU dan TTS) untuk Perusahaan Air Minum (PAM) hingga dinikmati masyarakat di ibu kota kabupaten, masyarakat sekitar Mutis tidak pernah protes. Wacana yang dibangun kala itu, sekali lagi, “untuk kesejahteraan bersama”.

Sejak awal, masyarakat sekitar Mutis juga harus membayar iuran PAM. Mereka, sekali lagi, tidak protes. Bagi mereka, air Mutis bukanlah milik eksklusif tetapi sebagaimana ia mengalir jauh sampai ke selatan Belu dan Malaka, adalah “milik” komunal.

Sudah sejak berabad-abad pula, tugas masyarakat sekitar Mutis adalah menjaga dan melestarikan sumber air. Masyarakat sekitarnya harus memastikan bahwa lingkungan alam Mutis tetap utuh, tidak diganggu oleh siapa pun. Apabila terjadi kerusakan lingkungan, harus ada perbaikan melalui penghijauan. Tidak ada perburuan liar terhadap setiap jenis binatang di sekitarnya termasuk rusa timor (servus timorensis).

Sebelum Pemerintah menjadikan Mutis sebagai CA, masyarakat adat sekitar wilayah Mutis sudah terlebih dahulu melakukan konservasi, pelarangan terhadap penebangan, dan mewaspadai kebakaran dengan cara-cara mereka sendiri (local wisdom). 

Selain bertani, masyarakat sekitar Mutis juga menggembalakan sapi (zaman dahulu kerbau). Setiap klan atau suku melepaskan sapi miliknya dan menandai setiap ekor dengan “malak” (semacam cap). Tidak pernah ada konfllik horizontal di antara mereka meskipun puluhan ekor sapi dilepas dan seekor kemudian bergabung dengan gerombolan sapi milik suku lain. Mereka cukup melihat malak di punggung sapi dan kemudian mengembalikannya. Mereka hidup harmonis.

Bukankah Timor termasuk salah satu daerah penyuplai sapi terbesar di tingkat nasional? Catatan BPS Nasional, sebagaimana disitir Kompas (9/12/2021), Timor masuk urutan kelima penghasil sapi terbanyak di Indonesia dengan jumlah 1.248.930 ekor. Sayangnya, hal seperti itu tidak dilirik sebagai “potensi” daerah, tetapi justru dituduh sebagai “penggembalan liar” (Salinan SK KLHK Nomor 946 Tahun 2024, hal 3).  

Pemanenan hasil hutan seperti madu, sayuran paku, jamur ampupu, dan sebagainya, pun tidak pernah rebutan. Siapa saja yang kebetulan bisa memanjat pohon, tapi hasilnya pun kemudian dibagi dengan tetangga di sekitar. Sesekali, itu dipasarkan di kota.

Apakah otoritas pemerintah mau ambil alih yang beginian? Sesungguhnya, masyarakat cukup difasilitasi agar mereka bisa berdaya saing sehingga hasil pertanian dan peternakan dapat memberdayakan ekonomi, sekaligus menjadi penciri daya saing di tingkat nasional. 

Sungguh miris ketika dibangun wacana bahwa di sekitar Mutis telah terjadi perambahan hutan, penggembalaan ternak secara ilegal, penebangan pohon yang makin masif, dan potensi penambangan ilegal. Siapa pelakunya?

Sampai titik inilah saya teringat pakar ekolinguistik abad ini, Arran Stibbe. Stibbe (2015) berhasil mengaitkan antara konstruksi bahasa dengan destruksi ekologi. Stibbe menyibak bahwa narasi-narasi, iklan, juga wacana-wacana yang dibangun pihak tertentu, termasuk produk-produk kebijakan pemerintah, patut dicurigai sebagai konstruksi untuk melegitimasi kepentingan sekaligus menghancurkan ekosofi lokal. 

Lilin Kematian 

Di pendopo gedung DPRD TTU yang didesain menyerupai rumah adat Atoin Meto (Uim Bubu), kumpulan mahasiswa dari berbagai elemen dan masyarakat adat yang melakukan demonstrasi jilid II pada Kamis (14/11) menyalakan beberapa batang lilin sambil menyanyikan lagu kematian.

Aksi itu menyimbolkan matinya nurani dan logika wakil rakyat yang tidak pernah melihat realitas ketidakadilan, serta Pemda yang turut mengampanyekan dukungannya untuk penurunan status Mutis menjadi TN. Harapan mereka satu, “Kembalikan Mutis sebagai CA”.  

Ada pula spanduk tertulis, “Kami tidak butuh kajian ilmiah”. Hal itu disebabkan di dalam Salinan SK KLHK 946 ditulis bahwa ada tim Terpadu yang telah melakukan penelitian hingga merekomendasikan status Mutis dari CA menjadi TN.

Saya kemudian teringat kembali pada prinsip-prinsip dasar ekosofi. Agar terjadi keharmonisan, kajian untuk penurunan status Mutis tidak cukup dengan satu pendekatan. 

Dalam menangani isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan ekologi dibutuhkan kajian interdisipliner, tidak sekadar “mengukur luas lahan” lalu membuat “klaim”.

Rekomendasi saya untuk Tim Terpadu: Naskah akademik yang dihasilkan harus melibatkan beberapa disiplin, tidak cukup planologi dan geografi tetapi juga sosiologi dan antropologi.

Dua disiplin yang terakhir ini penting karena manusia pada dasarnya selalu terikat dengan struktur sosial, budaya, dan alam.

Hasil kajian juga harus dipublikasikan secara terbuka agar dapat diakses masyarakat luas. Jangan sampai nanti ada “lilin kematian” untuk para peneliti!*

Baca juga: Politik Gelap dan Sakralitas Mutis

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved