Opini

Opini: Satu Dekade Keterlibatan Indonesia di Kawasan Kepulauan Pasifik

Keterlibatan Kementerian Luar Negeri perlu diapresiasi, tetapi masih belum terlihat pola yang konsisten dan mengakar terkait wilayah kepulauan Pasifik

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/AYU PRATIWI
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi para acara dialog tingkat tinggi tentang kerja sama di kawasan Indo-Pasifik, Rabu (20/3/2019), di Jakarta. 

Oleh Hipolitus Wangge

POS-KUPANG.COM - Dalam sepuluh tahun periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, keterlibatan Indonesia di wilayah kepulauan Pasifik menunjukkan peningkatan walaupun masih berpijak pada isu integritas nasional. Tren peningkatan ini idealnya harus terus dilanjutkan dalam kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto.

Keterlibatan Kementerian Luar Negeri perlu diapresiasi, tetapi masih belum terlihat pola yang konsisten dan mengakar terkait wilayah kepulauan Pasifik.

Sejumlah bantuan dan program yang diberikan masih menitikberatkan pada upaya meredam internasionalisasi masalah Papua dan kurang berdasarkan prioritas regional yang diperjuangkan negara-negara di kawasan kepulauan Pasifik.

Hipolitus Wangge, Peneliti Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT.
Hipolitus Wangge, Peneliti Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT. (KOMPAS)

Visi Indonesia sebagai bagian dan saudara di Pasifik masih memerlukan dukungan bukan hanya institusional, melainkan juga aspirasional terkait pemahaman menyeluruh mengenai kawasan yang menjadi titik baru pertarungan geopolitik global hari ini dan tahun-tahun mendatang.

Setelah keterpilihan Jokowi dan dimulainya kinerja pemerintahan baru di 2014, Kemenlu memulai penataan keterlibatan Indonesia di kawasan Pasifik. Sejak dimulai kegiatan diplomasi di kawasan itu pertengahan 1970-an, wilayah tersebut sangat jarang mendapatkan perhatian serius dan selalu menjadi ”halaman belakang” diplomasi Indonesia.

Hal ini berbalik ketika front perjuangan kemerdekaan Papua (ULMWP) untuk pertama kalinya mendapatkan pengakuan terbatas dalam forum Melanesian Spearhead Group (MSG) sebagai peninjau di tahun 2015.

Sebagai respons, Pemerintah Indonesia menginisiasi festival budaya Melanesian Indonesia (Melindo) dengan mendasarkan klaim komposisi populasi penduduk Melanesia di Indonesia berjumlah 11 juta jiwa terbentang dari Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.

Klaim ini memiliki sejumlah kelemahan, seperti menggabungkan jumlah penduduk asli dengan pendatang yang telah mendiami ketiga daerah itu. Selain itu, sejumlah daerah, seperti Manggarai dan Sumba, memiliki ikatan kultural Bajo dan Austronesia, bukan Melanesia.

Di antara tiga daerah berpenghuni penduduk Melanesia, cuma Papua yang konsisten mengasosiasikan diri dengan kultur dan pola hidup Melanesia.

Kelemahan terakhir, belum ada penelitian menyeluruh dan berkelanjutan terkait klaim itu. Klaim itu justru sering kali diperkuat dengan jargon Indonesia sebagai ”ras Pasifik terbesar” tanpa dasar dan praktik penghargaan konkret yang kuat.

Perlunya literasi Pasifik

Sejauh ini, masih belum terlihat pemahaman mendalam tentang dinamika regional di kawasan kepulauan Pasifik.

Keterlibatan Indonesia dalam satu dekade terakhir di Pasifik sedari awal bukan berdasarkan atas visi regional di luar Asia Tenggara, melainkan terkait dukungan yang menguat terkait isu Papua merdeka di kawasan kepulauan Pasifik.

Hal ini terlihat dari sejumlah pemangku kepentingan, seperti Kemenlu, kalangan pebisnis, para ilmuwan sosial, dan lembaga penelitian, yang belum memiliki pemahaman solid soal kepulauan Pasifik, selain terkait internasionalisasi isu Papua.

Hal ini berakibat pada lemahnya koordinasi dan dukungan para pemangku kepentingan terhadap keterlibatan Indonesia yang dimotori Kemenlu di kawasan kepulauan Pasifik.

Senada dengan itu, Kemenlu juga masih mengutamakan bantuan langsung dan minim mempertimbangkan fokus dan visi regionalisme kawasan Pasifik, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Boe (Boe Declaration) 2018 dan strategi Benua Biru Pasifik (Blue Pacific Continent) 2050.

Dari sisi pemberian bantuan keuangan dan teknis, Pemerintah RI menunjukkan perannya sebagai alternatif pemberi bantuan di kawasan Pasifik. Indonesia bukan hanya penerima bantuan (recipient), melainkan juga memberi bantuan (provider) ke negara-negara dunia ketiga.

Namun, pemerintah masih mengandalkan pemberian bantuan berdasarkan permintaan (demand-driven assistance) negara-negara kepulauan Pasifik.

Baca juga: Bantuan Kemanusiaan RI untuk Papua Nugini Tiba di Port Moresby

Pada 2019, Indonesia meluncurkan Indonesian Aid yang kemudian dikelola Lembaga Dana Pembangunan Kerja Sama Internasional (LDPKI) sebagai upaya mendukung diplomasi pembangunan sebagai middle power. Namun, kemampuan finansial yang dimiliki Pemerintah Indonesia masih terbatas pada perannya sebagai alternatif donor di kawasan Pasifik.

Dampaknya, keterlibatan Indonesia dalam upaya pembangunan kawasan Pasifik dan dalam merespons ancaman utama, seperti perubahan iklim, kejahatan transnasional, peran aktif dan pemberdayaan masyarakat pesisir di kawasan tersebut, juga masih terbatas.

Hal ini memunculkan kesan umum di kalangan publik Pasifik bahwa model keterlibatan Indonesia masih bersifat transaksional, khususnya hanya berkaitan dengan upaya-upaya meredam isu politik dan HAM di Papua, di kawasan tersebut.

Selama menjabat, Presiden Jokowi hanya mengunjungi Papua Niugini di antara 16 negara Pasifik yang ada. Hal ini dapat dipahami karena kedekatan geografis dan diplomatis yang sudah cukup lama dengan negara ini dibandingkan negara-negara lain di kawasan tersebut.

Namun, persepsi yang terbangun dari akibat minimnya kehadiran pemimpin Indonesia di negara-negara Pasifik adalah bahwa kawasan Pasifik masih jauh dari prioritas kebijakan luar negeri Indonesia. Tradisi interaksi dan komunikasi langsung (talanoa) sangat dihargai oleh masyarakat kepulauan Pasifik daripada pertemuan virtual, seperti yang dilakukan Indonesia dengan Pacific Exposition 2021.

Selain itu, forum diplomatik tertinggi antara Indonesia dan negara-negara Pasifik masih terbatas pada pertemuan tingkat menteri dan parlemen, seperti Indonesia-Pacific Forum for Development (IPFD) dan Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP), bukan pertemuan antarkepala pemerintahan seperti dilakukan sejumlah negara donor lain yang juga pendatang baru di Pasifik, seperti India, Korea Selatan, dan Jepang.

Sejumlah inisiatif yang dilakukan Pemerintah Indonesia juga tidak berjalan secara konsisten. Melindo, Pacific Exposition, IPFD, dan IPPP dengan fokus pada kerja sama bilateral ataupun regional sejauh ini tidak dijalankan secara berkala.

Sejumlah hambatan menjadi alasan kurangnya konsistensi di atas, seperti komitmen politik yang lemah, koordinasi antarlembaga, dan minimnya pendanaan. Hal ini menunjukkan bahwa visi Pacific Elevation yang dipromosikan Pemerintah Indonesia pada 2019 masih sebatas jargon tanpa didukung praktik diplomasi yang solid di kawasan kepulauan Pasifik.

Pada tahun 2021, Kemenlu membentuk Direktorat Pasifik dan Oseania sebagai upaya untuk memfokuskan keterlibatan Indonesia di kawasan kepulauan Pasifik.

Kehadiran direktorat tersebut menjadi langkah strategis yang perlu ditunjang oleh sumber daya manusia yang memiliki literasi Pasifik yang baik. Sejauh ini, persoalan pemahaman kawasan Pasifik dan tata kelola informasi yang baik, khususnya terkait kondisi di Papua, masih terus menjadi beban.

Pelatihan para diplomat harus menyasar bukan hanya terkait isu Papua, melainkan juga pemahaman dinamika regional dan persoalan eksistensi di kawasan Pasifik. Ditambah lagi, dukungan finansial dan hubungan antarlembaga yang minim membuat kehadiran direktorat Pasifik masih belum menunjukkan peran signifikan.

Pada 2024, Kemenlu memperluas cakupan pelatihan diplomatik dengan melibatkan negara-negara Pasifik, seperti Fiji, Vanuatu, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan sekretariat MSG.

Indonesia juga menyediakan beasiswa bagi komunitas Pasifik di beberapa universitas di Indonesia dengan fokus pada kebutuhan dan tantangan eksistensial di kawasan kepulauan Pasifik. Langkah positif yang dilakukan ini perlu diperkuat dengan literasi Pasifik dan konsistensi komitmen sehingga sejumlah upaya yang dilakukan ini dapat sejalan dengan kebutuhan regional kawasan kepulauan Pasifik.

Solidaritas Papua di Pasifik

Masalah dukungan sejumlah aktor negara dan non-negara di Pasifik mengenai persoalan Papua masih menjadi fokus utama proyeksi kebijakan luar negeri Indonesia di Pasifik.

Selama satu dekade terakhir, dukungan sejumlah kelompok masyarakat sipil masih sangat kuat; sementara aktor-aktor negara, kecuali Vanuatu, masih mengalami pasang surut dalam menyuarakan isu politik dan hak asasi manusia di Papua.

Persoalan utama yang masih sulit diselesaikan adalah kondisi hak-hak asasi, ekonomi, politik, hukum, dan pelayanan publik di Papua yang belum berubah secara signifikan dan ini menjadi titik lemah diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik.

Hal ini ditambah dengan pola defensif Kemenlu dengan masih mengedepankan pendekatan kesejahteraan untuk merespons sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

Sejumlah peristiwa yang menyedot perhatian dunia, seperti rasisme, deforestasi, dan penculikan pilot asing, menjadi catatan buruk yang akan terus dikampanyekan dan basis solidaritas masyarakat di kawasan kepulauan Pasifik. Terlepas dari peningkatan keterlibatan Indonesia di Pasifik, isu Papua terus menjadi isu tetap (standing agenda item) di MSG dan Pacific Island Forum (PIF).

Pada 2024 ini, tokoh-tokoh kemerdekaan Papua telah menemui sejumlah perdana menteri di kawasan Pasifik, seperti Fiji, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu, juga kelompok nasionalis Kaledonia Baru.

Pertemuan-pertemuan tersebut memang belum menghasilkan keputusan politik, seperti pemberian keanggotaan penuh kepada ULMWP di MSG.

Sekalipun demikian, pertemuan-pertemuan ini sudah cukup menunjukkan eksistensi aspirasi politik kemerdekaan Papua yang terus meningkat di Pasifik. Keberadaan dua utusan khusus Papua, Sitiveni Rabuka (Perdana Menteri Fiji) dan James Marape (Perdana Menteri Papua Niugini), semakin menegaskan isu politik Papua adalah isu regional Pasifik.

Persoalan Papua merupakan bagian penting dalam memperkuat literasi Indonesia tentang Pasifik dan keterlibatannya yang konsisten berdasarkan pada prioritas regional kawasan kepulauan Pasifik. Pada akhirnya, keterlibatan Indonesia di Pasifik masih difokuskan untuk menjawab keresahan dalam negeri terkait isu Papua dan minim dalam merespons kebutuhan dan tantangan regional yang dirasakan masyarakat di wilayah kepulauan Pasifik. (kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved