Perbatasan Negara
Perbedaan Tafsir, Kesepakatan Batas Darat Indonesia Timor Leste di Naktuka Terhambat
Akibatnya pembahasan batas darat antara kedua negara masih menyisahkan 4 persen wilayah perbatasan.
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Perundingan perbatasan darat Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di wilayah kabupaten Kupang milik Indonesia dan enklave Oecusse milik Timor Leste terhambat.
Terhambatnya kesepakatan kedua soal batas wilayah darat di Noel Besi-Citrana atau Naktuka yang membatasi Indonesia-Timor Leste di wilayah Kabupaten Kupang NTT dan Enclave Oekusse itu disebababkan perbedaan tafsir batas dan sentimen masa lalu.
Akibatnya pembahasan batas darat antara kedua negara masih menyisahkan 4 persen wilayah perbatasan.
Baca juga: Dusun Naktuka di Oekusi Bisa Memicu Sengketa Perbatasan Timor Leste - Indonesia
Baca juga: PBB Alokasikan 2 Juta Dollar AS untuk Tanggap Darurat Dampak El Nino di Timor Leste
Pada tahun 1999 Indonesia melepas Provinsi Timor Timur yang kemudian menjadi negara berdaulat Timor Leste pada 2002. Sejak merdeka pada 2002, Timor-Leste tak kunjung sepakat soal batas daratnya dengan Indonesia.
Dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia setelah kembali menjadi perdana menteri Timor-Leste pada Januari 2024 lalu, Xanana Gusmao sekali lagi membawa agenda perbatasan.
Ia dan Presiden Joko Widodo sepakat mendorong penyelesaian perundingan perbatasan darat antara Indonesia dan Timor-Leste yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.
"Kami pada saat ini memiliki pemahaman yang lebih jelas mengenai isunya dan kami percaya di masa mendatang kita mendapatkan solusi dari permasalahan ini," kata Xanana pada Jumat (26/01).
Perundingan
Dikutrip dari BBC Indonesia, perundingan perbatasan telah dilakukan Indonesia sejak 2001 dengan pemerintahan transisi bentukan PBB di Timor Timur (UNTAET), sebelum kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan resmi Timor-Leste sejak 2002 melalui Komite Perbatasan Gabungan (JBC).
Hasil awalnya adalah Perjanjian Sementara 2005, yang menetapkan batas darat Indonesia dan Timor-Leste sepanjang 268,8 kilometer dengan 907 titik koordinat.
Ini mencakup perbatasan Indonesia dengan wilayah Timor-Leste di sebelah timur Pulau Timor dan dengan Distrik Oecusse, enklave Timor-Leste di sebelah barat pulau.
Namun, perjanjian itu baru menyelesaikan sekitar 96 persen urusan perbatasan darat. Sisa 4 % yang meliputi wilayah Noel Besi–Citrana, Bidjael Sunan–Oben, dan Dilumil-Memo belum disepakati karena perbedaan tafsir perbatasan antara dua negara.
Selain itu, isu di wilayah Subina-Oben juga belum tuntas karena warga Indonesia di sana menolak pelaksanaan survei penentuan batas, yang dinilai akan membuat lahan garapan mereka masuk ke wilayah Timor Leste.
Kabar baik datang pada 2013, saat Indonesia dan Timor Leste sepakat menggunakan garis tengah atau median untuk membagi wilayah Dilumil-Memo jadi dua. Kesepakatan ini lalu dituang dalam adendum perjanjian 2005.
Untuk mempercepat proses perundingan batas wilayah lain, pada awal 2017 kedua negara membentuk tim Konsultasi Pejabat Senior (SOC). Ini adalah tim kecil berisi delegasi kedua pihak yang bertugas membahas detail teknis penyelesaian urusan perbatasan.
Setelah menjalani lima pertemuan, tim SOC berhasil mencapai kesepakatan prinsip pada 2019, termasuk soal batas-batas Subina-Oben, penentuan titik ujung dan penarikan garis baru untuk Bidjael Sunan–Oben, serta penggunaan garis tengah sederhana untuk membagi dua Noel Besi–Citrana.
Namun setelah delegasi Timor Leste membawa pulang hasil kesepakatan itu, muncul penolakan dari parlemen, khususnya soal batas darat wilayah Noel Besi–Citrana yang juga dikenal sebagai Naktuka, merujuk hasil studi Indriana Kartini, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Parlemen Timor-Leste keberatan dengan kesepakatan batas wilayah darat tahun 2019 dengan pendekatan garis tengah sederhana," tulis Indriana dalam disertasinya soal perbatasan darat Indonesia dan Timor-Leste untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia pada 2023.
"[Mereka] mengusulkan pembagian porsi wilayah yang lebih luas kepada Timor-Leste, yakni kurang lebih 74 % untuk Timor-Leste dan kurang lebih 26 % untuk Indonesia."
Dari sana, proses penetapan batas darat kedua negara kembali macet dan kesepakatan pada 2019 pun urung diratifikasi dalam bentuk adendum kedua perjanjian 2005.
"Di 2019 itu disepakati bahwa penyelesaian perbatasan Naktuka dan dua segmen lainnya itu satu paket. Jadi kalaupun sudah ada kesepakatan untuk Subina dan Bidjael Sunan, tapi kalau yang Naktuka belum selesai, itu belum bisa dikatakan selesai secara sepenuhnya," kata Indriana pada BBC News Indonesia, Jumat (2/2).
Masalah jadi semakin pelik karena, kata Indriana, hanya Indonesia yang menganggap Naktuka sebagai zona steril, yang berarti tidak boleh ada aktivitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik di sana sebelum perundingan usai.
Pemerintah Timor Leste, misalnya, sempat berusaha membangun pos imigrasi di dekat Naktuka, lalu mengeluarkan pernyataan bahwa Naktuka telah menjadi miliknya, dan bahkan mengadakan sensus di sana pada 2010.
Pada 2016 pun ditemukan 63 keluarga – semua warga Timor-Leste – yang telah menempati Naktuka. Mereka disebut membangun balai pertemuan, depot logistik, saluran irigasi, dan tempat penggilingan padi di sana.
Tidak terima, masyarakat adat Amfoang sempat mengancam akan mengusir orang-orang Timor Leste yang dinilai telah menempati lahan leluhur mereka di Naktuka. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.