Tokoh NTT
Profil Tokoh NTT , Andreas Anangguru Yewangoe Putra NTT yang Jadi Ketua PGI
Sosok Andreas Anangguru Yewangoe pernah mengharumkan nama Nusa Tenggara Timur dengan menjadi Ketua PGI yang berkedudukan di Jakarta
Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
POS KUPANG.COM -- Sosok Andreas Anangguru Yewangoe pernah mengharumkan nama Nusa Tenggara Timur dengan menjadi Ketua PGI yang berkedudukan di Jakarta. Dan menjadi Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Dikutip dari wikipedia, Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe yang lahir pada 31 Maret 1945 adalah seorang pendeta, dosen dan teolog Kristen Protestan yang merupakan salah satu tokoh pemimpin dan pemikir Kristen Indonesia saat ini.
Awalnya ia adalah dosen Akademi Theologi Kupang, Sekolah Tinggi Theologi Kupang kemudian menjadi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang.
Sekarang menjadi dosen tetap Sekolah Tinggi Teologi Moriah di Gading Serpong, Tangerang, Banten.
Riwayat Hidup
Yewangoe dilahirkan dari suami-istri Lakimbaba dan Kuba Yowi, namun sejak usia 7 bulan, menurut kebiasaan di daerahnya, ia sudah diasuh oleh orang tua angkatnya, yaitu Pdt. S.M. Yewangoe yang melayani sebagai seorang pendeta di kampungnya, dan istrinya, Leda Kaka.
Kehidupan Pdt. Yewangoe ini sangat sederhana karena gaji pendeta di desa sangat kecil. Karna itu, ayah angkatnya juga harus mencari nafkahnya sebagai seorang petani.
Sebagai seorang anak tani, Yewangoe terbiasa hidup menggembalakan kerbau bersama teman-temannya.
Hidup di tengah keluarga pendeta ternyata meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada dirinya. Dalam benaknya muncul keinginan untuk juga menjadi seorang pendeta.
Harapannya ini ternyata cocok dengan harapan ayah angkatnya, sehingga ia pun didorong untuk mengembangkan karier itu. Karenanya Yewangoe pun tertarik untul belajar teologi, meskipun saat itu ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang studi teologi.
Demikianlah Yewangoe menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat Masehi di Mamboru (1951-1957), yang dilanjutkannya dengan pendidikan menengahnya di sebuah sekolah Kristen di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat.
Setelah tamat dari SMA pada 1963, ia pun meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta).
Menjadi mahasiswa
Yewangoe berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal hewan. Setibanya di ibu kota, ia sangat terkejut menyaksikan perbedaan yang sangat besar dengan kampung halamannya.
Studinya di STT Jakarta tidak berjalan mudah, apalagi ia harus belajar bahasa Ibrani, bahasa Yunani, dan bahasa Inggris.
Yewangoe mengaku ia bukanlah seorang mahasiswa yang sangat rajin belajar. Meskipun dari sekitar 40 orang mahasiswa yang masuk bersamanya ke sekolah itu hanya 8 orang saja yang lulus, Yewangoe bersyukur karena ia banyak tertolong karena ia sering belajar bersama dengan teman-temannya di GMKI.
Mengajar teologi
Pada 1969, Yewangoe menyelesaikan studinya di STT Jakarta, lalu kembali ke Waingapu, Sumba dan melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Sumba (GKS). Pada 1971, ia dipanggil untuk menjadi dosen untuk mata kuliah Teologi Sistematika di Akademi Theologia Kupang (kini telah menjadi Universitas Kristen Artha Wacana) karena pendeta yang seharusnya mengajar di akademi itu mengundurkan diri.
Setahun kemudian, pada 1972, ia mendapat kepercayaan untuk menjadi rektor di sekolah itu untuk masa jabatan empat tahun, meskipun saat itu usianya baru 27 tahun.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.