Konflik Laut China Selatan

Pernyataan Bersama Prabowo-Xi soal LCS Menuai Reaksi di Indonesia

Poin 9 pernyataan bersama Presiden Prabowo Subianto-Presiden Xi Jinping menimbulkan persepsi Indonesia akui klaim kedaulatan China di LCS.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS
Sambut Hangat Prabowo di China, Xi Jinping Berkomitmen Rekatkan Hubungan Baik dengan Indonesia. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Sejumlah poin pernyataan bersama yang dihasilkan pascapertemuan Presiden China Xi Jinping dan Presiden Prabowo Subianto, Sabtu (9/11/2024), menuai reaksi di Indonesia. Sejumlah pihak mempertanyakan isi paragraf 2 poin 9 pernyataan bersama itu.

Pada bagian itu disebutkan, kedua pemerintahan ”mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi tumpang tindih klaim”.

Poin itu dipandang sebagai perubahan sikap Indonesia terhadap klaim kedaulatan wilayah China di Laut China Selatan yang didasari kebijakan nine dash line (sembilan garis putus-putus). Perubahan itu dinilai bisa berdampak pada terganggunya hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga di ASEAN dan berpotensi menimbulkan ketegangan di kawasan.

”Dengan pernyataan bersama seperti itu, dapat ditafsirkan oleh pihak tertentu yang tidak memahami sikap Indonesia selama ini sebagai perubahan sikap,” kata Eddy Pratomo, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro, ketika dihubungi, Senin (11/11/2024). Eddy juga pernah menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Penetapan Batas Maritim Republik Indonesia-Malaysia tahun 2015.

Poin 9 pernyataan bersama Xi dan Prabowo, terutama di paragraf dua, berbunyi, ”The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims and agreed to establish an Inter-Governmental Joint Steering Committee to explore and advance relevant cooperation based on the principles of ’mutual respect, equality, mutual benefit, flexibility, pragmatism, and consensus-building," pursuant to their respective prevailing laws and regulations.”

Bila dialihbahasakan, paragraf itu artinya, ”Kedua belah pihak mencapai kesepahaman yang penting tentang pengembangan bersama di wilayah atau area yang saat ini dalam situasi tumpang tindih klaim dan sepakat membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk mengeksplorasi dan memajukan kerja sama yang relevan berdasarkan prinsip-prinsip ’saling menghormati, kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme, dan pembangunan konsensus,’ sesuai dengan hukum dan peraturan masing-masing yang berlaku.”

”Dengan adanya Joint Statement RI-China ini, maka sikap Indonesia mulai saat ini sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih (overlapping claims), yang secara yuridis dapat dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam (tacit recognition) klaim terhadap nine dash line China atas Laut China Selatan, khususnya Laut Natuna Utara,” kata Eddy menambahkan.

Eddy mengatakan, selama ini posisi Pemerintah RI selalu konsisten untuk tidak menerima klaim China atas Laut China Selatan. Selama ini China mengklaim wilayah itu berdasarkan pada klaim sejarah mereka. Klaim tersebut tidak memiliki landasan legalitas dalam hukum internasional, khususnya UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) tahun 1982 serta hukum kebiasaan internasional.

Indonesia, kata Eddy, selain tidak menerima klaim China juga selalu konsisten menyatakan tidak memiliki klaim atas lokasi yang dimaksud. Indonesia selalu mendesak penyelesaian sengketa sesuai prinsip hukum laut internasional.

Dalam pandangan Eddy, posisi terbaru Indonesia ini berpotensi mengganggu konstelasi geopolitik di kawasan. Keberhasilan China memperoleh pengakuan dari Indonesia, katanya, akan dikapitalisasi oleh China untuk mendesak negara-negara pengklaim lainnya agar menerima klaim negaranya. Hal itu pada akhirnya akan memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

Pada periode 1990-an, mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas telah berulang kali memprotes klaim China atas Laut China Selatan berdasarkan klaim sejarah. Konsistensi itu terus terjaga hingga Retno Marsudi memimpin Kementerian Luar Negeri (2014-2024). Apalagi ketika Kementerian Sumber Daya Alam China menerbitkan peta baru klaim Laut China Selatan dengan 10 garis putus-putus (ten dash line) pada 28 Agustus 2023.

Sejatinya, dengan keluarnya putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) tahun 2016, klaim kedaulatan China atas Laut China Selatan telah gugur dan tidak memiliki basis hukum yang sah.

Hal senada disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Indonesia yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani Hikmahanto Juwana. Dia mengatakan, hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia tidak pernah mengeluarkan kebijakan untuk mengakui klaim sepihak China soal Laut China Selatan karena dasar klaim China tidak dikenal dalam UNCLOS. Indonesia dan China sama-sama peratifikasi konvensi tersebut.

”Namun, dengan adanya joint statement pada 9 November berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus-putus. Perlu dipahami joint development hanya terjadi bila setiap negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih,” kata Hikmahanto dalam pernyataan.

Konsekuensi berlapis

Eddy mengatakan, dengan posisi baru Indonesia ini, pemerintah berpotensi bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku, khususnya Pasal 8 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Aturan perundangan itu tidak menyebutkan adanya batas maritim dengan China seperti yang diindikasikan dalam pernyataan bersama tersebut.

Pasal 10 peraturan UU tersebut juga mensyaratkan penetapan batas wilayah negara harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundangan, termasuk di dalamnya perundingan. ”Kita tidak berbatasan dengan China. Hanya ada dengan Papua Niugini, Australia, Thailand, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Jelas. Kita tidak punya klaim tumpang tindih,” katanya.

”Yang paling kontroversial adalah poin nomor 9 tentang kerja sama maritim yang menyebut tentang kerja sama pengembangan di overlapping claims dari kedua negara. Istilah overlapping claims ini jelas mengacu pada Laut China Selatan. Istilah ini tidak pernah digunakan Indonesia di dalam isu maritim dengan China. Indonesia selalu konsisten menyatakan posisinya sebagai bukan negara sengketa (claimant state) di Laut China Selatan. Posisi ini adalah posisi negara Indonesia yang menyangkut kedaulatan,” ujarnya.

Wilayah Laut China Selatan yang disengketakan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Penelitian Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) memperkirakan wilayah ini menyimpan 190 triliun kaki kubik gas alam dan 11 miliar barel minyak mentah dalam bentuk cadangan terbukti dan terduga. Tak hanya kaya sumber energi, Laut China Selatan menjadi salah satu rute ekonomi dan perdagangan utama, yang memiliki nilai 3 triliun dollar AS setiap tahun.

Perairan tersebut juga salah satu rute ekonomi dan perdagangan utama dunia. Nilainya ditaksir hingga 3 triliun dollar AS per tahun.

Kementerian Luar Negeri dalam siaran pers, dikutip dari laman resmi, menyatakan, kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “9-Dash-Lines”. Indonesia, menurut pernyataan Kemlu, menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

”Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” kata Kemlu.

Tak hanya itu, Kemlu menyatakan, semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia yang berkaitan dengan kawasan tersebut akan tidak terpengaruh dan akan terus berlaku tanpa perubahan. 

Eddy menyatakan, meski sudah ada pernyataan dari Kemenlu, hal itu tidak cukup menjelaskan mengapa rencana kerja sama di wilayah yang saling tumpang tindih itu tetap masuk dalam pernyataan bersama kepala negara. Dia menduga negara-negara pengklaim dan anggota ASEAN kini tengah menunggu penjelasan Pemerintah RI.

”ASEAN sepertinya menunggu penjelasan resmi pemerintah. Penjelasan tadi saya kira seperti sementara, maksudnya sampai Menlu bicara,” katanya.

Eddy menyarankan, kalimat yang memberikan dampak menguntungkan bagi salah satu pihak sebaiknya tidak dimasukkan dalam pernyatan bersama. Dalam konteks ini, menurut dia, penjelasan dari Menlu akan mengurangi dampak kerusakan yang mungkin ditimbulkan. (kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved