Berita Lembata

Taman Daun Menenun Mimpi Anak-anak Lembata

Sekarang ada banyak sekali pesan dan lamaran dari relawan asing yang ingin mengajar di Taman Daun. Saya perlu seleksi satu per satu

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
BELAJAR BERSAMA - Relawan asing sedang bermain dan belajar bersama anak-anak Lembata di Taman Daun, Kota Lewoleba. Taman Daun didirikan pada 21 april 1987 oleh Goris Batafor. Pada mulanya, Goris menjadikan kediamannya itu sebagai tempat menenun kelompok bernama Bintang Kejora. 

Laporan Reporter POS-KUPANG, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Jika datang ke Lembata, mampirlah sebentar di Taman Daun. Tempat yang berada di kawasan Bluwa, Kota Lewoleba ini adalah rumah untuk semua orang. Tempatnya teduh, dinaungi pohon-pohon rindang. Tersedia kain tenun, kerajinan tangan, buku dan daun-daun kering bertebaran.

Di atas lahan seluas satu hektare itu, berdiri pondok-pondok kecil, rumah tinggal dan lima kamar homestay untuk relawan. Setiap Senin-Jumat sore, puluhan anak datang ke sana untuk belajar bahasa Inggris bersama relawan asing dari berbagai negara.

Pos Kupang mengunjungi Taman Daun pada 15 November 2023 sore saat kelas bahasa Inggris sedang berlangsung. Julia yang berasal dari Brazil dan Tanvi dari Amerika Serikat sedang bermain dan belajar dengan anak-anak. Keduanya membantu anak-anak menemukan kosakata dalam bahasa Inggris secara cepat lewat permainan ‘hot potato’ (kentang panas).

Julia menggenggam sebuah batu (dianggap sebagai kentang panas) dan memberikannya kepada seorang anak di hadapannya. Anak yang menerima ‘kentang panas’ itu harus langsung memberikannya kepada teman di sebelahnya, begitu seterusnya, sampai Julia berhenti mengucapkan mantra hot potato pass it on, hot potato pass it on, hot potato pass it on, get rid of the hot potato.

Baca juga: Pesan Presiden Joko Widodo untuk Masyarakat Lembata Pada Peringatan Hari Bela Negara ke-75

Anak terakhir yang memegang ‘kentang panas’ saat Julia berhenti mengucapkan mantra, wajib melengkapi satu kalimat bahasa Inggris di papan tulis. Permainan itu membuat kelas lebih bergairah. Anak-anak menikmati permainan sembari dipacu untuk menemukan kosakata baru.

“Ini pemandangan yang biasa di Taman Daun. Ada dua sampai tiga bule sedang belajar dan bermain dengan anak-anak setiap hari,” ungkap Galang Tahir, relawan lokal Taman Daun.

Para relawan punya banyak ide untuk mengajari anak-anak Lembata bahasa Inggris. Setiap hari, Galang menandaskan, ada saja inovasi yang dibuat supaya anak-anak tidak merasa bosan mempelajari bahasa asing tersebut.

Tak hanya inovasi dan kreativitas para relawan, salah satu nilai lebih adalah anak-anak ‘dipaksa’ untuk memahami bahasa Inggris karena semua relawan asing tidak bisa bahasa Indonesia. Mereka tetap memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

“Mau tidak mau interaksi antara anak-anak dan bule dilakukan dengan bahasa Inggris. Kalau ada bule yang mau belajar bahasa Indonesia, mereka belajar dari anak-anak. Demikian juga sebaliknya,” kata Galang.

Anak-anak yang belajar di Taman Daun tidak hanya pandai bahasa Inggris. Di sekolah formal, mereka percaya diri, komunikatif, aktif dan kreatif. Hal ini diakui oleh Inyo Duan, guru salah satu sekolah di kota Lewoleba.

Inyo mengungkapkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki anak Taman Daun tak lepas dari metode pembelajaran non formal yang dipraktikkan para relawan di sana.

“Karena di sini belajar sambil bermain, anak tidak merasa kaku, tidak ada sekat antara guru dan murid dan semua anak diberi kesempatan yang sama untuk bermain dan belajar,” imbuhnya.

Di Taman Daun, mereka menemukan ‘sosok guru’ yang berbeda. Guru yang menemani mereka belajar, bukan guru yang hanya mengajari mereka. Para relawan bahkan menjadi sahabat karib anak-anak.

Baca juga: Kapolres Lembata Pantau Harga Sembako Jelang Natal dan Tahun Naru

Pos Kupang sempat berjumpa dengan Legan Tolok, bocah kelas enam sekolah dasar, yang sudah mahir berbahasa Inggris. Legan cukup percaya diri ketika diminta untuk mendeskripsikan kehidupan keluarganya dalam bahasa Inggris. Dia pun tak sungkan berkomunikasi dengan Julia dan Tanvi di luar kelas.

Belajar Gratis

Taman Daun didirikan pada 21 april 1987 oleh Goris Batafor. Pada mulanya, Goris menjadikan kediamannya itu sebagai tempat menenun kelompok bernama Bintang Kejora. Ibu-ibu biasa membawa serta anak mereka. Maka muncul ide untuk mengumpulkan anak-anak juga dalam satu wadah kreatif. Jadilah, Taman Daun, sebuah rumah belajar, taman baca dan tempat bermain.

Taman Daun menyiapkan lima kamar homestay. Relawan tinggal gratis, makan-minum gratis, dan pada waktu luang, mereka juga bisa mengunjungi sejumlah tempat wisata di Lembata. Tugas utama mereka di Taman Daun adalah mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak Lembata. Gratis.

Dengan konsep ini, Taman Daun jadi satu-satunya komunitas yang bisa mendatangkan banyak wisatawan dan membuat mereka tinggal lebih lama di Lembata.

Tanvi mengaku datang ke Taman Daun dan melihat komunitas itu telah memberi dampak yang besar bagi perkembangan anak-anak. Dia kagum karena anak-anak Taman Daun sangat antusias di kelas, dan mereka cerdas.

“Saya kenal Taman Daun lewat sebuah website yang menyebutkan Taman Daun membutuhkan relawan yang bisa mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak dan kebetulan saya juga mau membuat hal yang sama dengan yang Taman Daun tawarkan,” papar Tanvi.

Menenun Mimpi Anak-anak Lembata

John Batafor, sepupu dari Goris Batafor, melanjutkan program belajar di Taman Daun. Dia melihat kemampuan berbahasa Inggris adalah syarat generasi muda Lembata bisa terlibat dalam percakapan nasional maupun internasional. Maka pada 2018, berkat jejaring komunitas dan pemanfaatan media sosial, banyak relawan dari luar negeri tinggal di Taman Daun selama berminggu-minggu untuk mengajar bahasa Inggris. Belakangan Taman Daun membuka program baru yakni penanaman terumbu karang yang juga menarik minat banyak relawan.

John putus kuliah di Kupang dua dekade yang lalu. Sempat luntang lantung di jalanan, bekerja serabutan dan bahkan pernah mendekam di penjara. Awalnya John malu pulang ke Lembata tanpa menenteng selembar ijazah sarjana, tidak bisa membahagiakan ibunya yang sudah menjanda dan bisik-bisik tetangga karena tak menamatkan kuliah.

Goris kemudian meminta John pulang, mengurus program belajar di Taman Daun. Sejak itu, dia anggap mimpi membahagiakan ibunya belum pupus.

“Merawat dan membesarkan anak-anak Taman Daun adalah ‘ijazah’ sebenarnya,” ungkap John, penuh kebanggaan.

Baca juga: Opini: Natal dan Krisis Ruah

Dia bekerja keras mengembangkan program belajar untuk anak-anak. Salah satunya dengan mendatangkan relawan asing. Sampai sekarang jumlah relawan yang mengajar di Taman Daun sudah tak terhitung jumlahnya.

Mereka datang dari latar belakang profesi yang berbeda dan dari negara yang bervariasi pula. Program ini sempat terhenti saat pandemi corona. Setelah pandemi, John pergi ke Bali dan mencari lagi relawan asing yang tertarik mengajar bahasa Inggris di Lembata. Setelah itu, dia mulai memanen hasilnya.

Setiap bulan selalu ada dua sampai tiga orang relawan asing yang mengajar di Taman Daun Lembata.

“Sekarang ada banyak sekali pesan dan lamaran dari relawan asing yang ingin mengajar di Taman Daun. Saya perlu seleksi satu per satu,” kata John.

Sampai akhir tahun 2023, ada dua orang relawan yang tetap tinggal. Merry dari Jerman dan Elisca dari Republik Ceko. Dua relawan dari Australia rencananya juga akan tiba di Lembata.

Taman Daun tetap menjadi rumah bagi semua orang yang ingin belajar. Kalau dulu, dia adalah tempat ibu-ibu menenun, maka sekarang, Taman Daun sedang menenun mimpi anak-anak Lembata.

“Kita hitung dari sekarang, anak-anak ini punya jalan yang lebih terbuka untuk bersaing di masa depan,” kata John optimistis.(*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved