NTT Memilih
Efek Jokowi Buat Pilihan Rakyat Terhadap Partai Politik dan Capres Tidak Linear
Lanjut Urbanus, hal lain yang bisa dilihat adalah cara paslon cawapres nomor 1 yang relatif lebih aman.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengamat Politik NTT, Dr. Urbanus Hurek mengatakan, efek Jokowi masih cukup besar dalam hal pergeseran pemilih yang terjadi pada pemilu kali ini.
Hal ini diungkapkan Urbanus dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 15/02/2024, menanggapi ketimpangan antara suara yang didapatkan oleh calon presiden dan partai politik dalam pesta demokrasi tahun ini.
"Dari fakta yang kita bisa lihat dalam hasil pemilu kemarin, dari kaca mata analisa yang sederhananya pilpres itu boleh disebut kompetisinya jauh lebih mudah daripada legislatif karena dengan teknisnya yang gampang dan tokoh yang berkompetisi juga mudah diidentifikasi," kata Urbanus.
Dijelaskan, untuk pileg itu menggunakan berbagai macam analisis yang bisa dipakai untuk membedah, yakni:.
Pertama, kita bisa menggunakan perilaku memilih. Dari sosiologis orang bisa mengidentifikasi seagama, sedaerah dan seterusnya. (Secara) Psikologis, ini pernah mendapat informasi atau tidak. Kemudian ekonomi politik, dia ini memilih karena track record orangnya, evaluasi terhadap kebijakan, itu kan tingkatan pemilih rasionalnya.
Baca juga: Ketua Bappilu DPD PDIP NTT: Kami Tidak Pernah Buka Ruang Kompromi Kejahatan Politik Dalam Parlemen
Dari proses ini kita akan temukan bahwa kenapa partainya tetap bertahan, karena para calegnya ini bersikukuh dengan perjuangan yang dia lalui melalui partai yang dia pilih makanya suaranya dia akan jaga untuk kursinya bisa aman.
Sementara di Pilpres itu ruangnya menjadi mudah, pemilihnya bergeser agak gampang karena kontestannya mudah diikuti dengan hanya menonjolkan figur-figur yang ditampilkan ini kemudian partai pengusungnya itu relatif tidak diberi ruang untuk berada di posisi yang memberi jalan untuk hadirnya para calon presiden ini.
"Figur-figur itu ditonjolkan, dalam pengamatan kita di Indonesia ini, hampir sebagian besar pengamat mengatakan faktor Jokowi itu efeknya cukup besar untuk melakukan pergeseran pemilih dari sebuah partai yang sebenarnya memiliki kekuatan basis di partai dan para konstituennya bergeser kepada figur yang lebih memberi ruang bahwa Jokowi ini sampai pada hari H, seminggu sebelum pemilihan umum, survey membuktikan juga bahwa prestasi dan kepercayaan publik masih tinggi terhadap Jokowi. Efek ini yang membuat tidak linear pilihan dari rakyat terhadap partai politik dan juga Pilpres," kata Dosen FISIP Unwira Kupang ini.
Lanjut Urbanus, hal lain yang bisa dilihat adalah cara paslon cawapres nomor 1 yang relatif lebih aman.
Dari perspektif politik bisa dilihat bahwa konstituennya cukup militan menjaga basis posisinya.
Sementara di koalisi sebelah ini agak berubah terutama PDIP yang mengusung capres Ganjar-Mahfud. Kekuatan utamanya adalah PDIP, disusul partai yang lain boleh disebut partai kecil sementara isu dan tokohnya masih sama.
Ruang itu kemudian menjadi titik pembelahan yang cukup serius untuk menggeser pemilih yang loyalis ke Jokowi dan bertahan untuk menjaga posisi kursi yang dimiliki oleh para calon.
Terkait hasil pilpres dan pileg yang tidak linear Urbanus mengatakan, ini adalah fakta dari data pemilih, juga harus diakui bahwa meramu pemilihan umum, menggabungkan eksekutif dan legislatif adalah kurang tepat.
Baca juga: Gara-gara Tak Solid Selama Pilpres, Banyak Pemilih PDIP dan PPP Lari ke Prabowo dan Anies
"Kita mungkin berpikir supaya sistem pemilihan kita pemilu level lokal dan nasional. Kita jangan menggabungkan seperti ini maka pada saat kita melihat bahwa isu pilpresnya sangat menarik untuk masyarakat menggunakan hak pilihnya jadi pilihan masyarakat tidak linear dengan partai pengusungnya. Ini kedepan wajib dipercakapkan terus supaya kalau boleh kita menyederhanakan pemilihan umum kita. Kemarin memang ada dua wacana, pileg dan pilpres dipisah tetapi bisa juga kita mewacanakan pemilihan level nasional dan lokalnya dipisah untuk melihat tingkat linearitas dari partai pengusung capres dan kemudian hasil pemilihan di capres berbeda dengan pemilihan di partainya," jelasnya .
Terkait rumitnya sistem pemilihan umum di Indonesia Urbanus menjelaskan, dalam konteks electoral system, ada rakyat sebagai pemilik kedaulatan kemudian sistem yang dilihat sebagai aturan yang menjadi piranti untuk mengawal aktivitas ini. Pada level berikutnya adalah para aktor yang ikut kontestasi.
"Rumitnya itu dalam konteks sistem ini. Sistem pemilihan umum kita, sistem pemilu ya di dunia pasti hanya distrik dan proporsional. Tapi proporsional ini kita jalankan Indonesia dengan menggabungkan pemilihan legislatif dan eksekutif. Rumit yang pertama yang dikenal oleh publik selama ini dalam kaitan dengan pengenalan para kontestan," ujarnya.
Indonesia pernah menyelenggarakan pemilu dengan tiga partai politik. Setiap partai diberikan kesempatan kampanye lewat televisi Republik Indonesia waktu itu.
"Sekarang hanya pilpresnya yang diberi ruang partainya di mana. Partai ini bagian dari elemen kunci demokrasi dia tidak ada ruang untuk menyampaikan misi visi dan programnya kepada publik sementara pilpresnya jalan," katanya.
"Pada posisi ini kita perlu lihat bahwa mekanisme yang kita lihat sebagai bagian dari salah satu elemen pemilu yaitu regulasinya ini kurang memberi ruang secara terbuka dan proporsional kepada semua kontestan yang ikut dalam pemilihan umum. Kita hanya lihat ada debat lima kali, kita hanya lihat pilpres. Belum pernah kita lihat jurkam-jurkam partai politik tingkat nasional untuk memaparkan visi misinya. Ini di tingkat elektoralnya. Kemudian di tingkat penyelenggaranya juga kita lihat bahwa ini rumit. Kerumitan itu mulai dari KPU Pusat dia terstruktur tapi pada tingkat bawah kita mengamati bahwa aktivitas tertentu sudah jalan proses rekrutnya juga masih jalan. KPU harusnya sementara akan menyelesaikan masa tugasnya, pemilihan umum akan berjalan tinggal satu atau dua minggu, diganti penyelenggaranya. Ini juga proses yang rumit berkaitan dengan itu," jelas Urbanus.
Pada elemen yang pertama, lanjut dia, publik atau rakyat pemilih sangat suka mengikuti pemilihan umum tergantung pada bagaimana mereka mendapatkan sosialisasi dari para kontestan yang terlibat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini rakyat juga harus diberi ruang untuk mengenal semua kandidat terutama partai-partai politik karena partai ini menjadi negara kesatuan.
"Kita hanya mengenal di Papua dan Aceh saja yang ada partai lokal maka partai nasional ini harus diperkenalkan di seluruh masyarakat supaya masyarakat sebagai pemilih ini tahu oh saya tahu partai ini ketuanya ini. Mereka tidak pernah paham dengan itu mereka hanya tahu adalah caleg siapa yang datang di rumahnya dan memberi menyampaikan apa menitipkan tanda gambar atau apalah dan dia tidak paham partai politik secara baik dan kedaulatan yang akan dia berikan ini ter-cover pada komunikasi yang dilakukan dan contact person yang dia alami karena ruang komunikasi politiknya juga terbatas," kata Urbanus.
"Saya melihat bahwa dalam konteks ini kita sedang berada pada pertumbuhan dan perkembangan demokrasi menuju pada kematangan. Nah antusiasme kemarin itu saya kira sangat dipengaruhi oleh pilpres karena masyarakat tahu bahwa ini pemilihan presiden tanpa incumbent," tuturnya.
"Presiden baru dan ini punya daya tarik sendiri untuk masyarakat kita lalu cukup gencar juga di media kemudian di medsos cukup membangun masyarakat ini terpicu minatnya untuk pemilu tapi dia lebih fokus pada pilpres sehingga ketika kemarin itu orang menghitung suara di tahapan pertama itu pilpres selesai tenda juga cukup sepi. Yang lebih banyak tinggal itu para saksi dan penyelenggara. Ini yang kami amati dalam proses pemilihan kemarin di sekitar Kota Kupang, di Sikumana, di Liliba dan Oeba kemarin saya sempat jalan-jalan," ujarnya. (uzu)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.