Uskup Anton Pain Ratu Wafat
Pain Ratu: Miskin Sampai Mati
Robert Bala menulis kisah tentang Mgr. Anton Pain Ratu SVD, uskup emeritus Keuskupan Atambua yang wafat di RSUD Atambua, Sabtu 6 Januari 2024 pagi.
Kemiskinan yang sebenarnya dari Pain Ratu tentu bisa diukur dengan keputusannya untuk tinggal di wilayah keuskupannya hingga wafat. Sejak 2007, ia memilih Bintauni sebagai ‘markasnya’. Markas yang ditempatinya hampir 16 tahun). Keputusan untuk tinggal di tempat ia berkarya memang bukan keputusan yang mudah dibuat oleh para uskup yang sudah pensiun (emeritus).
Banyak uskup emeritus yang memilih melewati masa pensiunnya di luar keuskupannya. Uskup Donatus Djagom, SVD memilih kembali ke kampung halamannya di Ranggu Manggarai (1996 – 2010). Hanya setahun terakhir oleh kondisi kesehatan, ia kembali ke Ende, dan tinggal bersama para Suster CIY, lingkungan Istana Keuskupan Agung Ende.
Uskup Darius Nggawa, SVD, setelah pensiun, ia lalu tinggal di Biara SVD Wairkalu Maumere (2004-2008). Banyak Uskup yang mempersiapkan masa pensiunnya bukan di tempat ia berkarya tetapi kembali ke tanah kelahiran dan tentunya butuh persiapan untuk bisa kembali ke kampung halaman.
Artinya setelah pensiun dari jabatan, seorang Uskup bisa memilih tinggal di mana saja. Tetapi bisa dikatakan tidak banyak yang memilih tetap berada di Keuskupan di mana ia berkarya. Ada juga yang merasa, setelah kekuasaan yang begitu lama, seorang Uskup (yang juga manusia) kadang tak bersahabat baik dengan para imamnya. Selagi ada jabatan ia 'dihormati', tetapi ada ketakutan kalau setelah tidak menjabat ada perbedaan sikap hal mana manusiawi. Karena itu kembali ke kampung sendiri adalah pilihan terbaik.
Pain Ratu menjadi salah satu Uskup yang memilih terus ada hingga wafat di mana ia berkarya dari awal. Ia tahu bahwa di tempat itu ia tidak hanya bekerja sebagai pendatang tetapi telah menjadi orang TTU di Keuskupan Atambua, tempat di mana ia menjadi sangat fasih dalam bahasa Dawan dan mengapa tidak menjadi seorang antropolog tempat bahkan orang Dawan bertanya tentang budayanya.
Ini adalah ekspresi penyerahan diri dan ekspresi terdalam bahwa Pain Ratu adalah anak tanah di mana ia berkarya. Sebagai anak tanah, ia memang harus kembali memeluk tanah di mana ia bekerja dan tidak sedikit pun ia beralih dari sana. Justru di sinilah kekayaan dirinya yang tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan duniawi.
Di sinilah ekspresi rasa cintanya pada budaya Dawan yang tidak hanya terucap dari kata-kata tetapi bisa saja ia telah bersumpah. Ia bersumpah, bila ia kembali sebagai orang kaya karena kekayaan duniawi maka itu terkutuk. Tetapi Ia justru telah merendahkan dirinya untuk mengabdi sampai tuntas dan karena itu bisa terbayang bahwa saat menghembuskan napasnya 6 Januari 2024 pkl 10.30, yang terakhir ia hanya berseru: Maranatha: Tuhan datanglah, ke tempat di mana Ia telah mempersembahkan kemiskinannya untuk sebuah pengabdian total.
Karenanya tidak ada kata yang lebih pantas selain rasa kagum karena ia telah menjadi miskin sampai mati tetapi oleh kematiannya mendatangankan makna tidak saja bagi Keuskupan Atambua tetapi juga bagi gereja sejagat. Harta ini tentu tidak hanya dijaga oleh para Suster Tarekat Putri Maranatha (TPM) yang didirikannya 2005 tetapi harta terindah untuk Gereja sejagat.
Robert Bala, pengagum Mgr. Anton Pain Ratu SVD. Kenangan 36 tahun yang lalu (Natal 1988). Penulis buku Berbuah di Usia Senja (Cetakan ke-2, Kanisius, Jogjakarta, 2022)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.