Konflik di Semenanjung Korea

Korea Utara Serang Korea Selatan dengan Balon Sampah

Dari catatan militer Korsel, balon-balon yang dikirimkan Korut kali ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan pengiriman sebelumnya pada 2016

Editor: Agustinus Sape
JEONBUK FIRE HEADQUARTERS VIA AP
Dalam foto yang dirilis Jeonbuk Fire Headquarters tampak balon-balon berisi sampah yang diduga dikirimkan oleh Korea Utara tergantung di kabel listrik di Muju, Korsel, Rabu (29/5/2024). 

POS-KUPANG.COM, SEOUL - Setelah pertemuan trilateral China, Korea Selatan, dan Jepang di Seoul berakhir, militer Korea Selatan mengungkap Korea Utara menerbangkan sekitar 200 balon udara berisi sampah dan kotoran ke wilayah Korea Selatan. Balon-balon itu diperkirakan sebagai balasan Korea Utara atas selebaran anti-Pyongyang yang dikirimkan aktivis Korea Selatan.

Kantor berita Korsel, Yonhap, yang mengutip keterangan Kepala Staf Gabungan (JCS), Rabu (29/5/2024), melaporkan, balon-balon itu diperkirakan diterbangkan sejak Selasa (28/5/2024) malam. Hingga Rabu pukul 13.00 waktu setempat, sekitar 200 balon sudah melintasi perbatasan dan mencapai Provinsi Gyeongsang Selatan di bagian tenggara. Balon-balon itu jatuh di sejumlah lokasi di Korsel.

Dari catatan militer Korsel, balon-balon yang dikirimkan Korut kali ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan pengiriman sebelumnya pada 2016 dan 2018. Menurut JCS, jumlah balon yang dikirim diperkirakan meningkat.

Balon-balon itu membawa berbagai macam sampah dan kotoran, di antaranya botol plastik, baterai, bagian sepatu, dan kotoran hewan. Dari foto-foto yang dirilis militer Korsel, terlihat kantong plastik berisi sampah yang ditambatkan pada balon-balon yang digelembungkan. Gambar lain menunjukkan sampah berserakan di sekitar balon yang jatuh, dengan kata ”kotoran” tertulis di tas yang ditambatkan.

Unit persenjataan bahan peledak militer serta tim tanggap perang kimia dan biologi Korsel dikerahkan untuk memeriksa dan mengumpulkan benda-benda tersebut. Militer Korsel memperingatkan penduduk untuk tidak menyentuh balon-balon itu dan agar melaporkan kepada militer atau polisi terdekat.

balon sampah dari korea utara_01
Sampah-sampah yang dikirimkan dengan balon-balon yang diduga dikirim oleh Korea Utara terlihat di Seoul, Korea Selatan, Rabu (29/5/2024).

Militer juga memperingatkan, balon-balon itu dapat menimbulkan kerusakan. Balon-balon yang dikirim Korut pada 2016 menyebabkan kerusakan pada kendaraan dan atap rumah.

”Tindakan Korea Utara ini jelas melanggar hukum internasional dan sangat mengancam keselamatan rakyat kami. (Kami) dengan tegas memperingati Korea Utara untuk segera menghentikan tindakannya yang tidak manusiawi dan vulgar,” kata JCS.

Pada Minggu, Wakil Menteri Pertahanan Korut menyatakan akan menggunakan ”kekuatan yang kokoh untuk membela diri”. Ia juga memperingatkan bahwa ”gundukan kertas bekas dan kotoran” akan dikirim ke Korsel sebagai tanggapan atas ”barang-barang kotor” yang diterbangkan ke Korut.

Selama bertahun-tahun, para pembelot Korut di Korsel dan aktivis konservatif menerbangkan selebaran ke Korut menggunakan balon. Selebaran propaganda itu digunakan untuk mendorong warga Korut agar bangkit melawan rezim Pyongyang.

Korut mengecam kampanye propaganda tersebut. Korut khawatir, masuknya informasi dari luar dapat menimbulkan ancaman bagi Pemimpin Korut Kim Jong Un.

Korut telah berulang kali menyerukan diakhirinya kampanye selebaran tersebut. Persoalan itu telah lama menjadi sumber ketegangan kedua Korea yang secara teknis masih berperang. Perang Korea (1950-1953) berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

Pemerintah Korsel telah berupaya menghentikan para aktivis yang berkampanye semacam itu. Seoul beralasan tindakan tersebut tidak membantu memajukan perdamaian dan membahayakan keselamatan penduduk di dekat perbatasan.

Larangan peluncuran balon yang diberlakukan pada 2021 kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh pengadilan tinggi karena dianggap melanggar kebebasan berpendapat.

Peter Ward, peneliti di Sejong Institute, mengatakan, pengiriman balon jauh lebih kecil risikonya dibandingkan dengan tindakan militer secara terang-terangan.

”Taktik zona abu-abu semacam ini lebih sulit untuk dilawan dan memiliki risiko eskalasi militer tidak terkendali yang lebih kecil, bahkan jika taktik tersebut berdampak buruk bagi warga sipil yang menjadi sasaran,” katanya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved