TPPO

Perdagangan Orang Berkedok Magang di Luar Negeri Jadi Persoalan Serius yang Terus Berulang

Praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok pemagangan siswa dan mahasiswa ke luar negeri merupakan modus lama.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/RIZA FATHONI
Mahasiswa mengikuti sesi pelajaran teori dengan alat peraga di dojo (kelas) di Akademi Komunitas Toyota Indonesia (AKTI) di Kawasan Industri KJIE, Margamulya, Kec. Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, Selasa (14/3/2023). Pendidikan vokasi ini mendidik 64 mahasiswa dari 4.000 peminat yang diseleksi. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok pemagangan siswa dan mahasiswa ke luar negeri merupakan modus lama. Ketidakjelasan pengawasan perlindungan pemagangan menjadi faktor penyebab utama.

“TPPO menjadi persoalan serius di Indonesia dan mengancam masyarakat, terutama perempuan dan anak. Praktik TPPO berkedok pemagangan siswa dan mahasiswa sejatinya merupakan modus lama. Sekitar 10–15 tahun yang lalu sudah ada praktik seperti itu (TPPO berkedok pemagangan),” ujar Ketua Tim Monitoring Efektivitas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah, Senin (25/3/2024), di Jakarta.

Sebelumnya viral mahasiswa Indonesia yang diduga menjadi korban TPPO di Jerman dengan modus pemagangan. PT SHB, yang berperan memberangkatkan mahasiswa — mahasiswa Indonesia itu mengklaim program magang ke Jerman sebagai bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.

Anis mengatakan, Komnas HAM menempatkan isu TPPO sebagai salah satu prioritas. Di luar viral mahasiswa Indonesia yang diduga korban TPPO di Jerman berkedok pemagangan, Komnas HAM menerima dan memproses 92 aduan TPPO dalam kurun waktu 2023 hingga Februari 2024.

Berulangnya praktik TPPO berkedok pemagangan siswa dan mahasiswa, ia melanjutkan, menunjukkan belum optimalnya fungsi pengawasan pemerintah. Selain evaluasi instansi pendidikan, Komnas HAM mendorong Satuan Tugas (Satgas) TPPO Pusat untuk memperkuat pencegahan dan menginternalisasi pencegahan TPPO lewat kurikulum pendidikan.

Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care, Nurharsono, secara terpisah, mengatakan, selain mahasiswa, praktik TPPO dengan modus pemagangan juga mengincar siswa sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/SMK). Perusahaan pelaku TPPO menyusup lewat acara bursa kerja dan acara ini menyasar siswa-siswa SMA/SMK yang mau lulus.

“Selama ini juga ada kerancuan pemaknaan magang untuk pencari kerja dan magang untuk tujuan akademis, tetapi kedua pemaknaan magang ini kerap dijadikan modus untuk TPPO. Padahal, magang untuk pencari kerja mengikuti kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan, sedangkan magang untuk tujuan akademis mengikuti kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi,” ujar dia.

Pada 2018, masih menurut Nurharsono, 20 orang lulusan SMK di Jawa Tengah menjadi korban TPPO di Malaysia. Pelakunya adalah PT Sofia Sukses Sejati (PT SSS). Perusahaan disinyalir bekerja sama dengan SMK asal korban. Jadi, perusahaan telah mengincar sejak siswa belum lulus.

Oleh karena itu, ia mendorong supaya pemerintah memaksimalkan sosialisasi migrasi yang aman dan bahaya perdagangan manusia ke masyarakat, wali murid, dan instansi pendidikan. Selain itu, pemerintah disarankan semakin jeli terhadap perusahaan-perusahaan penyalur/penempatan tenaga kerja migran supaya bisa mengantisipasi praktik TPPO tidak meluas.

National Project Coordinator International Labour Organization (ILO), Dede Shinta Sudono, menyampaikan, secara filosofis, magang merupakan praktik kerja untuk mendapatkan pengalaman kerja. Dengan kata lain, magang adalah pembelajaran berbasis kerja.

Baca juga: Dirjen Imigrasi Kemenkumham Soroti Masalah TPPO Saat Pantau Pelayanan Kantor Imigrasi di NTT

Di Indonesia, istilah magang bisa berlaku untuk mereka yang berstatus siswa, mahasiswa, dan pencari kerja. Jika magang untuk tujuan akademis di Indonesia biasa disebut praktik kerja lapangan (PKL) dan sekarang disebut magang merdeka. Lalu, magang untuk pencari kerja biasa disebut magang industri.

Baik magang untuk tujuan akademis maupun pencari kerja memiliki latar belakang regulasi, yaitu Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, Permenaker Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, dan Permenakertrans Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri. Namun, dia menilai, pengawasan pelaksanaan program magang masih lemah.

“Pada tahun 2023, ILO mengembangkan ILO Rekomendasi Nomor 208 tentang Pemagangan Berkualitas. Di dalamnya mencakup pemagangan harus ada struktur program, mentor, kontrak pemagangan, perlindungan, pelatihan kerja yang jelas, serta pada akhir peserta memperoleh sertifikasi,” ujar dia.

Lebih jauh, Dede berpendapat, selain mendorong Indonesia mengikuti amanat ILO Rekomendasi Nomor 208 Tahun 2023, pemerintah Indonesia semestinya fokus terhadap pemagangan dalam negeri. Kalaupun pemerintah menginginkan tetap ada pemagangan ke luar negeri, dia menyarankan agar ada pembatasan ke jenis okupansi tertentu.

“Magang di luar negeri sedang jadi euforia karena pengaruh kebijakan magang merdeka. Padahal, pertanyaan mendasar mengapa harus magang di luar negeri belum terjawab. Kami mendorong supaya proteksi pemagangan (apa pun pemaknaan magang) harus diperjelas oleh pemerintah,” kata dia.

(kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved