Opini
Opini: Menyelami Esensi Persembahan Adat Manggarai Melalui Perspektif Spiritual
Kehadiran leluhur dipercaya berlanjut dalam kehidupan spiritual dan tetap memberikan pengaruh serta perlindungan bagi generasi saat ini.
Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Pemerhati Isu-isu Strategis
POS-KUPANG.COM - Dalam setiap percakapan, sering kali terselip makna dan nilai yang lebih dalam dari sekadar kata-kata, terutama ketika berbicara tentang tradisi dan warisan budaya yang sudah tertanam kuat di masyarakat.
Begitulah yang saya rasakan ketika bertemu dan berbincang dengan Bapak Lexi Anggal, sosok yang tak asing lagi dalam upaya pelestarian adat dan budaya Manggarai.
Sebagai tokoh adat yang tak hanya berpengaruh namun juga berdedikasi pada isu-isu sosial dan nilai-nilai lokal, beliau berbagi pandangan mendalam tentang suatu isu yang kerap menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat Manggarai, yaitu persembahan kepada Allah dan leluhur.
Dalam pandangan beliau, menganggap persembahan kepada Allah setara dengan persembahan kepada leluhur sama saja dengan mereduksi makna yang sesungguhnya terkandung dalam setiap ritual tradisional.
Lebih jauh lagi, pemahaman yang keliru ini perlahan-lahan melunturkan esensi kearifan lokal yang sesungguhnya menjadi jati diri masyarakat Manggarai.
Saya berharap, saudara Tian Rahmat seorang penulis yang karyanya sering menghiasi berbagai portal, baik lokal maupun nasional mau menyelami isu ini lebih dalam.
Walaupun saudara Tian kerap mengangkat topik-topik lokal, saya melihat belum ada tulisan beliau yang secara khusus menyoroti tema ini.
Dengan wawasannya yang luas, saya yakin kontribusi beliau dalam menggiring opini publik mengenai isu persembahan ini akan memberikan perspektif baru dan mendalam bagi pembaca luas, serta semakin memperkuat makna tradisi yang sesungguhnya.
Menggali Akar Tradisi Persembahan
Tradisi Manggarai melihat leluhur sebagai bagian integral dalam sistem kepercayaan mereka.
Kehadiran leluhur dipercaya berlanjut dalam kehidupan spiritual dan tetap memberikan pengaruh serta perlindungan bagi generasi saat ini.
Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat Manggarai mempersembahkan moke minuman fermentasi khas NTT serta hewan tertentu kepada leluhur dalam ritual adat.
Persembahan ini bukan semata ritual fisik, tetapi juga simbol penghormatan, penghargaan, dan rasa syukur atas bimbingan serta nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur.
Menurut “Teologi dan Adat: Menggali Kearifan Lokal” karya Dr. Andreas Harun (2020), persembahan kepada leluhur adalah pengakuan terhadap eksistensi mereka.
Buku tersebut menjelaskan bahwa masyarakat Manggarai menganggap leluhur sebagai penjaga yang mampu menyampaikan doa dan harapan kepada dunia spiritual.
Menurut Dr. Harun, “Pemberian moke dan hewan merupakan cara masyarakat Manggarai berkomunikasi dengan leluhur mereka.”
Mempertegas bahwa persembahan ini memiliki peran penting dalam menjaga hubungan harmonis antara generasi sekarang dengan para leluhur.
Memahami Perbedaan Persembahan untuk Allah dan Leluhur
Kendati penting dalam adat, Bapak Lexi menekankan bahwa persembahan kepada leluhur tidak sama dengan persembahan kepada Allah.
Dalam konteks kepercayaan Kristen, Allah adalah entitas yang berada di atas segalanya, dengan status spiritual dan kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada leluhur.
Kitab Suci menyebutkan bahwa Allah tidak membutuhkan persembahan materi (Mazmur 50:12-13), yang menandakan bahwa hubungan dengan-Nya bersifat transendental dan lebih dalam daripada sekadar ritual fisik.
Di sisi lain, persembahan kepada leluhur merupakan bagian dari penghormatan dan pengakuan terhadap keterlibatan mereka dalam kehidupan.
Kitab Ibrani 7:27 menekankan bahwa Yesus Kristus, dalam perannya sebagai Imam Agung, telah mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selamanya.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak lagi memerlukan persembahan manusia dalam bentuk fisik karena pengorbanan Kristus telah menyempurnakan hubungan manusia dengan-Nya.
Sebaliknya, persembahan kepada leluhur dalam adat Manggarai justru adalah pengakuan akan hubungan yang masih berlanjut antara manusia dengan leluhur yang telah tiada.
Simbolisme Hewan dalam Persembahan Adat
Persembahan hewan dalam tradisi Manggarai memiliki simbolisme yang kuat. Ritual adat menggunakan hewan tertentu, seperti babi atau ayam, sebagai medium komunikasi dengan leluhur.
Dalam “Ritual Adat Manggarai” karya Dr. Michael Natan (2018), disebutkan bahwa masyarakat Manggarai meyakini bahwa roh hewan tersebut membawa pesan dan harapan mereka kepada leluhur.
“Hewan dalam persembahan bukan sekadar korban fisik, tetapi simbol hubungan yang terjalin antara manusia dengan leluhur mereka,” kata Dr. Natan.
Dalam konteks ini, memindahkan persembahan hewan kepada Allah dapat menciptakan pergeseran nilai yang tidak sesuai dengan makna asli persembahan tersebut.
Allah, menurut Kitab Suci, tidak membutuhkan persembahan materiil, karena esensi ibadah kepada-Nya adalah kepercayaan dan pengabdian dalam hati.
Meluruskan Pemahaman Persembahan dalam Tradisi
Bapak Lexi menekankan pentingnya menempatkan persembahan dalam konteks yang benar untuk menghindari distorsi makna. Tradisi Manggarai telah lama membedakan antara ritual untuk leluhur dan bentuk pengabdian kepada Allah.
Pemahaman ini bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menjaga agar tradisi yang ada tetap relevan tanpa kehilangan makna spiritual yang mendalam.
Seperti yang dijelaskan dalam karya “Kearifan Lokal dan Nilai Spiritualitas” oleh Dr. Benyamin Sutanto (2019), mempersembahkan sesuatu kepada leluhur tidak berarti menyembah mereka sebagai dewa atau Tuhan, melainkan sebagai bentuk penghargaan dan perayaan kehidupan yang telah diwariskan.
Beliau menyebutkan bahwa menghormati leluhur melalui persembahan adalah sarana menjaga identitas budaya dan mempertahankan kearifan lokal dalam menghadapi modernitas.
Menjaga Keseimbangan Antara Tradisi dan Kepercayaan
Penting bagi generasi muda untuk memahami tradisi persembahan dalam kerangka yang tepat agar tidak menyalahartikannya sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.
Dengan memisahkan persembahan yang ditujukan untuk leluhur dari persembahan kepada Allah, masyarakat Manggarai dapat mempertahankan identitas budaya tanpa mencampuradukkan nilai-nilai spiritual yang mungkin berbeda secara mendasar.
Mengutip kembali pandangan Bapak Lexi, “Ketika kita mempertahankan makna asli dari persembahan ini, kita bukan hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menunjukkan penghargaan terhadap kepercayaan dan pemahaman leluhur kita.”
Dalam dunia yang semakin terhubung, menjaga pemahaman lokal dalam bentuknya yang otentik dapat membantu melestarikan identitas dan menjaga keutuhan budaya.
Membangun Pemahaman yang Bijak
Tradisi persembahan di Manggarai menuntut kita untuk melihat lebih dalam ke akar budaya yang kaya dan bermakna.
Memahami persembahan moke untuk leluhur sebagai bagian yang terpisah dari persembahan kepada Allah adalah bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal.
Hal ini bukan saja untuk menjaga warisan leluhur, tetapi juga mencegah terjadinya penyimpangan dalam pemahaman spiritual masyarakat.
Sebagai generasi penerus, hemat saya kita perlu berkomitmen untuk mempelajari, memahami, dan menerapkan tradisi dengan bijak, tanpa kehilangan esensi yang selama ini dijaga oleh leluhur.
Dengan memahami bahwa persembahan kepada Allah berbeda dari persembahan kepada leluhur, kita dapat merawat kearifan lokal dengan lebih tulus dan memastikan bahwa tradisi yang ada tetap hidup, tanpa harus meninggalkan nilai-nilai spiritual yang mendalam.
Pemahaman ini bukan sekadar menjadi warisan, tetapi juga sebagai fondasi yang menghubungkan generasi masa kini dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh para leluhur.
Mari kita terus jaga dan lestarikan tradisi ini, sebagai tanda hormat kita kepada leluhur sekaligus bukti pengabdian kepada yang Maha Kuasa dalam bentuk yang lebih spiritual dan murni. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.