Film

Dragon for Sale, Film Dokumenter yang Menunjukkan Efek Buruk Pariwisata di Flores NTT

Film Dragon for Sale yang dirilis bulan ini telah didistribusikan secara luas melalui Rangkai.id dan akan diputar di delapan universitas terkemuka AS.

|
Editor: Agustinus Sape
Instagram/idbaruid and sahabatflores_official
Cuplikan salah satu bagian film dokumenter Dragon for Sale, yang mulai tayang pada bulan April 2023, bercerita tentang sisi gelap pembangunan pariwisata di Manggarai Barat NTT. 

POS-KUPANG.COM - Sebuah film dokumenter baru mengungkap sisi gelap pembangunan pariwisata di Pulau Flores yang mayoritas beragama Katolik di Indonesia, yang dikembangkan sebagai destinasi premium dengan dukungan dari Bank Dunia dan pemerintah Selandia Baru.

Film Dragon for Sale yang dirilis bulan ini telah didistribusikan secara luas melalui Rangkai.id, platform film nasional, dan akan diputar di delapan universitas terkemuka di AS pada 1 Mei mendatang.

Film dokumenter ini diproduksi oleh Tim Ekspedisi Indonesia Baru, sebuah kelompok aktivis dan jurnalis yang berkeliling tanah air dengan sepeda motor sejak tahun lalu.

Film ini berfokus pada pengembangan pariwisata di Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat di Pulau Flores, yang dipromosikan oleh pemerintah sebagai salah satu dari '10 Bali Baru' di bawah program yang dimulai pada tahun 2016.

Labuan Bajo adalah pintu masuk menuju Taman Nasional Komodo yang terkenal, Situs Warisan Dunia yang disetujui UNESCO, terkenal sebagai habitat alami biawak raksasa yang dikenal sebagai Komodo. Tempat itu akan menjadi tuan rumah KTT ASEAN 8-11 Mei 2023.

Film dokumenter dalam lima bagian, masing-masing berdurasi sekitar 50 menit, menyoroti isu-isu yang selama ini tidak terlihat oleh wisatawan dan mengungkap marginalisasi masyarakat lokal, pengingkaran hak-hak masyarakat adat, privatisasi wilayah pesisir dan sumber daya air, perusakan hutan, penguasaan oleh para pelaku bisnis besar yang memiliki koneksi politik yang kuat, dan perlawanan warga untuk mempertahankan ruang hidupnya.

Dalam pernyataannya, Dandhy Laksono, produser film dokumenter tersebut, menuding yang paling diuntungkan dari perkembangan pariwisata di Labuan Bajo sebagai destinasi premium bukanlah penduduk lokal.

Baca juga: 550 Delegasi Akan Hadiri KTT ASEAN Summit 2023 di Labuan Bajo

Kinan, seorang pemandu wisata yang menyelenggarakan diskusi tentang film dokumenter di Komodo, mengatakan pembangunan di Labuan Bajo dirancang untuk pihak luar sementara kepentingan penduduk lokal “dihancurkan”.

“Beberapa korporasi telah mendapatkan izin untuk membuka hotel dan resort di atas lahan ratusan hektar. Suatu saat perusahaan besar akan menguasai Pulau Komodo,” kata Kinan.

Ia memprediksi sepuluh tahun ke depan, masyarakat adat Ata Modo yang menghuni Pulau Komodo akan semakin berkurang tinggal di ruang sempit.

Ignasius Jaques Juru, yang mengorganisir diskusi film di Yogyakarta, sebuah kota di pulau Jawa dan terkenal dengan warisan seni dan budaya tradisionalnya, mengatakan film tersebut menyoroti dampak negatif dari klaim besar untuk mengembangkan Labuan Bajo sebagai Bali Baru yang membawa kemakmuran.

Hampir 400 hektar Hutan Bowosie, kawasan penyangga, dibuka untuk pembangunan hotel dan resor, kata Juru.

Juru juga mempertanyakan kontribusi industri pariwisata terhadap kesejahteraan masyarakat setempat, mengingat tingginya angka kemiskinan di Labuan Bajo dan Kabupaten Manggarai Barat.

Kabupaten ini menampung 256.000 orang dan 17,15 persen dari mereka miskin; hampir dua kali lipat tingkat kemiskinan nasional sebesar 9,57 persen, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

Chris Hulshof, direktur Graduate Education and Training in Southeast Asian Studies yang menyelenggarakan pemutaran film di AS, mengatakan penting bagi audiens internasional karena mereka akan mengetahui “sisi gelap dari program pengembangan pariwisata premium Indonesia".

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved