Opini
Opini: Idul Kurban dan Transformasi Moderasi Beragama
Sedangkan ibadah haji bagi kaum muslim yang berkemampuan secara finansial, ilmu pengetahuan maupun fisik.
Oleh Abdurahman Ato
Ketimker GTK Kanwil Kemenag Provinsi NTT, Dosen LB UMK dan STAI Kupang
POS-KUPANG.COM - Pemerintah melalui Kementerian Agama telah mengumumkan hasil sidang isbat bahwa 1 Julhijjah 1445 jatuh pada tanggal 7 Juni 2024. Sehingga perayaan Idul kurban sudah bisa dipastikan tanggal 17 Juni 2024.
Idul kurban biasa disebut juga lebaran haji. Dua nama sedikit beda, namun keduanya satu kesatuan ritual ibadah yang tak terpisahkan. Idul kurban adalah hukumnya sunnah muakkad yang dilaksankan oleh kaum muslim ketika di tanah air.
Dengan melakukan penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk manifestasi rasa ketundukan dan kepatuhan atas perintah Tuhan-nya. Dan, daging hasil penyembelihan tersebut didistribusikan kepada pihak terkait yang berhak menerima sesuai ketentuan syariat yang berlaku.
Dengan begitu, kemudian pada gilirannya ia tergolong orang yang lebih dekat dengan Sang Kholiknya.
Sedangkan ibadah haji bagi kaum muslim yang berkemampuan secara finansial, ilmu pengetahuan maupun fisik. Melaksanakan semua prosesi ibadah haji di tanah suci Mekah secara runtut, sistematis dan masif.
Penghujung dari semua rentetan perjalanan rohani tersebut semua jamaah haji wajib hukumnya berwukuf di arafah. Selain dari pada itu, semuanya diharuskan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk kesempurnaan ibadah haji.
Khususnya idul kurban perlu diyakini bukan hanya sebatas ritual ubudiyah habluminallah semata. Melainkan sisi lain penting juga sebagaimana pesan agama dipahami lebih konferhensif dan universal.
Pesan agama bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin. Artinya, dimensi habluminannas hubungan antar sesama dalam konteks ibadah kemudian menjadi salah satu indikator kualitas dari pada sebuah ritual ibadah.
Salah satu dari sekian banyak hadits yang pesankan kepada kita kaum muslimin adalah; “Barang siapa beriman kepada Allah maka ia harus menghormati tamunya dan berbuat baik kepada tetangganya”.
Hadits ini dibuktikan dengan perilaku Nabi Muhammad ketika mencetuskan Piagam Madinah ketika di Madinah. Beliau Rasulullah SAW justru mengedepan nilai- nilai tasammu (toleransi ) di tengah Masyarakat Madinah yang plural terdiri dari suku, ras, dan agama di kala itu.
Fenomena idul kurban yang puncaknya pada tahapan distribusi daging hewan kurban, masi terkesan diskriminatif dan eksklusif tidak meluas kepada antar sesama. Tidak mempertimbangkan secara arif dan bijaksana dari sisi agama, suku dan lain sebagainya.
Instrumen yang dipakai secara tekstual tampa ditafsirkan lagi sesuai dengan kondisi lokal terutama kita yang berdomisili di NTT ini, soal kawin mawin, tegur sapa, posisi tempat tinggal berdampingan kiri kanan, muka belakang bahkan bertetangga sebelah dengan berbagai rumah ibadah hal biasa muncul secara sporadis alami sejak NKRI ini ada.
Begitu pula titik distribusi ke basis yang berhak menerima hewan kurban masi terkesan belum memiliki menejemen yang baik dan merata. Sehingga masih adanya penumpukan hewan kurban sementara di wilayah lain mengalami kekuarangan.
Ulama Kontenporer asal Mesir, Yusuf Al Qardawy berpendapat skema pemanfaatan hewan kurban masih bersifat konsumtif ( bagi-bagi habis ) tampa harus mempertimbangkan aspek yang lebih spektakuler jangka panjang demi kemaslahatan umat yang lebih produktif.
Misalnya, tambahan biaya Pendidikan anak yatim piatu, renovasi dan pembangunan sarana prasarana pendidikan dan sarana lainnya yang justru lebih efektif meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Untuk itu, distribusi hewan kurban semestinya perlu mengedepankan berbagai aspek horizontal sebagai sebuah indikator mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin.
Distribusi hewan kurban lintas agama adalah sebuah transformasi moderasi beragama yang perlu kita kedepankan untuk mempertahankan nilai-nilai humanis dalam interaksi dan komunikasi antar sesama sebagaimana pesan agama.
Menurut Drs. Salahudin Al Ayubi, salah satu unsur ketua MUI Pusat, ada tiga kriteria golongan yang berhak menerima distribusi hewan kurban. Adalah; pertama, fakir miskin yang sangat membutuhkan.
Kedua, tetangga dekat. Dan ketiga, orang yang berkurban. Khusus tetangga, tidak ada dalil yang menjelaskan adanya kekhususan etnis, suku bahkan agama.
Hal ini senada dengan pendapat Ustazd Abdul Somad, Lc. Salah satu Dai kondang saat ini dengan mengutip kitab mazhab Imam Syafi’I. Ia mengatakan ada satu jenis hewan kurban yang status hukumnya sunnah itu diperbolehkan untuk berikan semua golongan tampa memandang agama.
Kementerian Agama merupakan leading sektor dari pada konsep moderasi beragama perlu menjadi pionir distribusi hewan kurban lintas agama.
Bersama tenaga handal penyuluh dan penghulu agama yang telah ditugaskan ke lini masyarakat yang paling bawah melakukan sosialisasi kepada seluru lapisan masyarakat terutama kalangan keluarga, oramas, takmir masjid dan elemen lainnya.
Hal ini sesuai gagasan yang dikemukakan Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT, Reginaldus Saverinus Sely Serang.
Pada beberapa kali momen membuka kegiatan penguatan moderasi beragama, ia menegaskan bahwa posisi saat ini konsep moderasi beragama tidak lagi berada pada tahapan teori dengan slogan merubah cara pikir dan cara pandang.
Akan tetapi lebih urgen dari pada itu adalah bagaimana perilaku individu-individu umat beragama lebih intens membangun keakraban, persahabatan, pertemanan dan kekeluargaan lewat berbagai aksi sosial maupun agama.
Untuk mewujudkan gagasan yang brilian ini, barang kali satu variabel pendukungnya adalah inovasi tradisi distribusi hewan kurban lebih meluas lintas agama. Semoga. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.