Pilkada 2024

Hakim MK Anwar Usman Mundur dari Penanganan Perkara Batas Usia Calon Kepala Daerah

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mundur secara suka rela dari penanganan perkara uji materi syarat usia minimal calon kepala daerah.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengiikuti sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mundur secara suka rela dari penanganan perkara uji materi syarat usia minimal calon kepala daerah.

Keputusan itu sejalan dengan keinginan para pemohon uji materi Pasal 7 Ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang meminta agar Anwar tak ikut menangani perkara tersebut.

Sebab, para pemohon menilai ada konflik kepentingan apabila Anwar turut menangani perkara batas usia minimal kepala daerah. Hal ini mengingat keponakannya, Kaesang Pangarep yang juga putra Presiden Joko Widodo, digadang-gadang maju dalam Pilkada Jawa Tengah atau Pilkada DKI Jakarta.

“Menyatakan hakim konstitusi Anwar Usman tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam permohonan pengujian Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU 10/2016,” ujar Abdul Hamid, salah satu kuasa hukum perkara nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam sidang pengujian UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (25/7/2024).

Anwar usman hakim konstitusi_05067
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyapa wartawan sebelum konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Perkara nomor 70 diajukan oleh A Fachrur Rozi dan Antony Lee, mahasiswa Universitas Sahid dan Podomoro University. Mereka meminta agar MK memberi pemaknaan terhadap Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU Pilkada terkait syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Permintaan agar Anwar Usman tidak menangani perkara batas usia minimal calon kepala daerah langsung mendapatkan jawaban dari Wakil Ketua MK Saldi Isra yang memimpin sidang panel dengan agenda perbaikan permohonan.

“Berkenaan dengan provisi terkait hak ingkar tadi, rapat permusyawaratan hakim beberapa waktu yang lalu sudah mendengar langsung dari Yang Mulia Bapak Anwar Usman. Jadi ini bukan diminta siapa-siapa, beliau tidak akan ikut memutus berkait dengan syarat usia ini. Jadi, ini perlu disampaikan agar semua pihak tidak menaruh rasa curiga. Jadi Beliau sudah declare di RPH (rapat pemusyawaratan hakim) bahwa tidak akan ikut memutus,” kata Saldi.

Diputus sebelum 27 Agustus

Selain meminta agar Anwar Usman tidak ikut mengadili, para pemohon juga meminta agar MK memutus perkara syarat usia minimal calon kepala daerah tersebut sebelum pendaftaran calon kepala daerah dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum pada 27 Agustus mendatang.

Mengacu pada Peraturan KPU No 2/2024 tentang Jadwal dan Tahapan Pilkada, pendaftaran calon kepala daerah akan dilakukan selama tiga hari, yaitu 27-29 Agustus 2024.

“Mengingat pentingnya permohonan aquo, untuk memastikan pemaknaan atau tafsir penghitungan dari Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU 10/2016 berkepastian secara hukum dalam penyelenggaraan pilkada yang demokratis, serta makin dekatnya pendaftaran calon, penting bagi MK untuk menjadikan permohonan aquo sebagai prioritas untuk diputuskan. Kami minta setidaknya bisa diputus sebelum tanggal 27 Agustus 2024,” kata A Fachrur Rozi, salah satu pemohon.

Meskipun menguji soal ketentuan syarat usia minimal calon kepala daerah, kuasa hukum pemohon perkara Nomor 70, Abdul Hakim, menegaskan, pihaknya tidak menjadikan MK sebagai peradilan banding atas putusan Mahkamah Agung yang dijatuhkan sebelumnya.

Seperti diketahui, MA sudah mengeluarkan putusan nomor 23 P/HUM/2024 yang intinya mengabulkan permohonan Partai Garuda dan memaknai syarat usia minimal calon kepala daerah seharusnya dihitung sejak pelantikan calon kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan calon oleh KPU seperti diatur dalam PKPU No 9/2020.

“Di luar sana berkembang seolah-olah kami menjadikan MK sebagai pembanding. Justru sebaliknya Yang Mulia, kami ingin mendudukkan MK sebagai penafsir tunggal konstitusi untuk memberi pemaknaan terhadap norma yang jelas-jelas mengandung adanya ketidakpastian hukum,” kata Abdul Hamid.

Terkait dengan hal itu, Saldi meminta agar pemohon tidak terlalu banyak mendengarkan hal-hal yang terjadi di luar sidang.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved