Kecerdasan Buatan
Indonesia Berada di Garis Depan dalam Menghadapi Harapan dan Ketakutan Kecerdasan Buatan di Asia
Indeks otoritatif menunjukkan 78 persen masyarakat Indonesia melihat lebih banyak manfaat daripada risiko dari AI, meskipun terdapat kerentanan.
Pengalaman Indonesia harus dipelajari dan rekomendasi serta praktik terbaik harus diedarkan secara luas, tidak hanya untuk kepentingan negara tetapi juga untuk negara demokrasi lainnya.
Peraturan sedang diusulkan untuk melindungi negara-negara demokrasi dari kesalahan besar di seluruh dunia. Misalnya, Komisi Pemilihan Umum India baru-baru ini mengedarkan pedoman yang memberitahukan partai politik untuk mematuhi peraturan yang ada, dan tidak membuat atau menyebarkan deepfake yang berbahaya.
Sementara di AS, para legislator telah mengusulkan rancangan undang-undang yang mewajibkan pemberitahuan transparan mengenai video atau audio deepfake dalam iklan politik.
Baca juga: Hasil Penelitian: Lulusan dengan Keterampilan Kecerdasan Buatan Lebih Diminati Perusahaan
Selain integritas pemilu, regulator yang menangani keamanan online juga dapat menerapkan praktik terbaik secara global. Baru-baru ini, Jaringan Regulator Keamanan Online – sebuah kelompok yang terdiri dari delapan regulator independen dari seluruh dunia – menerbitkan panduan untuk mengatasi masalah hak asasi manusia dalam keamanan online, dan bagaimana membangun koherensi peraturan untuk masalah keamanan online, yang mencakup banyak pemalsuan.
Memanfaatkan jaringan ini akan menjadi hal yang penting tidak hanya bagi para pengambil kebijakan pemerintah namun juga bagi masyarakat sipil Indonesia yang terlibat dalam permasalahan hak-hak digital.
Meskipun masyarakat Indonesia mengkhawatirkan penyalahgunaan AI, mereka juga optimis terhadap teknologi tersebut. Laporan Indeks AI Stanford tahun 2024 mengungkapkan bahwa 78 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa layanan dan alat AI memiliki lebih banyak manfaat daripada risiko – angka tertinggi dari 31 negara yang disurvei.
Indonesia dapat mengandalkan optimisme dan pengalamannya yang hati-hati, serta memanfaatkan peraturan yang ada untuk menciptakan ekosistem AI yang dinamis dan beretika yang dapat menjadi model di seluruh dunia.
Seth Hays adalah pengacara dan direktur pelaksana APAC GATES, sebuah konsultan hak asasi manusia yang berbasis di Taipei. Ia juga memimpin Digital Governance Asia Center of Excellence – sebuah organisasi nirlaba yang berdedikasi untuk berbagi praktik terbaik kebijakan di seluruh Asia.
(asiatimes.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.