Berita Nasional

Mahfud MD Bicara tentang Agama dan Negara di UII Yogyakarta: Banyak yang Tidak Paham

Banyak orang tidak paham tentang negara dan agama. Hal itu menyeret pada pemikiran yang keliru.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Seminar bertema "Agama dan Negara: Dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer" yang diselenggarakan UII Yogyakarta, Selasa (30/4/2024). 

POS-KUPANG.COM, SLEMAN - Banyak orang kurang memiliki pemahaman yang benar tentang konsep bernegara dan beragama. Hal ini kemudian membuat situasi semakin kacau karena mereka kemudian dengan mudah menghubungkan segala situasi yang kurang menyenangkan dengan isu negara dan agama.

Tokoh akademik sekaligus politikus Mahfud MD menuturkan, beberapa waktu lalu sejumlah orang tidak puas dengan hasil Pemilu 2024 dan menganggap proses demokrasi yang berlangsung adalah demokrasi yang kotor. Mereka kemudian berkomentar bahwa situasi tersebut menjadi pertanda bahwa negara Indonesia harus berganti konsep pemerintahan menjadi negara khilafah.

”Demokrasi yang buruk dianggap harus diatasi dengan mengubah konsep bernegara menjadi negara khilafah. Padahal, dua hal tersebut jelas sama sekali tidak ada hubungannya,” ujar Mahfud dalam paparannya selaku pembicara kunci dalam seminar nasional bertema ”Agama dan Negara: Dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer” di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) di Jalan Kaliurang Km 14,5, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, DIY, Selasa (30/4/2024).

Kekacauan pemikiran itu, menurut Mahfud, diduga terjadi karena banyak orang sebenarnya kurang memahami konsep tentang negara khilafah. Mereka juga tidak mengetahui bahwa di negara yang menjalankan konsep khilafah tetap berpotensi terjadi banyak penyimpangan, pelanggaran hukum, yang bahkan bisa berlangsung lebih parah dibandingkan negara nonkhilafah.

Syarat penting agar bisa mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik dan benar, tambah Mahfud, sebenarnya hanyalah cukup dengan menjalankan moral dan etika, ajaran baik dari agama, termasuk saat menjalankan aktivitas terkait hukum. Namun, sayangnya, hal tersebut sulit sekali terjadi di masa sekarang.

”Moral dan etik sudah benar-benar lepas dari aktivitas hukum. Terbukti, dalam segala sesuatu bisa diatur dan pasal, aturan dalam hukum bisa dengan mudah dibeli,” ujarnya.

Kolumnis dan penulis prolifik di berbagai media, Sukidi, menerangkan moral dan etika di Indonesia saat ini sudah roboh.

Hal ini, antara lain, terlihat dari sikap para tokoh agama, rohaniwan, yang semestinya menyebarkan, mengingatkan, tentang ajaran moral kebaikan agama dan etika, justru tenang, diam, menghadapi situasi kemunduran demokrasi yang membelit negara dan bangsa saat pemilu lalu.

Oleh karena itu, dia mengatakan, agama yang semestinya membawa suntikan kebaikan justru terasa menjauh dari kehidupan bernegara.

”Agama hanyalah menjadi sesuatu yang bisa kita temui di tempat ibadah seperti masjid, mushala, dan gereja semata,” ujarnya.

Guru Besar Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta, Tabita Kartika Christiani menuturkan, dalam konsep yang ideal, agama dan negara semestinya menjadi mitra, bersama-sama mewujudkan kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam konsep ini, tokoh agama seharusnya bisa menjadi pengingat atau membawa suara-suara nabi dalam kehidupan bernegara. Namun, hal itu juga tidak berlangsung di masa kini.

”Entah yang dibawa saat ini adalah suara-suara nabi yang asli atau suara nabi-nabi palsu,” ujarnya.

Penulis dan aktivis dari Freedom Institute, Hamid Basyaib, mengatakan, masih begitu banyak nilai dan ajaran agama yang patut dipertanyakan dan dipelajari secara benar.

Namun, di tengah situasi ketidakpahaman tersebut, agama sering kali ditarik, ikut dikaitkan dengan urusan politik.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved