Opini
Edukasi Debat Level Pilpres: Membaca Fenomena Gibran
Apolonius Anas, Direktur U-Genius Institut Kefamenanu, menyajikan opini debat cawapres berjudul Edukasi Debat Level Pilpres: Membaca Fenomena Gibran.
Oleh Apolonius Anas
Direktur U-Genius Institut Kefamenanu
POS-KUPANG.COM - Gibran Rakabuming Raka paling disorot dalam debat pamungkas calon wakil presiden, Minggu (21/1/2024) malam. Berbagai meme di medsos bahkan celoteh masyarakat mengarah padanya berseliweran. Pro kontra kehadirannya dalam blantika politik nasional terus diperbincangkan. Gibran adalah pusat sensasi dan pusaran dialektika politik Indonesia jelang Pilpres 2024. Wajah Gibran bagaikan membran sel yang mampu merusak nalar berpikir warga terdidik seantero negeri.
Puncaknya ketika wajah Gibran dipertontonkan dalam tajuk debat cawapres yang lalu. Banyak orang berkomentar negatif tentang hasil debat dan bahasa yang digunakan dalam debat itu. Simpulannya, Gibran dipastikan asbun atau asal bunyi yang berakibat pada sentimen negatif di jagat maya.
Pada kondisi itu Gibran dipastikan salah belajar dari mentor debatnya. Atau boleh jadi mentor debat menjebaknya karena alasan politis. Dan begitulah nasib calon pemimpin jika tidak punya posisi berpikir yang terbukti dalam logika, praktika, estetika dalam pola komunikasi massa.
Itu tercermin dalam bahasa dan gimik yang digunakan. Sekali lagi maklum anak presiden. Dia terjebak dalam gimik daripada konsistensi pada visi berpikir. Saya berkeyakinan bahwa Gibran hampir tidak punya isi pikiran dalam debat itu. Dia meminjam pikiran orang lain atau mentor dalam persiapan debat. Sehingga dia salah dalam menghafal dan salah kaprah dalam berkata-kata tentang isi pikiran mentornya.
Fenomena yang terjadi pada Gibran adalah sebuah contoh misedukasi dalam berdebat. Ada beberapa alasan yang mengemuka dalam forum debat kali lalu.
Pertama, peserta debat kurang memahami atau menguasai informasi yang relevan, sehingga memberikan argumen yang tidak akurat atau tidak berdasar. Hal itu terkonfirmasi dalam berbagai ulasan para pakar yang berkompeten pada isu yang dibahas.
Kedua, ketidakmampuan untuk memahami sudut pandang lawan debat dan terlalu bersikeras pada pandangan sendiri. Dalam momentum itu Gibran sebagai cawapres 02 mengeluarkan gimik dalam bentuk gerakan mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang disampaikan kepada cawapres 03 Prof. Mahfud. Gimik itulah jadi pusaran berbahaya bagi Gibran.
Ketiga, penggunaan retorika atau teknik persuasi yang tidak etis untuk memanipulasi opini.
Karena persoalan dukungan, maka tentu masyarkat tidak terlalu menafikan keadaan itu. Karena sebenarnya debat bukan ditujukan kepada masyarakat lapis bawah. Tetapi hanya ditujukan kepada kaum terdidik atau yang paham tentang hidup berbangsa dan bernegara yang ideal.
Baca juga: Usai Debat Cawapres Minggu Malam, Prabowo-Gibran Teratas, Anies-Muhaimin di Nomor Buncit
Mestinya debat selevel debat calon presiden dan wakil presiden selama ini, masyarakat mengharapkan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu kritis, visi yang jelas untuk masa depan negara, dan kemampuan pemimpin untuk mengatasi tantangan.
Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam debat selevel capres dan cawapres mesti bermuara pada upaya mencari sikap integritas, kejujuran, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif dari para kandidat.
Sebenarnya, partisipasi aktif masyarkat dalam debat membantu pemilih untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi dengan melihat bagaimana kandidat berargumen dan merespons pertanyaan kritis.
Sebaliknya, kandidat dapat memanfaatkan debat untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat melalui penjelasan visi, rencana konkret, dan kemampuan berbicara yang kuat.
Tetapi masyarakat kita kurang cerdas. Pintar menghitung datangnya bantuan sosial tetapi tidak cerdas menganalisa mana pemimpin yang berfaedah dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Masyarakat di arus bawah kurang paham melihat kualitas dalam momen debat karena mereka cenderung ingat kepopuleran seseorang.
Debat Mengedukasi Publik
Debat yang mengedukasi adalah jenis perdebatan di mana peserta berusaha untuk saling memahami, memperluas pengetahuan, dan menyampaikan informasi dengan cara memberikan wawasan yang bernilai. Peserta debat mestinya cenderung menekankan pertukaran ide yang mendalam, memberikan argumen yang didukung oleh bukti yang kuat, dan berfokus pada pemahaman bersama.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang isu-isu yang dibahas, bukan sekadar memenangkan argumen. Debat itu harus menggunakan bahasa yang otentik tanpa dilumuri oleh bahasa kosmetik.
Debat yang otentik melibatkan pertukaran ide dan argumen secara terbuka, jujur, dan bermutu. Dalam debat semacam itu, peserta fokus pada substansi isu, menyajikan bukti yang kuat, dan berusaha untuk memahami perspektif lawan bicara.
Debat otentik menciptakan lingkungan di mana ide-ide dapat diuji dengan baik tanpa resort ke serangan pribadi atau retorika merendahkan.
Sedangkan "debat kosmetik" merujuk pada diskusi atau perdebatan yang lebih menonjolkan gaya dan penampilan daripada substansi atau isu yang dibahas.
Dalam debat semacam ini, peserta mungkin lebih fokus pada presentasi retorika yang menarik atau gaya berbicara daripada menyajikan argumen yang kuat atau mendalam.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi di mana perhatian pada penampilan mengalahkan esensi substansi dalam pembicaraan.
Melihat suasana debat antara calon presiden kali lalu, nampak dengan jelas bahwa publik perlu menghitung otentifikasi isi pikiran dari para kandidat. Jangan sampai publik tergerus oleh mengkilap definisi dan istilah yang membingungkan publik. Itulah kosmetik.
Debat selevel calon presiden dan wakil presiden mesti bertumpu pada bagaimana menyampaikan sebuah kebijakan atau policy. Debat yang mengutarakan tentang policy adalah jenis debat yang fokus pada pembahasan dan analisis kebijakan atau keputusan publik.
Dalam konteks ini, peserta debat membahas dan membuktikan argumen terkait kebijakan pemerintah, rencana legislasi, atau tindakan tertentu yang berdampak pada masyarakat.
Tujuan debat semacam ini adalah untuk mengeksplorasi implikasi, efektivitas, dan konsekuensi dari kebijakan tersebut, serta membandingkannya dengan alternatif lainnya.
Debat yang hanya mengutarakan definisi tanpa menyertakan substansi atau argumen yang mendalam disebut sebagai debat yang kurang bermutu atau kurang produktif.
Substansi dalam debat sangat penting karena melibatkan penjelasan, analisis, dan dukungan terhadap pandangan atau proposisi yang disampaikan. Tanpa substansi yang kuat, sebuah debat dapat kehilangan kejelasan dan kedalaman, membuatnya kurang efektif dalam mempengaruhi pandangan dan pemahaman audiens.
Debat yang cenderung mengutamakan atraksi daripada substansi sering disebut sebagai "debat hiburan" atau "debat gaya." Dalam konteks ini, peserta lebih fokus pada penampilan, gaya berbicara yang dramatis, atau strategi yang menarik perhatian, daripada memberikan argumen yang substansial. Meskipun gaya berbicara yang atraktif dapat membuat debat lebih menghibur, namun jika substansi atau keberlanjutan argumen terabaikan, hal tersebut dapat mengurangi nilai intelektual dan informatif dari sebuah debat.
Saya yakin debat yang dibawakan oleh calon presiden hampir mendekati debat kusir. "Debat kusir" merujuk pada sebuah siklus diskusi atau perdebatan yang cenderung tidak produktif, penuh dengan retorika kasar, serangan pribadi, atau argumen yang tidak memiliki dasar logis. Ini menekankan kurangnya substansi dalam percakapan dan lebih kepada upaya untuk merendahkan lawan bicara daripada membahas isu dengan bijak.
Harapannya debat pamungkas para kandidat presiden jelang Pemilu 14/02/2024 bisa memenuhi unsur dan kaidah debat yang ideal yakni debat policy tanpa definisi. Debat otentik tanpa dilumuri bahasa kosmetik dan debat substansi tanpa atraksi.
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.