Opini
Salib: Dari Penghinaan Menuju Kemuliaan
Untuk memperoleh deskripsi tentang narasi penyaliban Yesus yang terang benderang, film dokumenter Yesus dari Nasaret menurut injil Lukas.
Oleh: Arnoldus Nggorong
POS-KUPANG.COM - Menyebut kata salib, dengan serta merta imajinasi umat Kristiani langsung mengarah pada tokoh Yesus. Deskripsi tentang kesedihan, kesengsaraan, penderitaan, secara intrinsik, melekat pada kata Salib yang dihubungkan dengan Yesus. Sebab pengalaman Yesus terutama sejak penangkapan-Nya di taman Getsemani, yang didahului ciuman Yudas Iskariot sebagai petunjuk dan penanda bagi para serdadu (Mat. 26:48-49), dilanjutkan dengan penghinaan, pelecehan, penganiayaan, penyiksaan, dan berakhir dengan hukuman mati di salib menunjukkan dengan amat jelas kisah penderitaan itu.
Untuk memperoleh deskripsi tentang narasi penyaliban Yesus yang terang benderang, film dokumenter Yesus dari Nasaret menurut injil Lukas dengan sutradara John Heyman dan Jesus Christ Superstar yang disutradarai Norman Jewison dapat menjadi salah satu rujukan.
Lebih dari itu, kalau membaca dengan saksama seluruh kisah hidup Yesus dalam keempat injil yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, sesungguhnya, dalam arti tertentu, sejarah hidup Yesus sejak awal kelahiran-Nya sudah disertai dengan penderitaan.
Ditambah lagi dengan pencobaan di Padang Gurun, penolakan dari orang-orang seasalnya di Nazaret, kesulitan-kesulitan dari ahli taurat dan tokoh agama Yahudi merupakan pengalaman derita yang dialami Yesus ketika memulai dan selama pewartaan-Nya. Puncak dari kisah kesengsaraan dan penderitaan itu terlaksana pada kematian-Nya di salib.
Lagipula kalau menelusuri sejarahnya, diketahui bahwa penyaliban merupakan satu bentuk pelaksanaan hukuman mati Romawi. Hukuman ini dijalankan oleh orang-orang Roma terhadap para budak dan pemberontak politis, demikian Georg Kirchberger dalam bukunya ‘Allah Menggugat’.
Selanjutnya Kirchberger menulis, Yesus dihukum mati oleh instansi Romawi, yaitu prokurator Pontius Pilatus, sebagai seorang pemberontak yang melawan kekuasaan Roma dan juga penghujat Allah. Jadi alasan hukuman penyaliban yang ditimpakan pada Yesus adalah alasan politis dan religius.
Dalam konteks ini, Yesus dapat disetarakan dengan penjahat dan budak. Yesus terhitung dalam golongan orang-orang jahat (bdk. Mrk. 15:28) karena bersama Dia disalibkan juga dua penjahat.
Dengan ini menjadi jelas bahwa hukuman penyaliban adalah sesuatu yang amat hina, yang merendahkan martabat manusia, karena berhubungan dengan tindakan dan perilaku yang jahat, buruk, tidak manusiawi.
Dalam rumusan yang tegas, hukuman penyaliban adalah bentuk penghinaan paling biadab terhadap martabat manusia.
Perspektif Baru
Namun jika ditilik dari misi penyelamatan Yesus, salib menjadi sarana untuk menebus dosa manusia. Salib, yang sebelumnya dipandang sebagai simbol penghinaan, keputusasaan, dan segala macam keburukan yang disematkan padanya, mendapat makna baru di dalam Yesus.
Segala pandangan negatif yang berhubungan dengan salib, termasuk ucapan ustadz Abdul Somad yang beredar dalam potongan video: ‘salib adalah tempat bersarangnya jin kafir’ (cnnindonesia.com 18/8/2019), yang didukung oleh Daniel Mananta, artis nasional penganut Kristiani, “di balik patung salib Yesus ada jin kafir” (viva.co.id 18/11/2022), dan berbagai jenis sebutan lainnya yang mengandung keburukan, kini dibaharui dalam dan melalui Yesus.
Penderitaan, sengsara dan wafat Yesus dalam dan melalui salib bukan lagi dilihat sebagai malapetaka dan kemalangan. Salib telah mendapat aksentuasi baru dalam pengertian yang positif. Di dalamnya terdapat harapan, ketaatan, kesetiaan, kerelaan yang ikhlas bukan kerelaan yang dipaksakan, kesabaran, kepasrahan total, kerendahan hati, pengampunan, cinta yang tak terbatas.
Dalam rumusan religius-injili, salib dipandang sebagai sarana penebusan umat manusia. Dalam bahasa Kirchberger, Yesus menderita dan mati demi silih bagi mereka yang menolak dan membunuh-Nya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.