Kabar Artis

Wisata NTT, Noemuti Kote Kekayaan Obyek Wisata Rohani di TTU

Kabupaten Timor Tengah Utara atau TTU punya begitu banyak jejak peninggalan masa lalu yang kini menjadi objek wisat Rohani

Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
(Kompas.com/Sigiranus Marutho Bere)
Proses pengambilan air di kali untuk ritual Taniu Uisneno yang dilakukan oleh perwakilan dari 29 Ume Mnasi asal Kote, Noemuti di kali Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (Kure 1) 

Mereka siap menyeberangkan warga dengan mendongko. Jasanya per orang dihargai Rp 5.000 untuk anak-anak dan Rp 10.000 bagi orang dewasa.

Selain merupakan kampung tua, Noemuti Kote adalah pusat Paroki Noemuti, yakni pusat penggembalaan umat Katolik yang dikepalai seorang pastor atau imam.

Jangkauan pelayanannya tidak hanya wilayah Noemuti Kote, tetapi meliputi sejumlah desa di sekitarnya, yang sebagian di antaranya di seberang Sungai Noemuti. Di Noemuti Kote sejak lama berdiri SMP Katolik St Yosef.

Para siswanya selain dari kampung itu juga dari sejumlah desa tetangga, termasuk Bijeli. Itu berarti mereka terpaksa batal ke sekolah ketika banjir menghadang.

Tokoh masyarakat Noemuti Kote, Damianus Salem (44), mengakui, kendala jembatan dam buruknya jalan membuat kampung itu tetap dalam belenggu isolasi. Dampaknya tidak hanya mengganggu transportasi sehari-hari dari atau ke Noemuti Kote.

Pada hari raya keagamaan, tidak jarang sebagian umat dari seberang sungai batal mengikuti misa atau upacara keagamaan lainnya di Noemuti Kote karena Sungai Noemuti meluap.

Pada saat yang sama, sebagian siswa SMP terganggu kegiatan sekolahnya akibat banjir. Padahal, Noemuti, khususnya Noemuti Kote, sejak lama dikenal hingga luar negeri karena kesetiaan umat Katolik setempat mempertahankan ritual kure.

Seperti dipaparkan pakar misiologi bidang pewartaan dan budaya, Romo Ockto Naif Pr, tradisi keagamaan peninggalan Portugis itu berupa kegiatan berjalan sambil berdoa dari rumah ke rumah. Maknanya ganda.

Mengambil air di kali untuk pembersihan patung
Mengambil air di kali untuk pembersihan patung (POS KUPANG/APSON BENU)

Selain devosi untuk keselamatan jiwa, juga bermakna menjaga sekaligus mengeratkan kebersamaan warga antarsuku di Noemuti Kote.

”Sebenarnya banyak umat atau pelancong dari berbagai pelosok Indonesia bahkan luar negeri tertarik mengikuti prosesi kure di Noemuti Kote karena unik. Namun, niat mereka terhambat karena Noemuti Kote hingga sekarang masih terisolasi. Kami mendesak pembangunan jembatan yang menghubungkan Noemuti Kote dari arah Bijeli segera dilanjutkan,” kata Damianus.

Tanpa penunggu Selain keberadaan kampung yang masih terisolasi, kesetiaan umat Katolik Noemuti Kote mempertahankan tradisi ritual keagamaan kure belakangan menghadapi tantang serius.

Di antaranya terkait keberadaan ume mnasi atau rumah adat induk sejumlah suku yang sudah ditinggalkan ahli waris utamanya. Rumah yang menjadi titik perhentian dalam rangkaian prosesi kure sebagian kini malah ”dititipkan” kepada anak perempuan dalam rumah bersama suaminya yang dari luar.

Bahkan tidak sedikit dari 18 ume mnasi di Noemuti Kote kini tanpa penghuni karena keluarga turunannya bekerja atau menikah dan menetap di daerah lain. Ini terjadi pada ume mnasi hoanoe, tune, namseo, dan ume mnasi kove.

Artikel lain Wisata NTT

Baca berita lain di Pos Kupang.com KLIK >>> GOOGLE.NEWS

Sebagian Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved