NTT Memilih
Ketua Bappilu DPD PDIP NTT: Kami Tidak Pernah Buka Ruang Kompromi Kejahatan Politik Dalam Parlemen
Menurut Cendana, terkait hal ini rakyat pemberi suara yang bisa menjelaskan. Rakyat lebih tahu kenapa dia memilih partai tapi tidak capresnya.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak pernah membuka ruang kompromi kejahatan politik di dalam parlemen.
Hal ini diungkapkan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP NTT Cendana Abubakar dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 15/02/2024.
Terkait perolehan suara antara capres dan partai pengusungnya yang tidak linear Cendana mengatakan, bukan saja PDIP, tetapi masyarakat dan pengamat juga kaget dengan hasil tersebut.
"Kita harus fair kalau mau memperbaiki harus mengakui dulu. Kalau kita tidak mengakui jangan harap kita bisa perbaiki. Ini fakta. Kaget tidak, tapi di luar prediksi karena tidak terjadi di NTT saja tetapi di seluruh Republik," kata Chen Abubakar.
Dijelaskan. para pengamat, para buzzer, para pemerhati bahkan para pelaku mulai menggunakan istilah-istilah baru, kandang banteng ditabrak.
Baca juga: Gara-gara Tak Solid Selama Pilpres, Banyak Pemilih PDIP dan PPP Lari ke Prabowo dan Anies
"Itu kan soal pilpres tapi soal pileg kan tidak begitu. Jadi sebenarnya siapapun pelaku apalagi peserta pemilu itu menginginkan ada sesuatu yang linear karena yang linear itu partai ini pernah dapat. Tapi partai ini juga pernah tidak linear," katanya.
"Mari kita buktikan. Pemenang pileg ibu Mega tidak jadi presiden. Jadi ini pengalaman berulang beda versi. Saya selalu punya rekaman yang baik. Kita ingat ibu Mega menang, kita menang pileg ibu tidak jadi presiden ketika 2009 itu harus dilakukan pemilihan oleh DPR dan MD3 dirubah. Tahun 2014 mengalami hal yang sama. Kami pemenang pileg di MD3 itu harus Pimpinan DPR kesepakatan partai pengeroyok kami kehilangan kursi Ketua DPR bahkan pimpinan Komisi tidak ada," jelasnya.
Dikatakan, dalam perjalanan SBY merasa goncang, MD3 dirubah buka lagi ruang kursi tambah banyak kita dapat wakil.
PDIP satu-satunya partai yang mengalami kondisi tersebut dan pihaknya tidak pernah membuka ruang kompromi kejahatan politik di dalam parlemen.
"Ini fakta. Kita punya pengalaman sangat unik di partai ini. Ibu Mega dulu yang jadi kan bukan ibu Mega tapi Gusdur. Pilih lagi Wakil Presiden. Ini kan aneh tapi nyata. Pilih Gusdur presiden dulu baru pilih ibu Mega karena situasi tuntutan masyarakat begitu kencang dan akhirnya rusuh," tutur Chen.
Setelah itu, menurut Chen, memang lagi pileg tidak dapat pimpinan Dewan. MD3 dirubah. Kalau seperti sekarang ini pileg dapat, tapi pilpres tidak dapat, jangan-jangan MD3 dirubah lagi.
Baca juga: Pertama di Era Reformasi Pasangan Capres yang Diusung PDIP Kalah di Provinsi Bali
"Ini kan perilaku orang yang mengejar kekuasaan mengabaikan dengan sistematis dan sadar memproses merubah Undang-Undang untuk kepentingan. Saya terlalu lelah untuk memikirkan tentang proses Gibran itu keluar, terlalu banyak orang pintar berbicara tapi harus mulai sadar kita harus sama-sama rakyat memperbaiki ini," bebernya.
Anomali yang terjadi dalam pemilu kali ini, basis suara PDIP seperti di Jawa Tengah Bali, perolehan suara untuk pileg cukup tinggi tetapi anjlok di pilpres.
Menurut Cendana, terkait hal ini rakyat pemberi suara yang bisa menjelaskan. Rakyat lebih tahu kenapa dia memilih partai tapi tidak capresnya.
"Kalau dari segi faktor normal, itu kita berdebat sampai habis juga tidak ketemu sehingga alat ukur yang paling sederhana banyak, termasuk bansos termasuk sulap di lapangan. Jadi ini kan ada proses legal yang membutuhkan legitimasi dari rakyat. Ini kan sama dengan makanan halal. Halal itu melalui proses mendapatkan dan menggunakan. Silakan rakyat menilai," ungkapnya.
Terkait aksi-aksi di injury time yang menyebabkan perolehan suara capres jeblok Cendana menjelaskan, hal ini sudah diketahui semua tetapi pihaknya hanya menunggu keputusan resmi apalagi kewenangan tentang hal ini hanya ada di pasangan calon dan partai koalisi.
"Tetapi ada kejadian seperti ini, sejago apapun pengamat atau orang-orang yang sering berbicara, kok mentok? Sehingga rakyat bisa tahu apakah ada operasi khusus atau ada kesadaran politik yang begitu tinggi di rakyat atau ada nafsunya orang di sekitar pasangan ini. Itu saja indikatornya," kata Cendana.
"Ini seperti pilihan masakan. Kita pilih capcay seafood, capcay ayam, capcay daging. Berbahaya kalau diramu. Kepentingan ideal ini menjadi satu. Ini kan hanya soal semua orang membutuhkan bahwa yang kita produksi sekarang ini yang penting menang. Soal cara menangnya ini tidak pernah dipakai. Kurang kah kampus teriak, mahasiswa teriak, tokoh dalam seluruh level, tokoh agama, tokoh politik?," tanyanya.
Untuk mencapai hasil yang ideologis, apapun harus dikorbankan, harus disampaikan kalah kami membebek, banyak tokoh yang dulu maki-maki sekarang jadi hamba tapi partai ini sudah dilatih yang penting ideologisnya jelas, nasionalisnya jelas, memproduksi orang yang berada pada eksekutif legislatif itu jelas. ini memang tidak populer tapi kedepan akan ada hasil seperti ini. Ini pilihan tidak populer dan itu harus dikorbankan. Kurang apa partai ini mengorbankan, dua kali kasih orang luar," tambahnya.
Terkait efek Jokowi yang menurut pengamat berpengaruh terhadap pergeseran pemilih Cendana mengatakan, PDIP selalu melakukan kondisi ilmiah secara rutin.
"Ini kan soal pilihan. Tindakan popularitas atau melanggar konstitusi. Ini kan di luar kebiasaan. PDIP tidak pernah membenci Jokowi tapi semua orang pada tahu bahwa proses ini ada sesuatu yang sistemnya terputus. Tidak bisa ditutup soal faktor Gibran. Kita secara ideologis itu untuk sistem sekarang dan demokrasi kedepan tidak boleh mewarisi jabatan. Ini diwariskan lho entah hibah atau wakaf. Terjadi dan itu tidak populer buat PDIP.
Mewariskan dengan sistem yang dibuka dengan begitu telanjang bulat dan ini orang tahu tinggal sekuat-kuatnya pengamat, pelaku dan masyarakat menilai," ungkapnya.
Hasil Quick Count yang didapatkan oleh ketiga pasangan calon menurut Cendana tergantung sudut pandang karena bagaimanapun PDIP sudah lima kali bertarung. Dua kali kalah dua kali menang dan ini ketiga kalinya PDIP kalah.
Bagi Cendana, sebagai politisi yang benar-benar berjalan pada tatanan ini, situasinya biasa saja.
"Soal mengaku kalah atau tidak ini perlu alat ukur yang perlu ditunggu adalah lembaga penyelenggara. Kami sadar bahwa proses penyelenggaraan ini dari dulu memang tidak ideal. Kita terkesan kejar target selesai hasil ada. Tapi dugaan saya kedepan ini akan menjadi titik jenuh sehingga pemerintah dan DPR kedepan harus berpikir cara penyelenggaraan. Kenapa tidak elektoral vote itu kan pakai sistem komputer. Mahal tapi untuk sebuah proses kenapa tidak dilakukan. Tidak sekaligus tapi harus ada kemauan untuk itu. Ini untuk kedepan. Kalau proses sekarang ini kan kompromi yang terlalu lama dilakukan. Ketika membuat Undang-Undang Pemilu termasuk di KPU ini kan kompromi partai yang kecil dia menghitung kepentingannya dia termasuk parlemen threshold. Itu kan komprominya gila-gilaan. Ada yang idealis mempertahankan tapi dia tidak kuasai parlemen belum pemerintah ini macam-macam. Ini proses orang tahu betul dari dulu tidak ideal. Kita memaksa ada hasil tetapi ada pengorbanan. Ini kan gampang dia cuci tangan tidak sehat nanti kita tes ulang ini mau berulang sampai kapan," kata dia.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024 - Data Versi KPU: PDIP 17,85 Persen, Golkar 12,95 Persen, Gerindra 11,94 Persen
Lanjut Cendana, kedepan akan ada titik jenuh dan untuk itu harus segera dipikirkan.
Soal partisipasi tinggi dia mengakui, betul bahwa orang lebih tertarik pada pilpres tapi masyarakat tidak sedang dididik bahwa tidak ada calon presiden independen. Itu harus melalui partai politik. Artinya kecenderungan orang mengikuti eksekutif di Indonesia cukup tinggi. Disitulah celah yang menyebabkan proses ini tidak bisa ideal.
"Ini 18 partai, kalau jadi 40 lebih rumit lagi. Oleh karena itu orang kalau mengikuti proses pembuatan Undang-Undang itu kan baku curiga ini kemauan partai besar ini partai kecil sedang dianiaya. Toh hasilnya juga mereka diam di tempat. Enam saja sampai tujuh sesuai hasil survey teman-teman penyelenggara. Kita menebus proses dengan menembuskan keinginan partai politik. Ini tidak bisa dibiarkan. Ada fakta tapi tidak mau diakui dan estimasi saya kedepan akan ulang lagi nanti dua tahun menjelang pemilu proses ini akan diulangi terus menerus. Jangan pernah bermimpi proses demokrasi yang ideal bisa terselenggara," ujar Cendana.
"Apa kita tidak dengar para pihak pengamat atau kampus, banyak pihak? Ada kesadaran itu, seberapa kuat mereka melakukan penalaran Intelektual dengan fakta permainan politik praktis di lapangan itu kan hampir tidak berbanding lurus. Kembali kepada soal hasil kecewa atau tidak, kami terlatih untuk itu. Makanya kami segera tidak mau terbuai dengan Pilpres kami jaga pileg. kalau dulu kan tidak," ujarnya.
"Pileg dipisahkan dengan Pilpres sehingga ada calon tertentu dia bisa menjual. Mau saya menang, pilih partai a. Sekarang kan tidak bisa dibuktikan karena pengusung sendiri tidak menang di pileg. Ini fakta yang tidak bisa diabaikan Saya selalu amati dengan baik sebagai Bappilu, ini kan terbukti.
Kami partai berpengalaman kami sadar kondisi seperti ini kami tetap pelototi hasil pileg karena quick count ini kan hanya diselenggarakan untuk DPR RI. Kabupaten provinsi kan real count jadi real count kita jalan, sistem, ikhtiar sudah dilakukan tinggal sama-sama kita awasi. Jadi perasaan biasa saja," tandasnya. (uzu)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.