Berita Lembata
Taman Daun Menenun Mimpi Anak-anak Lembata
Sekarang ada banyak sekali pesan dan lamaran dari relawan asing yang ingin mengajar di Taman Daun. Saya perlu seleksi satu per satu
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Rosalina Woso
Belajar Gratis
Taman Daun didirikan pada 21 april 1987 oleh Goris Batafor. Pada mulanya, Goris menjadikan kediamannya itu sebagai tempat menenun kelompok bernama Bintang Kejora. Ibu-ibu biasa membawa serta anak mereka. Maka muncul ide untuk mengumpulkan anak-anak juga dalam satu wadah kreatif. Jadilah, Taman Daun, sebuah rumah belajar, taman baca dan tempat bermain.
Taman Daun menyiapkan lima kamar homestay. Relawan tinggal gratis, makan-minum gratis, dan pada waktu luang, mereka juga bisa mengunjungi sejumlah tempat wisata di Lembata. Tugas utama mereka di Taman Daun adalah mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak Lembata. Gratis.
Dengan konsep ini, Taman Daun jadi satu-satunya komunitas yang bisa mendatangkan banyak wisatawan dan membuat mereka tinggal lebih lama di Lembata.
Tanvi mengaku datang ke Taman Daun dan melihat komunitas itu telah memberi dampak yang besar bagi perkembangan anak-anak. Dia kagum karena anak-anak Taman Daun sangat antusias di kelas, dan mereka cerdas.
“Saya kenal Taman Daun lewat sebuah website yang menyebutkan Taman Daun membutuhkan relawan yang bisa mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak dan kebetulan saya juga mau membuat hal yang sama dengan yang Taman Daun tawarkan,” papar Tanvi.
Menenun Mimpi Anak-anak Lembata
John Batafor, sepupu dari Goris Batafor, melanjutkan program belajar di Taman Daun. Dia melihat kemampuan berbahasa Inggris adalah syarat generasi muda Lembata bisa terlibat dalam percakapan nasional maupun internasional. Maka pada 2018, berkat jejaring komunitas dan pemanfaatan media sosial, banyak relawan dari luar negeri tinggal di Taman Daun selama berminggu-minggu untuk mengajar bahasa Inggris. Belakangan Taman Daun membuka program baru yakni penanaman terumbu karang yang juga menarik minat banyak relawan.
John putus kuliah di Kupang dua dekade yang lalu. Sempat luntang lantung di jalanan, bekerja serabutan dan bahkan pernah mendekam di penjara. Awalnya John malu pulang ke Lembata tanpa menenteng selembar ijazah sarjana, tidak bisa membahagiakan ibunya yang sudah menjanda dan bisik-bisik tetangga karena tak menamatkan kuliah.
Goris kemudian meminta John pulang, mengurus program belajar di Taman Daun. Sejak itu, dia anggap mimpi membahagiakan ibunya belum pupus.
“Merawat dan membesarkan anak-anak Taman Daun adalah ‘ijazah’ sebenarnya,” ungkap John, penuh kebanggaan.
Baca juga: Opini: Natal dan Krisis Ruah
Dia bekerja keras mengembangkan program belajar untuk anak-anak. Salah satunya dengan mendatangkan relawan asing. Sampai sekarang jumlah relawan yang mengajar di Taman Daun sudah tak terhitung jumlahnya.
Mereka datang dari latar belakang profesi yang berbeda dan dari negara yang bervariasi pula. Program ini sempat terhenti saat pandemi corona. Setelah pandemi, John pergi ke Bali dan mencari lagi relawan asing yang tertarik mengajar bahasa Inggris di Lembata. Setelah itu, dia mulai memanen hasilnya.
Setiap bulan selalu ada dua sampai tiga orang relawan asing yang mengajar di Taman Daun Lembata.
“Sekarang ada banyak sekali pesan dan lamaran dari relawan asing yang ingin mengajar di Taman Daun. Saya perlu seleksi satu per satu,” kata John.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.