Berita Kota Kupang

Jeritan Hati Warga Kampung Pemulung Aqu-Ada di Kota Kupang yang Alami Diskriminasi

Jeritan minor mereka sering terdengar namun tak digubris Pemkot Kupang, malahan semakin mereka menjerit semakin mereka ditekan

POS-KUPANG.COM/RYAN TAPEHEN
Anak-anak di kelompok pemulung Aqu-Ada Kota Kupang yang bermain di timbunan botol bekas. 

Laporan Reporter POS KUPANG.COM- Ryan Tapehen

POS KUPANG.COM, KUPANG- Kampung pemulung Aqu-ada di Kota Kupang, Provinsi NTT menjadi potret yang jarang tersentuh perhatian pemerintah Kota Kupang.

Bagaimana tidak, dalam sebuah gubuk reyot berlantai tanah dan berdinding seng bekas dihuni hingga 3 kepala keluarga.

Banyak jeritan keluh kesah yang mereka ungkapkan, meskipun sebagai warga Kota Kupang yang sudah berjuang membantu mengolah limbah rumah tangga namun mereka terkadang mendapat diskriminasi.

"Ini bukan pekerjaan hina, kami membantu Kota Kupang menjadi bersih dimana setiap hari kami memilah sampah rumah tangga di tempat-tempat sampah yang bisa kami jadikan uang," ujar Theresia Avila Manafe salah satu anggota kelompok  Kampung pemulung Aqu-Ada beberapa waktu lalu.

Di kelompok mereka itu ada 23 KK yang menjadi pemulung setelah direlokasi dari lokasi lama di belakang RSUD S.K Lerik Kota Kupang ke lokasi baru di depan kantor BMKG sejak 2016 lalu.

Jeritan minor mereka sering terdengar namun tak digubris Pemkot Kupang, malahan semakin mereka menjerit semakin mereka ditekan dengan berbagai kebijakan.

"Kami jarang dapat bansos paling beras 10 Kg apalagi mau dapat PKH, disini cuma 5 KK saja yang dapat itu (PKH),"ujar Theresia dengan nada getir.

Sering mereka dipersulit bila mendapat bantuan, ada banyak alasan dari pihak pemerintah mulai dari persyaratan pernikahan hingga pajak bumi dan bangunan.

Baca juga: Terduga Pelaku Penganiayaan Pemulung hingga Tewas di Maumere Telah Ditangkap

Beberapa waktu lalu kata Theresia beberapa anak muda yang sudah hidup bersama namun belum menikah diwajibkan menikah agar mendapat bantuan.

Namun setelah menikah malah Pemkot mengeluarkan banyak alasan mempersulit mereka lagi.

Akhirnya mereka cuma pasrah karena saat ini mereka hidup menumpang di tanah milik pemkot sambil berjuang agar punya lahan sendiri.

Terkadamg bila hujan turun mereka rentan terkena banjir karena tinggal di lokasi yang landai namun tetap bertahan demi meraup rupiah agar dapur tetap mengepul dan anak-anak tetap bersekolah.

Meskipun dirinya hidup serba kekurangan sesuai hasi pendapatan mereka tak pernah berhenti berjuang, malah semakin giat agar anak-anak mereka bisa mengubah hidup di masa depan.

"Saya biar anak banyak juga tidak apa tapi biar saya buta urus anak-anak harus sekolah," tegasnya.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved