Konflik Laut China Selatan

Pernyataan Bersama Prabowo-Xi soal LCS Menuai Reaksi di Indonesia

Poin 9 pernyataan bersama Presiden Prabowo Subianto-Presiden Xi Jinping menimbulkan persepsi Indonesia akui klaim kedaulatan China di LCS.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS
Sambut Hangat Prabowo di China, Xi Jinping Berkomitmen Rekatkan Hubungan Baik dengan Indonesia. 

Eddy mengatakan, dengan posisi baru Indonesia ini, pemerintah berpotensi bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku, khususnya Pasal 8 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Aturan perundangan itu tidak menyebutkan adanya batas maritim dengan China seperti yang diindikasikan dalam pernyataan bersama tersebut.

Pasal 10 peraturan UU tersebut juga mensyaratkan penetapan batas wilayah negara harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundangan, termasuk di dalamnya perundingan. ”Kita tidak berbatasan dengan China. Hanya ada dengan Papua Niugini, Australia, Thailand, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Jelas. Kita tidak punya klaim tumpang tindih,” katanya.

”Yang paling kontroversial adalah poin nomor 9 tentang kerja sama maritim yang menyebut tentang kerja sama pengembangan di overlapping claims dari kedua negara. Istilah overlapping claims ini jelas mengacu pada Laut China Selatan. Istilah ini tidak pernah digunakan Indonesia di dalam isu maritim dengan China. Indonesia selalu konsisten menyatakan posisinya sebagai bukan negara sengketa (claimant state) di Laut China Selatan. Posisi ini adalah posisi negara Indonesia yang menyangkut kedaulatan,” ujarnya.

Wilayah Laut China Selatan yang disengketakan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Penelitian Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) memperkirakan wilayah ini menyimpan 190 triliun kaki kubik gas alam dan 11 miliar barel minyak mentah dalam bentuk cadangan terbukti dan terduga. Tak hanya kaya sumber energi, Laut China Selatan menjadi salah satu rute ekonomi dan perdagangan utama, yang memiliki nilai 3 triliun dollar AS setiap tahun.

Perairan tersebut juga salah satu rute ekonomi dan perdagangan utama dunia. Nilainya ditaksir hingga 3 triliun dollar AS per tahun.

Kementerian Luar Negeri dalam siaran pers, dikutip dari laman resmi, menyatakan, kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “9-Dash-Lines”. Indonesia, menurut pernyataan Kemlu, menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

”Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” kata Kemlu.

Tak hanya itu, Kemlu menyatakan, semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia yang berkaitan dengan kawasan tersebut akan tidak terpengaruh dan akan terus berlaku tanpa perubahan. 

Eddy menyatakan, meski sudah ada pernyataan dari Kemenlu, hal itu tidak cukup menjelaskan mengapa rencana kerja sama di wilayah yang saling tumpang tindih itu tetap masuk dalam pernyataan bersama kepala negara. Dia menduga negara-negara pengklaim dan anggota ASEAN kini tengah menunggu penjelasan Pemerintah RI.

”ASEAN sepertinya menunggu penjelasan resmi pemerintah. Penjelasan tadi saya kira seperti sementara, maksudnya sampai Menlu bicara,” katanya.

Eddy menyarankan, kalimat yang memberikan dampak menguntungkan bagi salah satu pihak sebaiknya tidak dimasukkan dalam pernyatan bersama. Dalam konteks ini, menurut dia, penjelasan dari Menlu akan mengurangi dampak kerusakan yang mungkin ditimbulkan. (kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved