Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif M Nasir Djamil: Ide Permanenkan MKMK Turunkan Derajat Kenegarawanan Hakim

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS M Nasir Djamil tidak sepakat wacana atau ide MKMK agar dipermanenkan.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUN GAYO
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, M Nasir Djamil. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS M Nasir Djamil tidak sepakat wacana atau ide Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK ) agar dipermanenkan.

Menurutnya, apabila Mahkamah Konstitusi diawasi langsung oleh MKMK praktis menurunkan sikap negarawan hakim MK.

"Untuk mempermanenkan MKMK itu justru menurunkan derajat kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi. Lalu apa bedanya dengan kami seperti Mahkamah Kehormatan Dewan misalnya," kata M Nasir Djamil saat podcast di Gedung Tribun Network, Jakarta Pusat, Kamis (9/11/2023).

Karena itulah Hakim Konstitusi diharapkan tidak salah perilakunya benar-benar lurus meskipun sebagai manusia tentu tidak luput dari kesalahan.

Sehingga ketika ada putusan-putusannya yang mencederai keadilan banyak orang maka dibutuhkanlah satu majelis yang mengoreksi keputusannya itu.

"Karena memang putusan MK itu kan final dan mengikat sangat-sangat berkuasa penuh kira-kira begitu, berkuasa penuh dia. Dan cara mengoreksi ya seperti itu jadi kehadiran MKMK itu mengoreksi dan kata itu oleh karena itu dia Adhoc," tukasnya.

Baca juga: Anwar Usman Dipecat sebagai Ketua MK, Tak Boleh Ikut Sidang Sengketa Pilpres

Simak Wawancara Eksklusif News Manager Tribun Network Rachmat Hidayat dengan M Nasir Djamil:

Bang Nasir sebagai wakil rakyat tercatat sebagai anggota Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum dan HAM. Saya kepengin tahu pandangan Bang Nasir terkait keputusan MKMK yang memberhentikan Pak Anwar Usman sebagai Ketua MK?

Saya kemarin membaca komplainnya Pak Anwar Usman karena rapat-rapat itu dilakukan secara terbuka. Dan itu menurut Pak Anwar Usman melanggar kode etik rapa MKMK seharusnya tertutup. Tetapi Pak Anwar Usman lupa bahwa hari ini kita mengalami disrupsi yang luar biasa kepercayaan publik itu harus kita tumbuhkan.

Saya enggak bisa bayangkan kalau misalnya Pak Jimly dan kawan-kawan itu rapatnya tertutup orang akan semakin tidak percaya gitu. Orang akan curiga khawatir ini ada apa lagi kira-kira begitu dan memang banyak hal yang kemudian ditabrak ya dikesampingkan.

Contoh waktu misalnya kopi sianida terbuka sangat sidangnya dan itu semua bertentangan dengan hukum acara pidana sebenarnya. Enggak boleh tapi itu kan dibuka enggak ada yang bisa menahan dan kemudian berlanjut sidang-sidang diekspos secara terbuka orang bisa menikmati di mana saja.

Perlu saya katakan tadi kalau kita bandingkan dengan hukum acara pidana ya enggak cocok gitu enggak ada di situ tapi kadang kita sudah mengalami disrupsi dan kemudian bagaimana orang bisa percaya maka mau tidak mau kita harus menyampingkan aturan-aturan yang selama ini mengatur tentang itu.

Baca juga: 9 Hakim MK Melanggar Etik, Dijatuhi Sanksi Teguran Lisan

Nah begitu juga soal rapat rapat MKMK, jadi sebenarnya kenapa terbuka dan kemudian orang bisa melihat di media sosial misalnya cuplikan-cuplikannya itu dalam rangka untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada institusi Mahkamah Konstitusi.

Adapun keputusan Mahkamah Konstitusi tadi itu menurut saya itu sangat serius. Jadi itu sangat berat sebenarnya menanggalkan jabatan sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dan saya sih sebenarnya pernah kemarin teman media nanya ke saya soal ini.

Lalu saya katakan sebaiknya Pak Usman Anwar mundur, belakang baru saya baca dari Muhammadiyah juga meminta hal yang sama. Saya tidak tahu apakah saya lebih dahulu mengatakan itu baru kemudian Muhammadiyah tapi poinnya sama saya minta agar Bapak Usman Anwar itu mundur secara sukarela.

Karena atribut-atribut yang melekat kepada Hakim Mahkamah Konstitusi itu sudah ditanggalkan oleh putusan MKMK tersebut.

Pemikiran Bang Nasir berarti sama dengan salah satu Hakim Konstitusi yang dissenting opinion bahwa seharusnya Pak Anwar Usman diberhentikan. Tapi kalau mengacu kepada pernyataan Prof Mahfud apabila Anwar Usman diberhentikan dia bisa mengajukan banding artinya akan ada proses hukumnya lebih panjang. Apakah ini sudah cukup?

Iya jadi karena Mahkamah Konstitusi itu kan lebih mengedepankan integritas, etika, jadi martabat Hakim Mahkamah Konstitusi itu bukan hanya pada putusannya tapi juga pada perilakunya.

Oleh karena itu ketika ada putusan MKMK tersebut maka secara otomatis dalam pandangan saya itu menanggalkan berubah kebesaran itu. Jadi seolah-olah jubah itu dikoyak-koyak dengan kebutuhan MKMK itu.

Setelah dikoyak-koyak atau di ditaruh di suatu tempat artinya seolah-olah keputusan Majelis Kehormatan itu ingin mengatakan bahwa Anda ( Anwar Usman ) tidak laik lagi menggunakan jubah.

Saya katakan sebaiknya Pak Anwar lebih terhormat kalau dia mengundurkan diri karena memang putusan itu sangat berat dan menodai Mahkamah Konstitusi.

Ada kemudian yang beranggapan seharusnya dengan dinonaktifkan Pak Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi bisa dikaitkan dengan menganulir karpet merah Gibran Rakabuming Raka?

Ya tapi kan Indonesia ini kan negara peraturan, bukan negara hukum, negara undang-undang dan peraturan. Jadi soal etikabilitas, integritas itu kan belum menjadi sesuatu yang bahagian dari keputusan-keputusan politik.

Asal sesuai dengan aturan ya sudah persoalan itu di luar etika, di luar integritas itu dalam pandangan saya selama ini terjadi bukan masalah. Yang penting aturannya dilalui.

Contoh misalnya undang-undang Cipta Kerja misalnya dikebut siang malam kemudian mengabaikan aspek-aspek formal dan lain sebagainya yang penting sesuai saja sama mereka. Soal bahwa ini pantas atau tidak patut nggak ada urusan.

Makanya saya katakan negara kita ini sebenarnya bukan negara hukum tapi negara undang-undang jadi dibuat aturan. Kalau negara hukum itu hukum punya moralitas.

Nah moralitas hukum itulah yang kemudian membuat hukum itu menjadi bermartabat problemnya karena kita belum sampai kepada negara hukum. Nah akhirnya moralitas hukum itu ditempatkan di satu tempat. Itu sebabnya kemudian hukum di negeri ini seperti pagar kawat yang mudah dibengkokkan ke mana dia mau.

Apakah ada kemudian Komisi III DPR memanggil Mahkamah Konstitusi?

Ketika ada lembaga-lembaga negara yang diatur pengaturannya dalam konstitusi itu kami sebut dengan rapat konsultasi. Itu biasanya biasanya lazim yang kami lakukan selama ini kami mendatangi lembaga tersebut.

Jadi kami misalnya bertandang ke BPK, bertandang ke Mahkamah Agung, bertandang ke Mahkamah Konstitusi dan rapat konsultasi itu bukan rapat pengawasan lebih kepada pertanyaan-pertanyaan bagaimana meningkatkan kapasitas kompetensi hakim kemudian sarana dan prasarana yang membuat agar tugas-tugas hakim bisa lebih baik putusan dan bisa lebih memberikan keadilan kepada masyarakat.

Jadi rapat konsultasi itu bukan rapat pengawasan seperti yang kami lakukan di DPR apalagi ini kan yudikatif tentu kami cabang legislatif misalnya nah dia kan punya ranah sendiri.

Bahwa keputusannya itu berdampak terhadap kehidupan masyarakat kita hanya bisa melakukan rapat konsultasi kepada Mahkamah Konstitusi dan juga tidak tidak memanggil mereka ke DPR misalnya.

Dan itu sebenarnya kalau mau kan selama ini pernah dilakukan walaupun saya lihat sekarang sudah sangat jarang dilakukan rapat konsultasi antara eksekutif legislatif yudikatif.

Kan biasa ada itu ya tapi sudah lama saya tidak mendengar rapat-rapat itu lagi, seharusnya kalau ada rapat itu masih ada yang paling tidak akan bisa menjelaskan kepada publik walaupun publik juga kemudian tidak akan bisa mendapatkan banyak informasi dari hasil rapat-rapat tersebut karena tentu tidak semua masyarakat dapat konsultasi itu dihubungkan atau diberitahu kepada masyarakat.

Perlu tidak agar kinerja Mahkamah Konstitusi lebih baik ke depan kemudian MKMK ini dibuat secara permanen?

Salah satu predikat yang tidak dimiliki oleh penyelenggara negara lainnya itu adalah negarawan yang hanya dimiliki oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Saya bisa membayangkan dulu ketika ini dibahas atau digodok atau dibentuk banyak pemikiran tentang sosok negarawan.

Sehingga negarawan ini tentu diharapkan orang yang tidak pernah "salah". Kalau kemudian ada wacana atau ide untuk mempermanenkan MKMK itu justru menurunkan derajat kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi. Lalu apa bedanya dengan kami seperti Mahkamah Kehormatan Dewan misalnya.

Jadi karena dia negarawan itulah ya dia diharapkan tidak salah perilakunya benar-benar lurus begitu tapi karena dia manusia tentu dia tidak luput dari kesalahan. Sehingga ketika ada putusan-putusannya yang mencederai keadilan banyak orang maka dibutuhkanlah satu majelis yang mengoreksi keputusannya itu.

Karena memang putusan MK itu kan final dan mengikat sangat-sangat berkuasa penuh kira-kira begitu, berkuasa penuh dia. Dan cara mengoreksi ya seperti itu jadi kehadiran MKMK itu mengoreksi dan kata itu oleh karena itu dia Adhoc.

Saya katakan tadi kalau dia dipermanenkan itu menurunkan derajat kenegarawanan yang disandang oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekarang itulah yang membedakan kami dengan kami, bahkan Presiden sekalipun tidak disebut sebagai negarawan hanya Hakim Mahkamah Konstitusi.

Mungkin waktu pembentukan pasar-pasal ini banyak debatnya mengapa hakim MK itu negarawan seharusnya kan Presiden juga harus negarawan tapi justru hakim MK yang secara eksplisit tu disebutkan sebagai seorang negarawan.

Pasca putusan MKMK kemudian sebelumnya terkait sidang di Mahkamah Konstitusi ini menjadi isu karena kita sedang berada di tahun politik. Bang Nasir sebagai politisi yang partainya mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Apakah kemudian putusan MKMK ini menjadi amunisi positif bagi bagi pasangan AMIN dalam membuat strategi di pertarungan pilpres 2024?

Jadi sebenarnya siapapun dalam pandangan saya baik itu Pak Ganjar Pak Mahfud Pak Prabowo saudara Gibran. Kemudian Pak Anies Baswedan dan Pak Muhaimin itu tidak boleh menjadikan itu sebagai sebuah komoditi apalagi dimanfaatkan menjadi sebuah amunisi.

Putusan itu justru untuk masyarakat Indonesia untuk rakyat Indonesia bahwa ada sesuatu dalam pandangan majelis yang duduk di MKMK itu salah. Oleh karena itu putusan itu bagi AMIN ya sebenarnya tidak juga kemudian dimanfaatkan untuk menambah elektabilitas misalnya.

Justru keputusan itu menjadi pembelajaran bagi siapapun ke depan yang menjadi presiden. Oleh karenanya kami melihat dan tidak berusaha menjadikan itu sebagai sebuah amunisi.

Putusan MKMK itu menjadi bahan diskusi bahwa memang kita harus memperbaiki dan kemudian berpikir bagaimana cara kita untuk mengawasi Hakim di Mahkamah Konstitusi karena keputusan mereka itu final dan mengikat.

Jadi ketika kekuasaan itu mereka sangat besar kewenangan mereka sangat besar maka harus ada instrumen pengawasan yang juga besar agar kewenangan dan kekuasaan besar tidak disalahgunakan. (tribun network/reynas abdila)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved