Pemilihan Presiden Iran
Pilpres Iran Putaran Kedua Hadapkan Kubu Konservatif dan Reformis: Saeed Jalili VS Masoud Pezeshkian
Jumlah partisipasi publik dalam pemilu Iran telah turun sejak tiga tahun terakhir dengan partisipasi sekitar 40 persen.
POS-KUPANG.COM, TEHERAN - Putaran kedua pemilihan presiden Iran akan menghadapkan langsung calon presiden konservatif Saeed Jalili dengan satu-satunya calon reformis Masoud Pezeshkian. Keduanya bersaing ketat dalam hasil penghitungan pemilihan presiden akhir pekan lalu, tetapi tak satu pun berhasil menggalang suara lebih dari 50 persen.
Antusiasme warga Iran dalam pemilu kali ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah Iran menggelar pemilu sejak 1979, yaitu hanya 39,92 persen suara.
Pezeshkian dan Jalili akan berhadapan langsung dalam pemilihan presiden putaran kedua Iran yang akan digelar pada Jumat, 5 Juli 2024. Sebelumnya, kedua kandidat itu akan beradu debat dua kali dan akan disiarkan di televisi nasional dalam pekan ini.
Juru bicara Markas Besar Pemilihan Umum Iran, Mohsen Eslami, mengumumkan hasil akhir pemilihan presiden pada Sabtu (29/6/2024) malam waktu. Dengan total suara masuk sebanyak 24.535.185, Pezeshkian unggul dengan perolehan suara 10.415.991 suara atau 42,45 persen dari total suara yang masuk.
Sementara Jalili dari kubu konservatif garis keras di posisi kedua dengan perolehan suara 38,61 persen atau 9.473.298 suara. Dua kandidat lain dari kubu konservatif, yakni Mohammad Baqer Ghalibaf dan Mostafa Pourmohammadi, masing-masing memperoleh 13,78 persen dan 0,84 persen suara.
Pemungutan suara diadakan di sekitar 59.000 tempat pemungutan suara di seluruh negeri. Dua kandidat berhaluan garis keras lainnya, Wali Kota Teheran Alireza Zakani dan pejabat pemerintah Amir-Hossein Ghazizadeh Hashemi, mengundurkan diri sebelum pemungutan suara.
Pezeshkian dan Jalili adalah dua calon dengan haluan yang sangat bertolak belakang. Pezeshkian merupakan satu-satunya kandidat reformis dari empat calon presiden yang lolos untuk ikut dalam pemilu Iran ini.

Berprofesi sebagai dokter bedah jantung, Pezeshkian menjabat sebagai menteri kesehatan di bawah presiden reformis Mohammad Khatami dari tahun 2001 hingga 2005 dan telah menduduki kursi di parlemen sejak tahun 2008.
Selama ini, Pezeshkian sangat vokal mengkritik kurangnya transparansi terkait tewasnya Mahsa Amini (22) saat ditahan polisi moral Iran. Amini adalah gadis dari suku Kurdi yang ditahan aparat Iran karena dinilai mengenakan hijab tak sesuai aturan pada 2022 lalu. Kematian Amini memicu unjuk rasa dan kerusuhan selama beberapa bulan.
Dewan Penjaga (The Guardian Council) tak meloloskan Pezeshkian saat mengikuti pemilihan presiden pada 2021. Dewan Penjaga Iran ini terdiri dari 12 tokoh berhaluan keras yang pada akhirnya menentukan tokoh yang bisa maju sebagai calon presiden Iran.
Awalnya, terdapat 80 tokoh yang mendaftarkan diri sebagai calon presiden Iran. Salah satunya mantan presiden Iran yang sangat populer di masyarakat, Mahmoud Ahmadinejad. Namun, hanya enam nama yang diloloskan oleh Dewan Penjaga.
Baca juga: Pemilihan Presiden Iran untuk Menggantikan Ebrahim Raisi Dimulai
Dalam kampanyenya, Pezeshkian mengatakan akan membuka kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain, termasuk AS. Ia juga menuduh kubu konservatif telah merusak perekonomian Iran dengan tidak berusaha menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan negara-negara Barat, yaitu Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).

Berakhirnya perjanjian nuklir itu membuat Iran dikenai sanksi ekonomi oleh AS dan negara Barat sekutunya sejak 2018. Hingga sekarang, sanksi Barat itu turut memicu kesulitan ekonomi Iran.
Sementara itu, Jalili dinilai sebagai sosok dari kubu konservatif dengan haluan paling keras. Berkebalikan dengan Pezeshkian, ia adalah mantan kepala perunding nuklir yang terkenal karena penolakannya yang tegas terhadap JCPOA pada tahun 2015.
Ketenaran Jalili tumbuh selama masa jabatannya sebagai Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran (SNSC) saat ia mengawasi negosiasi nuklir dari tahun 2007 hingga 2013.
Dukungan kubu konservatif
Menyusul hasil penghitungan suara itu, para mantan calon presiden dari kubu konservatif, baik yang mundur maupun kalah suara, langsung menyerukan untuk memilih Jalili. Ghalibaf, Zakani, dan Ghazizadeh meminta para pendukung mereka untuk memilih Jalili pada putaran kedua untuk memastikan kemenangan bagi front revolusi.
Ghalibaf, mantan jenderal paramiliter Garda Revolusi Iran dan kepala polisi Iran, juga melontarkan kritik tajam terhadap Pezeshkian karena bersekutu dengan Presiden Hassan Rouhani dan mantan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif yang berhaluan moderat.
Keduanya mencapai kesepakatan nuklir Iran pada tahun 2015 dengan negara-negara Barat. Pada 2018, AS di bawah Presiden Donald Trump secara unilateral menarik diri dari perjanjian itu dan menjatuhkan sanksi ekonomi pada Iran.
”Jalannya belum berakhir, dan terlepas dari kenyataan bahwa saya menghormati Tuan Dr Pezeshkian secara pribadi, saya meminta semua kekuatan revolusioner dan pendukung saya untuk membantu menghentikan gelombang yang menyebabkan masalah ekonomi dan politik kita hari ini,” katanya.
Puncak apatisme
Angka partisipasi pemilu Iran kali ini terendah sepanjang sejarah. Jumlah pemilih yang memberi suara hanya 39,92 persen dari total 61.452.000 orang yang berhak memilih tahun ini.
Padahal, waktu pemungutan suara yang dimulai Jumat pagi telah diperpanjang tiga kali hingga batas maksimal pada Sabtu tengah malam. Waktu pemilihan ini diperpanjang dari 10 jam menjadi 16 jam.
Jumlah partisipasi publik dalam pemilu Iran telah turun sejak tiga tahun terakhir. Pemilu Iran terakhir yang digelar pada Maret 2024, yaitu pemilu legislatif, hanya menggalang partisipasi pemilih sebanyak 40,6 persen. Sementara pemilihan presiden yang dimenangi Ebrahim Raisi (alm) pada 2021 hanya diikuti 49 persen pemilih.
Selain partisipasi rendah, lebih dari 1 juta suara yang masuk ke kotak suara dibatalkan, baik tak diisi maupun dirusak. Oleh pengamat dan media Barat, hal ini dinilai sebagai tanda bahwa masyarakat yang datang merasa berkewajiban untuk memberikan suara, tetapi tidak ingin memilih salah satu kandidat.
Pengamat dan media Barat juga menilai rendahnya partisipasi publik di pemilu Iran sebagai bentuk protes dan rasa frustrasi masyarakat Iran terhadap jalannya pemerintahan teokrasi Iran di bawah Pimpinan Tertinggi Ayatollah Khamenei.
”Mari kita lihat ini sebagai protes tersendiri. Pilihan untuk menolak apa yang ditawarkan, baik kandidat maupun sistem. Hal ini memberi tahu kita banyak hal tentang opini publik, sikap apatis, dan rasa frustrasi. Ini semacam menyatukan semuanya,” kata Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di pusat kajian Chatham House.
Ahli politik Iran dan mantan profesor di Universitas Teheran, Mohammed Hadi Semati, mengatakan, tantangan utama Pemerintah Iran saat ini adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan serta memperbaiki ekonomi masyarakat. Legitimasi rezim teokrasi Iran mulai terkikis, terutama sejak unjuk rasa di seluruh negeri terkait tewasnya Mahsa Amini.
Selain gejolak politik dan sosial, Iran juga berada dalam krisis ekonomi. Pada tahun 2022, sekitar 60 persen warga Iran dilaporkan hidup pada atau di bawah garis kemiskinan. Pusat Statistik Iran mengungkapkan, inflasi negara itu berfluktuasi antara 39 dan 56 persen selama sembilan bulan pertama tahun 2023. Tingginya inflasi membuat warga semakin tertekan krisis ekonomi.
Hamid Reza Gholamzadeh, pakar kebijakan luar negeri Iran, mengaitkan rendahnya partisipasi pemilih sebagai kegagalan kubu reformis untuk menjangkau masyarakat yang sudah apatis pada pemerintahan Iran. Ia menilai Pezeshkian gagal menyadarkan kelompok masyarakat yang apatis itu untuk memberi suara.
Padahal, Pezeshkian telah mendapat dukungan dari kalangan elite kelompok reformis, seperti mantan Presiden Mohammad Khatami dan Hassan Rouhani. ”Dan saya menafsirkan mereka sebagai orang-orang yang mengatakan mereka menginginkan perubahan,” kata Gholamzadeh pada media berbasis di Qatar, Al-Jazeera.
Ia menilai, putaran kedua ini bisa menjadi kesempatan bagi Pezeshkian memenangi pemilu Iran. Pertarungan putaran kedua dengan dua pilihan yang bertolak belakang itu diperkirakan akan menarik kelompok masyarakat yang tak memberi suara pada pemungutan suara Jumat lalu.
Di sisi lain, Pezeshkian membutuhkan lebih banyak suara untuk mengalahkan kekuatan gabungan dari kubu konservatif dan garis keras yang sekarang bersatu melawannya.
(kompas.id/ap/afp/reuters)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.