Berita NTT
Di Atas Mezbah Gunung Labalekan Lelaki Ini Meminta Hujan
Kita seakan menghadapi sebuah labirin, yakni jalan yang berkelok-kelok dan sungguh membingungkan. Bahkan seakan tak ada ujung.
Penulis: Paul Burin | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM - SAYA tak menyangka ternyata lelaki paruh baya yang mengenakan celana jins, baju kaus dan bersepatu kets itu adalah teman seangkatan di SDK Puor, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, tahun 1982.
Lelaki ini biasa kami sapa Kolu Mega. Nama lengkapnya, Karolus Mega Botoor (56). Kadang juga kami panggil Karel Botoor. Saya lebih senang menyapanya Kolu Mega karena lebih mulok. Sungguh ia tak punya trah keluarga dengan Mega (wati ) Soekarnoputri, mantan Presiden kelima RI ini.
Pak Guru Markus Kedati Klobor, guru kelas kami yang juga seniman itu-- karena piawai mengharmoni lagu -- menempatkan kami dua pada posisi tenor bersama No Toni Kia Lamak dan entah dengan siapa lagi jika kami berlatih koor. Latihan koor juga wajib disiplin. Tak boleh main-main.
Pak Markus bilang, semua hal yang dikerjakan tak boleh setengah-setengah atau tak boleh setengah hati karena hasilnya tak akan maksimal. Gemblengan Pak Guru Markus membuat kami sungguh merasakan manfaatnya hingga kini.
Baca juga: Cuaca Maritim NTT Hari Ini 20 Juli 2024,BMKG Ingatkan Perairan NTT Masih Berpotensi Gelombang Tinggi
Beberapa teman seangkatan, di antaranya Gabriel Kowa Kobun, Ambrosia Ligar Leban, Yuliana Ipa Liman, Veronika Pega Kobun, Karolus Murin Botoor, Petrus Wali Bakior, Stefanus Bala Botoor, Theresia Beto Leban, Yasinta Gunung Liman, Benediktus Kimo Kobun dan Benediktus Laga Kalang.
Tiga nama terakhir kini sebagai kepala sekolah dasar. Dua orang lainnya, yakni Ignas Wolo Liman, guru SMPN Wulandoni dan Petrus Lungun Alior, guru SMAN I Fakfak, Papua.
Menarik Perhatian
Malam yang kian larut di atas geladak KM Sabuk Nusantara 48 rute Kupang - Wulandoni, Lembata Selatan, akhir Juni 2024 itu sungguh memantik saya untuk sekadar berbasa-basi dengan lelaki ini. Kapal tol termurah dengan tarif cuma Rp 24 ribu per penumpang ini belum juga meninggalkan Pelabuhan Tenau Kupang. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 Wita.
Padahal jadwal kapal untuk berangkat pukul 17.00 Wita. Ada sekitar empat jam kami menunggu dengan sangat sabar. Waktu tempuhnya 12 jam perjalanan.
Lelaki ini memang menarik perhatian saya karena selalu lalu lalang di hadapan saya sembari menerima atau menelepon, entah dengan siapa. Sepertinya ada hal serius yang tengah ia percakapkan dengan keluarganya. Saya menangkap juga ia tengah "gara-gara" begitu. Terlihat masih lincah, padahal usianya sebaya saya. Setengah abad lebih. Yang jadi soal adalah saya belum mampu "mendeteksi" siapa gerangan lelaki ini. Mungkin dia juga demikian adanya.
Awalnya, berdua "lancang"sekali berbahasa Indonesia. Tiap kali mengakhiri kalimat, ia selalu membubuhi dengan frasa, " Yak pak atau ya bapak" dan selanjutnya sampai kami baku tahu. Memang, ada sedikit perubahan pada wajah karena usia yang tak muda lagi sehingga butuh sedikit "ketekunan" (bahasa Puor, sure gnere) untuk mengidentifikasi siapa gerangan dia. Ya, kami memang sudah lama tak jumpa selain karena malam yang mulai larut. Penglihatan saya dan mungkin juga penglihatan dia sudah kalah. Apalagi lampu kapal sungguh samar-samar.
Terakhir kali kami jumpa lima tahun lalu di kampung saat bapa meninggal. Tapi, perangainya, gestur, pembawaan diri tetap hangat. Selalu respek. Merespon pembicaraan dengan tawanya yang khas. Bicara banyak dan selalu menghibur.
Ketika kami berdua belum "connect" saya menanyakan jika turun di Wulandoni hendak ke kampung mana, dia menjawab singkat," Saya hendak ke Puor." Sejenak saya memastikan dengan menatap wajahnya sedikit lebih lama.
Kemudian, saya spontan menyebut namanya. "Mo Kolu Mega to (engkau Kolu Mega kan?" Dari situlah suasana menjadi lebih cair lagi. Dia juga balik menyebut nama saya. Ramailah berdua menggunakan bahasa Puor.
Cerita kami pun "ngorol-ngidul" hingga paruh malam berlalu sebelum kami pamit menuju peraduan. Percakapan nan panjang ini menjadikan saya tahu sesungguhnya perannya yang tak kecil di kampung.
Kolu juga selalu memerhatikan pendidikan anak-anak. Sulung, perempuan, menyelesaikan studi ilmu gizi di Undana Kupang, menyusul yang lainnya masih di bangku sekolah. Yang laki-laki sudah menikah. Tekadnya ialah mereka harus berpendidikan tinggi agar hidupnya kelak lebih cerlang-cemerlang.
Memang, Kolu bilang, tanpa sekolah tinggi pun orang bisa hidup baik. Tapi, jika dengan bekal pendidikan yang tinggi menjadi ukuran hidup yang lebih baik. Tinggal ditekuni dengan saksama.
Menuju Gunung
Kolu punya peran yang sungguh sentral. Jika pada waktunya hujan belum turun sehingga petani menjadi resah, dialah yang akan menuju ke puncak Gunung Labalekan (1.621 meter dpl) untuk meminta restu agar hujan segera turun.
Begitu pula jika curah hujan berlebihan, dialah yang akan ke sana lagi untuk membuat seremoni adat. Permohonan itu kata Kolu selalu diterima sumber "kekuatan" di gunung itu. Biasanya jedah dua sampai tiga hari permintaan itu dikabulkan.
Dalam bahasa Puor kurang lebih seperti ini (seremoni agar hujan segera turun/letes lenam leta ujan nan
tur): Nene Labalekan, go kar aka na/gok letara uja wai wangak/ ke ana waji or ana nuja golu/da mul def gawuk um kfar daro matai depur/ke go leta no orega tu pua/go tuega kora uja wai wangak mis. Terjemahannya kurang lebih: para leluhur Labalekan, saya datang ke sini memohon kiranya boleh memberi generasi kami hujan yang lebat agar tanaman dapat menghasilkan buah yang melimpah demi hidup yang
lebih baik.
Selain itu, seremoni agar hujan segera berhenti/letes lenam ujan nan mnainga): Nene Labalekan go kar aka/mai gok tedek maji mai or ana nuja golu hasil daesa daro tafa dole/ke gok aka ke tedek maji mai lo mom manga uja wai wangak nan maja (Para leluhur Labalekan, saya datang lagi ke sini untuk meminta jauhkan kami dari hujan dan banjir agar tanaman pertanian jangan sampai puso/rusak).
Setiap kali pergi, ia membawa seekor ayam jantan sebagai syarat persembahan kepada kekuatan tertinggi di gunung itu. Pada sebuah mezbah di puncak gunung itu tempat ia melantunkan doa maupun pujian kepada para leluhur.
Hanya Kolu saja yang boleh pergi, tak boleh diwakili. Sesungguhnya ini sebagai kepercayaan dari suku/klen/marga Botoor kepadanya.
Meski ini perintah dari suku, sebetulnya ia juga menjalankan tugas yang lebih besar, yakni untuk kepentingan seluruh warga desa. Sebab hujan yang turun tak hanya membasahi lahan suku Botoor saja, tapi semua lahan warga suku di desa itu.
Karena itu ketika ia hendak menuju ke puncak gunung, warga dari suku lain boleh menyediakan "persembahan" berupa seekor ayam jantan yang sehat sebagai bentuk penghargaan pada kekuatan alam di gunung tertinggi di Pulau Lembata itu.
Memang, kata dia, ada sejumlah pantangan, di antaranya ketika tiba pada ketinggian gunung tak boleh mengekspresikan kegembiraan dengan berteriak atau menyebut sesuatu di bawah sana. Disarankan untuk diam saja. Jika ada pelanggaran maka kita akan tersesat. Sekelebat saja awan-gemawan akan menutupi seluruh permukaan gunung.
Kita seakan menghadapi sebuah labirin, yakni jalan yang berkelok-kelok dan sungguh membingungkan. Bahkan seakan tak ada ujung. Padahal kita pada posisi jalan yang benar. Jika demikian maka berhentilah sejenak dan nyatakan permohonan maaf kepada alam setempat.
Menerima Rezeki
Jika prosesi itu dijalani dengan baik maka kekuatan di gunung itu akan memberi hadiah. Seekor rusa liar sekonyong-konyong akan datang untuk menyerahkan diri. Syaratnya harus segera bunuh. Tak boleh bawa hidup-hidup pulang ke kampung. Sudah beberapa kali Kolu bercerita bahwa hadiah ini kerap ia dapatkan. Mengapa disebut hadiah karena hewan itu datang menyerahkan diri. Dan, tak bakal lari. Hewan liar itu akan tenang saja di tempat sampai ditangkap
Selain ritual untuk meminta dan menghentikan hujan, juga ada pula ritual adat menghentikan angin kencang yang menjadi gawe dari Suku Wuwur dan Kobun. Dua suku inilah yang kerap melakukan dengan ritus-ritus yang sungguh khusus pula. Tapi, tetua adat dua suku ini tidak sampai mendaki ke puncak gunung itu. Mereka akan menuju ke Klupor, tempat yang diyakini sebagai pusat dan sumber mata angin sejagat. (paul burin)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.