Wawancara Eksklusif
Marthen Dira Tome: Saya Melihat Panasnya Sabu dan NTT sebagai Anugerah
Marthen mengungkapkan, panasnya alam Sabu Raijua serta Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya harus dilihat sebagai anugerah. Bukan bencana.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM - Mantan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome kini kembali berkarya di tengah masyarakat.
Dalam wawancara eksklusif dengan editor Pos Kupang, Frans Krowin, Jumat (29/12/2023), Marthen mengungkapkan, panasnya alam Sabu Raijua serta Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya harus dilihat sebagai anugerah. Bukan bencana.
Berikut petikan wawancara lengkap di Studio Pos Kupang.
Ketika menjadi kepala Bidang PLS di Dinas Dikbud NTT anda melakukan berbagai gebrakan. Demikian pula saat menjabat bupati.
Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Kira-kira begitu.
Saya teringat kembali bagaimana kita berkarya di masa lalu. Yang membuat PLS itu hebat bukan karena saya saja tetapi teman-teman dari media termasuk Pos Kupang yang membuat booming betul sehingga apa yang kita lakukan di masa lalu membekas bagi masyarakat.
Saya membiarkan kehidupan mengalir dan dari PLS itu, ketika saya bergaul dengan masyarakat luas dan tiba-tiba saya dihantarkan ke dunia politik.
Akhirnya saya bisa diterima masyarakat dan mulai memimpin Sabu Raijua.
Apa yang Anda lakukan sehingga PLS sedemikian booming di NTT?
Begini. Pendidikan luar sekolah (untuk) orang-orang yang tak terjangkau, orang-orang yang tak terlayani. Mereka karena berbagai persoalan kehidupan tidak terlayani di bidang pendidikan.
Timbullah program pemerintah menjangkau semua orang di bidang pendidikan, lahirlah yang namanya keaksaraan fungsional, kemudian ada Paket A setara, Paket B setara, Paket C setara.
Ini merupakan jalan bagi mereka yang tidak terjangkau pendidikan formal. Di situlah orang mulai membicarakan tentang kita.
Dalam perjalanan publik NTT tersentak dengan dugaan perbuatan (melawan hukum). Sesungguhnya seperti apa?
Saya pikir ini sudah selesai. Anda bertanya maka saya harus menjawab. Saya telah masuk dalam dunia hukum, diproses dan pada akhirnya saya harus mendekam dalam penjara kira-kira enam tahun lebih.
Tapi sampai hari ini saya tidak terganggu dengan itu karena saya merasa bahwa saya tidak pernah melakukan itu. Kalau anda melihat saya hari ini masih tetap kokoh seperti ini, saya pikir bahwa masalah psikologi saya tidak terganggu.
Kami dipenjara selama enam tahun lebih di Surabaya. Saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan walaupun keputusan hukum inkrah menyatakan bahwa kami korupsi di situ.
Mestinya publik NTT mengerti prosesnya tapi karena persidangan terjadi di Surabaya maka orang tidak mengerti apa yang terjadi. Waktu itu kami, para lawyer minta supaya sidang di Kupang karena locusnya di sini tetapi mereka tidak mau karena takut keamanan.
Kita bisa hadirkan ribuan masyarakat yang merupakan penyelenggara PLS waktu itu, yang melaksanakan dan mengelola keuangan.
Mereka bisa bersaksi apakah ada uang yang saya sentuh, masuk kantong saya atau tidak. Itu dulu. Oke, tidak apa-apa sudah terjadi tapi saya secara psikologi tenang-tenang saja karena saya tidak pernah melakukan itu.
Kira-kira apa yang dipetik dari kondisi di Lapas?
Banyak. Paling kurang perenungan terjadi. Di tempat itu kita banyak belajar. Belajar tentang bagaimana membuat pupuk, kegiatan pertanian, peternakan, macam-macam.
Banyak pengalaman yang kita terima dari situ. Memang hak-hak kita yang lain untuk berkarya sebagaimana orang bebas di luar tidak bisa kita lakukan tetapi pembinaan rohani dan lain-lain tetap jalan.
Setelah bebas berada di luar, apa yang anda lakukan saat ini?
Setelah menjalani hukuman di sana, saya harus kembali ke daerah, ke tengah-tengah keluarga. Saya merasa bahwa kalau saya tinggal diam begitu saja, sama dengan potensi dibiarkan tidur dan saya tidak bisa bikin apa-apa.
Sementara menurut saya ada potensi besar di dalam diri saya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang.
Apalagi pada masa lalu, ketika saya mengalami proses hukum itu, ada jabatan yang saya emban sebagai seorang bupati. Tidak hanya itu, tapi di penghujung saya sementara sosialisasi ingin bertarung menjadi calon gubernur.
Sekitar tahun berapa?
Tahun 2015-2016. Kemudian saya kembali, terngiang dalam telinga dan ingatan bahwa sebenarnya ada janji-janji yang saya sampaikan pada saat kami berkampanye di Sabu dan juga janji-janji pada masyarakat ketika saya sosialisasi sebagai calon gubernur.
Janji itu yang memanggil saya untuk kembali karena janji ini tidak boleh menjadi utang terus, ini harus dibayar.
Ketika saya kembali ke Sabu ternyata semua program yang kita lakukan di Sabu itu ternyata tidak dilakukan. Tambak garam yang begitu bagus, sudah ada 120-an hektar dibiarkan terbengkalai.
Kemudian pabrik air kemasan, jujur saja kalau itu misalnya diteruskan, saya pikir Aqua tidak perlu masuk ke Kupang karena air kemasan itu standarnya sama dengan Aqua. Semua peralatan kita sudah pakai yang standarnya sama seperti Aqua.
Mata air keluar dari batu dan itu mengalir ke sawah sebentar lalu ke laut. Sangat besar air itu, potensinya luar biasa dan itu sudah pernah diresmikan oleh Pak (Ibrahim) Medah. Pabrik rumput laut juga demikian. Ini sudah berproduksi.
Entah kenapa tidak jalan. Ada banyak hal termasuk bagaimana membuat, sampai mendirikan pabrik karung plastik itu saya sudah dorong, tinggal dilaksanakan, itu pun tidak jalan.
Masih banyak program lain juga tidak jalan misalnya menanam tanaman musim panas, itu tidak jalan sama sekali.
Bukankah alam Sabu sangat menantang, tidak bersahabat sesungguhnya?
Ini bukan hanya di Sabu, NTT ini sebenarnya seperti itu kalau kita lihat secara kasat mata. NTT termasuk Sabu Raijua sebenarnya negeri yang kaya raya.
Persoalannya, bagaimana pemimpin melihat kekayaan ini kemudian digali dan dikelola menghasilkan sesuatu bagi rakyatnya. Nah khusus di Sabu Raijua kan panasnya luar biasa.
Panas ini oleh sebagian orang akan dilihat sebagai bencana. Kalau saya tidak melihat panas sebagai bencana tapi saya melihat panas sebagai anugerah.
Tanpa panas begini, tidak mungkin air laut yang biru itu tidak mungkin bisa berubah menjadi butiran putih yang disebut garam itu. Itu anugerah. Tuhan memberikan panas itu supaya kita bisa jadikan air laut menjadi garam.
Mungkin masih ada lagi yang lain, sebagai sumber energi untuk listrik dan lain-lain. Ini yang saya bilang tadi tergantung pemimpin melihatnya, apakah kita mau lihat sebagai bencana atau kita mau melihat sebagai potensi yang Tuhan beri. (*)
Wawancara Eksklusif - 4S Kebijakan Strategis Kelola Sumber Daya Pesisir Inklusif dan Berkelanjutan |
![]() |
---|
Wawancara Ekslusif - Sampai Triwulan II 2025 Penjaminan Total Jamkrida NTT Capai Rp 3.6 Triliun |
![]() |
---|
Wawancara Ekslusif - Pemilik Lahan di SDN Tenau Kupang Buka Suara |
![]() |
---|
Wawancara Ekslusif - Kepala SMPN 8 Kupang: Sudah Ada Keluhan Makanan Basi Sejak Minggu Lalu |
![]() |
---|
Wawancara Eksklusif - Kepala OJK NTT Sarankan Hindari Investasi Bodong dengan 2L |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.