Liputan Khusus

Lipsus - Sabarno Menyerah Setelah 10 Tahun Buron, Jamaah Islamiyan Akhirnya Bubarkan Diri

Ustad Abu Fatih alias Abdullah Anshori alias Ibnu Muhammad Thoyibini juga meminta maaf kepada aparat keamanan, pemerintah, dan rakyat Indonesia.

Editor: Ryan Nong
TRIBUNNEWS.COM
Sejumlah tokoh berbicara mengenai kelompok Al Jamaah Al Islamiyah atau Jamaah Islamiyah atau JI yang bubar atau membubarkan diri serta memutuskan islah dengan aparat keamanan, pemerintah dan negara Republik Indonesia. 

POS-KUPANG.COM, SOLO – Tokoh senior kelompok Al Jamaah Al Islamiyah atau Jamaah Islamiyah atau JI, Ustad Abu Fatih menyatakan kelompoknya telah islah dengan aparat keamanan, pemerintah dan negara Republik Indonesia.

Ustad Abu Fatih alias Abdullah Anshori alias Ibnu Muhammad Thoyibini juga meminta maaf kepada aparat keamanan, pemerintah, dan rakyat Indonesia atas apa yang selama ini terjadi.

“Kami akhirnya memilih jalan islah setelah melewati perjalanan panjang dialog dan memikirkan kembali apa yang dilakukan. Pikiran kami akhirnya terbuka terhadap pijakan-pijakan kami saat berjamaah,” kata Abdullah Anshori di hadapan tim Tribun, Rabu (17/7).

Baca juga: Lipsus - Harga Rumput Laut Anjlok, Pergub NTT Jadi Penghambat?

Pernyataan tokoh tua yang juga disebut Ustad Anshori itu disampaikan secara khusus dan langsung di sebuah lokasi yang dikenal kerap jadi titik komunikasi kelompok ini di daerah Gonilan, Kartasura, Sukoharjo.

Saat menyampaikan pernyataan khususnya, Ustad Abu Fatih atau Abdullah Anshori didampingi tiga eks anggota Jamaah Islamiyah. Pertama Sabarno alias Amali. Pria ini dulu anggota tholiah, divisi Jamaah Islamiyah yang juga membidangi tandzim askari atau grup prajurit JI.

Sabarno alias Pak Sabar memutuskan menyerahkan diri ke aparat Densus 88 Anti terror lewat perantara para senior JI. Ia menyerah setelah mendengar JI bubar atau membubarkan diri.

Ada juga Dodi alias Fiko, bekas anggota divisi advokasi dan pelayanan yang pernah aktif di Yayasan Perisai Nusantara. Yayasan ini telah dibubarkan sejak terendus menjalankan misi JI mengadvokasi dan melayani keperluan jaringan.

Pendamping ketiga Ustad Hasan, yang pernah aktif di divisi dakwah Jamaah Islamiyah.Ia pernah mendekam di penjara karena perannya sebagai perekrut dan penyeleksi kader JI. Divisi ini memiliki tugas antara lain perekrutan dan seleksi anggota untuk ditempatkan di bidang-bidang yang cocok dengan kualifikasi rekrutan.

Ustad Anshori yang pada 1993 pernah dipanggil Abdullah Sungkar, pendiri dan Amir (Pemimpin) Jamaah Islamiyah ke Malaysia, juga meminta maaf ke aparat keamanan, pemerintah dan rakyat Indonesia, semua yang pernah dilakukan jamaahnya dan telah menyulitkan negara.

“Kami minta maaf yang sebesar-besarnya kalau kami, Al Jamaah Al Islamiyah, dengan sekian banyak kasus-kasus yang menyulitkan negara, menyibukkan negara, yang seharusnya tidak kami lakukan, tetapi dengan ilmu dan kesadaran ini, alhamdulillah, khususnya kepada bangsa Indonesia, kami minta maaf sebesar-besarnya,” kata Abu Fatih.

Sosok Ustad Abdullah Anshori di kalangan generasi terbaru Jamaah Islamiyah mungkin kurang dikenal, karena ia menyatakan diri tidak aktif sejak 2001. Pasifnya  Abu Fatih terjadi beberapa waktu setelah Abdullah Sungkar wafat di Bogor,sepulang dari Malaysia kali kedua. Tapi di kalangan para senior Jamaah Islamiyah, Abu Fatih sangat dihormati sebagai sesepuh gerakan organisasi.

Tokoh asal Magetan ini pernah dijebloskan ke LP Cipinang terkait kasus gerakanUsroh, dan rentetan peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada 12 September 1984. Selepas dari LP Cipinang,  Abu Fatih dipanggil  Abdullah Sungkar ke Malaysia, dan diminta memimpin gerakan, khususnya di mantiqiyah yang membawahi Pulau Jawa.

Abu Fatih menyadari rentetan aksi pengebomandi Indonesia yang dimulai khususnya sejak 1 Agustus 2000 di Jakarta, membuatnya menerima sinyal negative atas bangkitnya aksi jaringan Jamaah Islamiyah. Di risalah pertemuan Sentul, disebutkan Abu Fatih adalah saksi hidup tentang kepemimpinan Jamaah Islamiyah,sepeninggal  Abdullah Sungkar.

Menurut risalah itu, Abu Fatih ia tidak pernah mendengar, melihat, menyaksikan, dan tahu ada amir baru atau pemimpin baru Jamaah Islamiyah,sepeninggal almarhum Abdullah Sungkar. Karena itu para tokoh-tokoh senior, tetua, dan para pemimpin lembaga afiliasi Jamaah Islamiyah, diajak berpikir rasional, supaya tidak ada kepemimpinan liar gerakan.  

Deklarasi Sentul

Pernyataan islah dan permintaan maaf Ustad  Anshori ini merupakan penegasan atas apa yang sudah diputuskan dan dideklarasikan bersama oleh tokoh-tokoh Jamaah Islamiyah pada 30 Juni 2024 di Hotel Lor In Sentul, Bogor, Jawa Barat.

Deklarasi itu intinya pernyataan sebagai organisasi Jamaah Islamiyah telah bubar atau membubarkan diri. Deklarasi merupakan ujung dari pertemuan kajian di Solo 29 Juni 2024, dan hari berikutnya di Forum Silaturahmi Pondok Pesantren Jamaah Islamiyah di Bogor.

Pertemuan dan deklarasi dihadiri 119 perwakilan dari Jateng, Jabar, Bekasi, Banten, Medan, Sumbar, Lampung, NTB, Sulteng dan Sulsel.

Dalam kesempatan wawancara terpisah, pernyataan senada dikemukakan Ustad Siswanto atau Arif Siswanto alias  Abu Mahmudah.  Ustad Siswanto menegaskan jamaah (JI) sudah sampai pada kesepakatan bulat untuk membubarkan diri dengan semua pertimbangan ilmu dan rasional.

Semua anggota hingga tetua eks Jamaah Islamiyah menyatakan diri kembali kepangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada enam butir pernyataan dan kesimpulan akhir yang dibacakan Ustad Abu Rusydan di Deklarasi Sentul.

Pembubaran itu akan diikuti sosialisasi ke akar rumput jamaah di berbagai wilayah Indonesia, serta menjamin kurikulum pendidikan pondok pesantren afiliasi JI terbebas dari tatharuf dan penyimpangan.

Ustad Arif Siswanto dalam wawancara khusus dengan Tribun mengatakan, secara pribadi dirinya mula-mula sangat berat mendapati kenyataan  JI bubar atau membubarkan diri. Tapi menurutnya demi akal sehat, atas dasar ilmu, dan demi kemanfaatan lebih banyak untuk umat dan jamaah, ia menerima titik akhir itu.

Di wawancara terpisah, Sabarno alias Amali, eks prajurit Jamaah Islamiyah, menyatakan syok saat pertama mendengar organisasi yang diikutinya bubar. Pak Sabar, begitu ia senang disapa, sekira 10 tahun terakhir berstatus buron atau masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Densus 88 Antiteror Polri.

Dia tidak pernah tertangkap selama masa itu, dan bergerak terus, bertahan hidup bersama keluarganya, dengan bekerja apa saja, termasuk berdagang ban bekas dan bakso.

Pertama mendengar JI bubar, Sabarno tengah berada di Madiun. Sabarno termasuk sosok penting  dan punya rekam jejak panjang di gerakan Jamaah Islamiyah. Ia pernah mengikuti semacam kursus singkat perang di sarang kelompok Moro atau MILF di Pulau Mindanao, Filipina. Lalu  terjun di konflik Ambon, dan masuk ke medan perang Suriah.  

“Saya ya sempat syok saat pertama mendengarnya. Lalu saya berusaha tabayun, dan mendapatkan penjelasan lengkap. Pada akhirnya saya bisa menerima, dan menyerahkan diri  pada penegak hukum,” kata Sabarno.

Kata ‘menyerahkan diri’ ini masih dalam tanda kutip, karena terjadi satu atau dua bulan sebelum Deklarasi Sentul 30 Juni 2024.  Sabarno memilih kooperatif dan kemudian dipertemukan dengan tim Densus 88 yang merespon secara bijak pula penyerahan diri itu.

Penyerahan diri Sabarno diikuti tindakan koperatif  lain seperti mengajak buronan lain turut menyerahkan diri, dan juga menyerahkan ‘albas’  alias alat bahan senjata yang mereka dikuasai.

Lewat Sabarno dan kawan-kawan, tim Densus 88 Antiteror menyita bahan peledak dan senjata organik  M-16 warisan konflik  Ambon, yang dibawa balik anggota JI ke sekitar Solo. Senjata itu ditemukan di aliran Bengawan Solo beberapa minggu lalu, setelah dibuang anggota JI yang menyimpannya.

Ustad Hasan, yang dijebloskan ke penjara karena aktivitasnya di Jamaah Islamiyah, juga mengatakan kini dirinya lega. Ia berharap bisa kembali ke habitatnya sebagai pendakwah.Juga  ia berharap bisa kembali hidup normal di tengah masyarakat, seperti warga negara Indonesia lainnya.

Keputusan yang telah diambil, yaitu bubarnya organisasi yang diikutinya, merupakan keputusan terbaik  yang diambil oleh para tetua atau senior, dengan landasan yang dinilainya benar.

Ustad Mustaqim Safar, ketua sebuah yayasan yang membawahi Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Simo, Boyolali, mengamini keputusan dan Deklarasi Sentul. Pondok pesantren ini berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah, dan kerap disangkut pautkan dengan deretan aksi teror yang dilakukan alumni, dan bahkan dulu guru  yang mengajar di pondok ini.

Ustad Qasdi Ridwanulloh, Direktur Pesantren Darusy Syahadah kepadaTribun di komplek pesantren di Kedung Lengkong, Simo, Boyolali, mengaku akan koperatif terkait evaluasi, kajian, penilaian dari pihak manapun.

Termasuk kajian dan penyesuaian kurikulum pendidikan pesantrennya, jika dianggap melenceng dari aturan pendidikan dan peraturan negara lainnya. Pesantren Darusy Syahadah saat ini memiliki seribuan santri dari berbagai tingkatan, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Prof Dr Waryono Abdul Ghofur, Plt Direktur Pesantren dan Pendidikan Islam Kementerian Agama RI pada Kamis (18/7/2024) bertemu tokoh-tokoh eks JI di Solo. Sesudah pertemuan, Prof Dr Waryono langsung mengunjungi Pesantren Darusy Syahadah di Simo, Boyolali.

Sebelumnya, Waryono menyambut gembira keputusan JI bubar atau membubarkan diri. Ia menemui para tokoheks JI di Solo guna memastikan keputusan itu bukan gimmick atau pura-pura. 


Sabarno Nonton Drama Ertugrul Demi Hindari Kejaran Densus

Sorot matanya tetap tampak tajam walau suasana menjelang wawancara rileks. Senyumnya tipis, nada kata-katanya pelan tapi terasa lugas. Sabarno alias Pak Sabar alias  Amali adalah kader Jamaah Islamiyah selama bertahun-tahun. Posisi terakhirnya 10 tahun lalu adalah ketua toliah JI  wilayah timur.

Toliah ini seperti divisi atau bagian khusus logistic dan persenjataan. Pembagian wilayah ini sesuai pusat atau ‘ibu kota’ gerakan JI yang ada di Solo. Jadi wilayah operasi Sabarno adalah dari Solo ke timur arah Jawa Timur. Sedangkan toliah wilayah barat meliputi semua wilayah di sebelah barat Solo.

Jadi 10 tahun lalu Densus 88 Antiteror membongkar keberadaan toliah JI di wilayah Solo Raya, dan menangkapi anak buah Sabarno.

Bahan peledak dan senjata api turut disita. Penangkapan ini membawa informasi struktur lapangan JI dan siapa pemimpin toliah timur JI.
Nama  Sabarno muncul. Sabarno mengendus kemungkinan dirinya bakal dikejar. Ia melepas jabatan ketua toliah, lalu menyelamatkan diri. Itulah awal dari pelarian panjang Sabarno, yang membawa serta keluarganya.  Anak-anaknya masih kecil saat itu.

Sabarno lahir dari keluarga taat agama di Madiun.  Ayahnya member ilham, memantik ghiroh, dan membentuk militansinya sebagai jamaah. Saat kecil, ia senang membaca kisah-kisah heroiknya mujahidin  Afghanistan, dari buku-buku yang dimiliki ayahnya.

Teman-teman ayahnya  juga satu lingkungan, dan menjadi bagian dari jamaah yang gairahnya besar terkait amalan jihad. Beranjak besar, Sabarno dikirim ke pesantren, dan ia masuk ke Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Simo, Boyolali, Jateng.

Dia masuk angkatan kedua di pesantren yang didirikan guru dan alumni Ponpes Al Mukmin Ngruki, Cemani, Sukoharjo. Dalam perjalanan ke Ponpes Darusy Syahadah, Simo, Boyolali, Sabarno cukup banyak bercerita tentang sepenggal kisah pelariannya.

Ditanya apakah kenal Gempur Budi Angkoro alias Urwah, Sabarno menjawab lirih. “Ya kenal wong keluarga, tetanggaan juga,” jawab Sabarno.

Gempur Budi Angkoro alias Urwah ini tewas saat menemani Noordin Mohd Top bersembunyi di sebuah rumah di Mojosongo, Kota Solo. Rumah itu diserbu Densus 88 Antiteror pada 16 September 2009 sekira pukul 22.30 WIB. Pertempuran berlangsung hingga pagi karena Noordin Mohd Top melawan.

Ia menolak menyerah, dan akhirnya mati bersama tiga pendampingnya, yaitu Urwah, Ario Sudarso alias Aji, dan Susilo. Susilo merupakan pengontrak rumah, dan saat kejadian bekerja mengurus ternak di Ponpesn Al Kahfi Mojosongo.

Sehari-harinya sebelum penggerebekan, Susilo tinggal Bersama Putri Munawaroh, istrinya yang tengah hamil. Penampilan dan pergaulannya normal seperti kebanyakan warga setempat. Ia juga berinteraksi biasa saja dalam urusan-urusan social dengan tetangga sekitar.

Kembali kekisah Sabarno, sesudah lulus  dari Darusy Syahadah, ia aktif di jamaah dan menjalani aneka peran dan misi gerakan.
Ia pernah dikirim kursus singkat ke wilayah Moro atau MILF di Mindanao. Lalu terjun ke konflik  Ambon, dan paling jauh, diberangkatkan ke Suriah.

Di  Mindanao, Sabarno belajar selama empat bulan saat pecah perang total antara pasukan MILF dan militer Filipina. Kamp Abubakar, lokasi pelatihan militer  para jihadis dari Indonesia saat itu sudah hancur lebur diserbu tentara.

Sabarno dan sejumlah orang asal Indonesia, menjalani kursus di hutan Mindanao di tempat seadanya. Setelah selesai, Sabarno pulang lewat  Malaysia. Kepulangannya tertunda-tunda karena aparat  keamanan Indonesia memperkuat perbatasan.

Akhirnya ia bisa masuk lewat jalur tikus, dan melanjutkan aktivitasnya di JI, termasuk misi khusus JI ke Suriah. Hingga akhirnya, toliahnya terendus dan anak buahnya pun ditangkapi 10 tahun lalu. Sabarno bergegas memboyong keluarganya lari dari tempat tinggalnya di Karanganyar, Jateng.

Pertama ia menyelamatkan diri ke sebuah tempat di Sragen, Jateng. Ia sempat berdagang ban bekas, jualan tahu bakso, dan bekerja apa saja untuk bertahan hidup.

Pimpin JI  Wilayah Jawa

Sosok  Abu Fatih alias Abdullah Anshori terlihat sangat dihormati di kalangan tokoh-tokoh utama eks Jamaah Islamiyah. Ini tampak ketika Tribun mendapat kesempatan dan akses beberapa kali menemui mereka di pinggiran Kota Solo, sepanjang Rabu (17/7/20204) hingga Jumat (19/7/2024).

Semua yang hadir dan bertemu Abu Fatih di lokasi terlihat segan. Beruntungnya, Tribun mendapat kesempatan pertama melakukan wawancara khusus dengan tokoh asal Magetan Jatim ini.

Sepintas Abu Fatih tampak orang yang tak banyak bicara, tenang, atau istilahnya klemar-klemer.  Usianya kini 66 tahun, dan tinggal di Sukoharjo. Kesibukannya sehari-hari di kebun, mengurus kebun pisangnya yang luasnya sekira 8.000 meter persegi.

Tapi setelah berbicara, Abu Fatih menunjukkan kemampuan verbalnya yang sangat bagus.  Artikulasi bicaranya runtut, lugas, jelas meski ia sempat berseloroh dirinya orang tua yang ompong. Gigi atas Abu Fatih memang sudah nyaris semuanya tanggal.

Sebelum diwawancarai, Abu Fatih menegaskan ia tidak membuat batasan apapun terkait isu yang ditanyakan.  Ia akan menjawab semua yang ditanyakan, sesuai kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Ia juga menjelaskan di awal, aktif di Jamaah Islamiyah hanya sampai 2001. Sesudah itu ia pasif, tidak ikut apapun yang dilakukan jamaah. Abu Fatih berusaha benar-benar di  luar organisasi walau tidak berlepas diri.

Keterlibatan  Abu Fatih di gerakan berbasis keagamaan ini dimulai dari beberapa decade lalu, ketika ia masih muda. Inspiratornya dan patronnya  Abdullah bin Ahmad Sungkar yang menginisiasi gerakan keagamaan usroh terkait afiliasinya dengan NII warisan SM Kartosoewirjo.

Akhir 70-an hingga awal 80-an, gerakan itu berkembang pesat dari Jawa Tengah lalu ke Jakarta dan sekitarnya. Menyeberang ke Sumatera dan daerah lainnya. Tahun 1985 Abdullah Sungkar lari ke Malaysia, tapi jaringan gerakan dan pengaruhnya masih eksis seperti kanker.

Abu Fatih mengikuti gerakan usroh, dan aktif di wilayah Jawa. Namanya lalu muncul ketika terjadi peristiwa Talangsari, Lampung. Aktor penting perlawanan Talangsari adalah Nurhidayat. Pria ini menjadi anggota usroh di Jakarta Selatan.

Ia mengenal gerakan usroh ini pada 1984 saat direkrut Abu Fatih alias Ibnu Thoyib, yang merupakan kader usroh  Abdullah Sungkar sejak di Solo. Saat  Abu Fatih aktif di Jakarta inilah, meledak peristiwa bentrok ormas dan pasukan keamanan Indonesia di Tanjungpriok.

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan massa pada 12 September 1984 yang menewaskan sekurangnya 24 aktivis dan simpatisan gerakan Islam, termasuk Amir Biki. Sekurangnya 160 orang ditangkap aparat keamanan segera sesudah kejadian tragis itu, termasuk  Abu Fatih alias Ibnu Muhammad Toyib.

Sesudah peristiwa Tanjungpriok, Abu Fatih dijebloskanke LP Cipinang bersama aktivis usroh dan gerakan Islam di Jakarta. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih inilah yang kelak ketika  Abdullah Sungkar mendirikan Jamaah Islamiyah, ditunjuk menjadi Ketua Mantiqi II meliputi wilayah Jawa.

Menurut pengakuan Abu Fatih, sekira tahun 1997, jauh setelah bebas dari LP Cipinang, ia dipanggil  Abdullah Sungkarke Malaysia. Kepada  Abu Fatih, Abdullah Sungkar meminta ia memimpin Mantiqi II yang membawahi Pulau Jawa. (tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)
 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved