Breaking News

Berita Timor Leste

Mengenal Sosok Tatang Koswara Sniper Andalan TNI yang Dijuluki Malaikat Maut Fretilin Timor Leste

Pria asal Cibaduyut Jawa Barat, itu bahkan diikutsertakan dalam satuan Kopassandha (Kopassus) lantaran saat itu Korps Baret Merah kekurangan sniper.

Editor: maria anitoda
Tribunnews Bogor
Tatang Koswara semasa muda- Tatang Koswara menjadi salah satu sniper yang diterjunkan TNI dalam Operasi Seroja bahkan disebut sebagai malaikat maut bagi Fretilin, milisi Timor Leste. 

Tatang lantas memasang peredam suara pada moncong senapan Winchester Model 70-nya.

Seperti malaikat pencabut nyawa, dengan tenang Tatang membidik sasaran dan menekan pelatuk dengan cekatan.

Tembakan Tatang semuanya menghantam kepala musuh, satu persatu gerilyawan Fretilin yang berada di jarak 300-600 meter dari posisi Tatang menembak tumbang.

Hal ini membuat musuh panik bukan kepalang lantaran mereka bingung ada tembakan jitu namun tak tahu dari mana asalnya.

Sontak Fretilin melepaskan tembakan ngawur ke sana-ke mari tanpa sekali pun menyasar tempat Tatang dan Ginting bersembunyi.

Fretilin langsung kabur meninggalkan medan pertempuran, misi itu sukses dilaksanakan Tatang.

Dari 50 butir peluru yang Tatang bawa, hanya tersisa satu, 49 lainnya sudah ditembakkan ke musuh.

Ginting yang menyaksikan Tatang 'mencabuti' nyawa Fretilin sampai terperangah, ia secara sembunyi-sembunyi mencatat jumlah kill yang dibukukan sniper legendaris Indonesia itu.

SEJARAH OPERASI SEROJA TIMOR LESTE

Invasi Indonesia ke Timor Timur, lebih dikenal sebagai Operasi Seroja, dimulai pada tanggal 7 Desember 1975 ketika militer Indonesia masuk ke Timor Timur dengan dalih anti-kolonialisme dan anti-komunisme untuk menggulingkan rezim Fretilin yang muncul pada tahun 1974.

Penggulingan pemerintah yang dipimpin secara singkat oleh Fretilin memicu pendudukan kekerasan selama seperempat abad di mana sekitar 100.000–180.000 tentara dan warga sipil diperkirakan telah terbunuh atau mati kelaparan.

Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) mendokumentasikan perkiraan minimum sebesar 102.000 kematian terkait konflik di Timor Timur selama periode 1974 hingga 1999, termasuk 18.600 pembunuhan dengan kekerasan dan 84.200 kematian akibat penyakit dan kelaparan.

Pasukan Indonesia dan gabungan pasukan pembantunya bertanggung jawab atas 70 persen dari total pembunuhan.

Bulan-bulan pertama pendudukan, militer Indonesia menghadapi perlawanan pemberontakan yang berat di pedalaman pegunungan pulau, tetapi dari tahun 1977-1978, militer memperoleh persenjataan canggih baru dari Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara lain, untuk menghancurkan basis Fretilin.

Dua dekade terakhir abad ini menyaksikan bentrokan terus menerus antara kelompok Indonesia dan Timor Timur mengenai status Timor Timur, sampai tahun 1999, ketika mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka (pilihan alternatifnya adalah "otonomi khusus" sementara tetap menjadi bagian dari Indonesia).

Setelah dua setengah tahun transisi lebih lanjut di bawah naungan tiga misi PBB yang berbeda, Timor Timur berhasil merdeka pada 20 Mei 2002.

BACA BERITA TERBARU POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved