Konflik Sudan

Konflik Sudan, Lebih dari 3.500 Orang Telah Melarikan Diri ke Etiopia

Konflik Sudan tidak hanya memaksa warga asing dievakuasi ke negaranya masing-masing. Warga negara Sudan pun banyak yang melarikan diri ke luar negeri.

Editor: Agustinus Sape
TWITTER/GLOBAL TIMES
Suasana evakuasi warga China dari Sudan. Sejauh ini, lebih dari 1.300 warga negara China telah dievakuasi dengan aman dari Sudan. 

POS-KUPANG.COM - Konflik Sudan tidak hanya memaksa warga asing dievakuasi ke negaranya masing-masing. Warga negara Sudan pun banyak yang melarikan diri ke luar negeri.

Seorang pejabat dari Organisasi Internasional untuk Migrasi PBB mengatakan, lebih dari 3.500 orang, termasuk ratusan warga negara Turki, telah tiba di Etiopia setelah melarikan diri dari pertempuran sengit di Sudan.

PBB telah memperingatkan bahwa kekerasan dapat memaksa sebanyak 270.000 orang mencari perlindungan di negara tetangga Sudan Selatan dan Chad, sementara yang lain telah melarikan diri ke Mesir dan Etiopia.

 

"Antara 21 April dan 25 April, tercatat lebih dari 3.500 kedatangan dari lebih dari 35 negara," kata Eric Mazango, petugas komunikasi IOM di Etiopia, kepada AFP melalui email yang diterima Kamis.

“Dari total kedatangan yang tercatat, kelompok terbesar adalah warga negara Turki lebih dari 40 persen, diikuti oleh orang Etiopia sebesar 14 persen,” katanya, dengan jumlah pengungsi melonjak dari 200 akhir pekan lalu menjadi 1.300 pada Selasa.

Pertempuran antara pasukan Sudan dan paramiliter meletus pada 15 April, dengan ratusan orang tewas, sementara warga sipil menderita kekurangan air, makanan, obat-obatan dan bahan bakar yang parah.

“IOM Ethiopia telah menerima beberapa permintaan dari kedutaan untuk penerimaan dan bantuan transportasi untuk sekitar 700 warga negara ketiga yang tiba di sisi Etiopia perbatasan Sudan,” kata Mazango.

Dia menambahkan bahwa pejabat IOM sedang mengatur transportasi dari kota perbatasan Metema ke kota Gondar dan Addis Ababa untuk mengelola peningkatan kedatangan.

Evakuasi 390 WNI

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan 390 WNI yang dievakuasi dari Sudan ke Jeddah, Arab Saudi, akan diberangkatkan ke Indonesia pada Kamis 27 April 2023.

"Sesuai informasi terakhir, rencananya saat ini kami akan memulangkan 390 WNI dari Jeddah ke Indonesia hari ini. Perlu saya tekankan ini sesuai dengan rencana," kata Marsudi di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.

Menteri menekankan bahwa semua rencana evakuasi tunduk pada kondisi aktual, dan perubahan kondisi yang tiba-tiba dapat memaksa otoritas untuk menyesuaikan rencana.

“Setiap perubahan yang mungkin terjadi disebabkan oleh perubahan kondisi aktual yang memaksa kami untuk melakukannya,” kata Menkeu.

Baca juga: Konflik Sudan, Sudah Dua Orang Amerika Tewas di Tengah Pertempuran

Ke-390 WNI yang dievakuasi dari Sudan itu diperkirakan tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, Jumat (28/4) pagi, kata Menlu.

"(Mereka) akan tiba di Jakarta besok pukul 06.30 WIB dengan pesawat Garuda Indonesia 991. Insya Allah saya juga akan berada di bandara," katanya.

Sementara itu, Menkeu menjelaskan 390 WNI tersebut merupakan bagian dari 557 WNI yang direlokasi dari Ibu Kota Sudan, Khartoum, ke Port Sudan, di pantai Laut Merah negara itu, pada tahap evakuasi pertama.

Marsudi mengatakan sekitar 12 orang Indonesia dilaporkan masih berada di Khartoum, sementara sebagian besar staf kedutaan sedang mempersiapkan tahap evakuasi kedua, di mana 328 orang Indonesia akan dievakuasi.

Ia mencatat, 110 dari 328 WNI tersebut telah diberangkatkan ke Jeddah, Arab Saudi, dengan menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara (TNI-AU).

Apalagi, kata Marsudi, jika ada warga negara Indonesia yang menolak dievakuasi dan memutuskan tetap tinggal di Sudan, maka pemerintah tidak akan memaksa mereka keluar dari negara tersebut.

“Jika mereka memutuskan bertahan karena ingin bersama keluarga di Sudan, maka hak merekalah yang harus kita hormati,” tegasnya.

Menteri juga mengimbau seluruh warga untuk mendoakan para pengungsi kembali dengan selamat ke Jakarta.

Sebanyak 110 warga negara Indonesia dievakuasi dari Sudan ke Jeddah, Arab Saudi, dengan pesawat TNI Angkatan Udara, Rabu 26 April 2023.

Sebelumnya, mereka berangkat dari Khartoum, Sudan, ke Kota Port Sudan melalui jalan darat.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah, Kamis 27 April 2023, mengatakan, para WNI yang dievakuasi terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Mereka diterbangkan menggunakan pesawat Boeing 737 A-7305 TNI AU dari Kota Port Sudan menuju posko evakuasi di Jeddah, Arab Saudi.

”Proses evakuasi berjalan dengan lancar berkat koordinasi yang baik dari berbagai pihak terkait, seperti Kementerian Luar Negeri, Mabes TNI, KBRI (Kedutaan Besar RI) di Sudan, kru pesawat B-737 A-7305, dan juga Konjen (Konsulat Jenderal) RI di Jeddah,” kata Indan.

Baca juga: Konflik Sudan, 5 Staf PBB Ikut Tewas, Evakuasi Warga Asing Terus Dilakukan

Evakuasi ini merupakan yang pertama dengan pesawat. Tahap berikutnya akan ada beberapa penerbangan dari Kota Port Sudan ke Jeddah. WNI yang sudah dievakuasi ke Jeddah akan diterbangkan ke Tanah Air menggunakan beberapa pesawat komersial.

Adapun pesawat A-7305 TNI AU tetap berada di Jeddah untuk melaksanakan evakuasi WNI di Sudan selanjutnya. Tim evakuasi dipimpin mission commander Kolonel Pnb Noto Casnoto.

Tim terdiri dari kru pesawat, personel Satuan Bravo Komando Pasukan Gerak Cepat (Satbravo Kopasgat), tenaga kesehatan, psikolog, Badan Intelijen Strategis TNI (Bais TNI), Pusat Penerangan TNI, dan staf Kementerian Luar Negeri.

Noto mengatakan, misi evakuasi menurut rencana dibagi menjadi beberapa sorti. Sorti pertama telah terlaksana dengan lancar tanpa kendala. ”Evakuasi akan diprioritaskan untuk lansia (lanjut usia), ibu hamil, dan anak-anak,” kata Noto.

Sebagian WNI Tolak Evakuasi dari Sudan

Indonesia selesai mengevakuasi semua warganya yang mau keluar dari Sudan. Sebagian warga negara Indonesia menolak dievakuasi dari negara yang dilanda perang itu.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, gelombang kedua evakuasi sudah selesai pada Rabu (26/4/2023). Selain warga negara Indonesia (WNI), Indonesia juga membantu mengevakuasi enam warga Australia dan seorang warga Sudan. ”Dengan evakuasi tahap kedua ini, 897 WNI telah dievakuasi dari kota Khartum, Sudan,” ujarnya.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartum sekaligus memutakhirkan data selama evakuasi. Hasilnya, terdapat 937 WNI di Sudan dari yang sebelumnya disebutkan 1.209 WNI. Sebanyak 897 WNI di antaranya telah dievakuasi dalam dua gelombang. Adapun 15 WNI lain mengungsi secara mandiri.

KBRI Khartum juga mencatat 25 WNI menolak dievakuasi karena alasan keluarga. Oleh karena itu, mereka tidak ikut dalam dua gelombang evakuasi yang dilakukan pemerintah sejak Minggu (23/4) itu.

Warga dapat menolak tawaran evakuasi dari pemerintah. Hal itu pernah terjadi kala Indonesia mengevakuasi warga dari Ukraina, Libya, Suriah, dan Irak. KBRI setempat lazimnya meminta penolak meneken surat pernyataan. Surat itu intinya adalah pernyataan bahwa mereka melepaskan pemerintah dari semua tanggung jawab atas keputusan mereka menolak dievakuasi.

Baca juga: Konflik Sudan, Pejabat Kedutaan Mesir Dibunuh Oleh RSF di Khartoum

Retno mengungkapkan, salah satu dari tujuh bus untuk evakuasi gelombang kedua mengalami kecelakaan di Atbarra. ”Terjadi kecelakaan tunggal yang menimpa salah satu dari tujuh bus pengangkut WNI di Atbarra akibat jalanan rusak. Tiga WNI terluka dan sedang dirawat di rumah sakit di Port Sudan. Mereka akan melanjutkan penyeberangan apabila dokter mengizinkan,” tutur Retno.

Seperti pada gelombang pertama, evakuasi gelombang kedua akan dilakukan dari Sudan ke Arab Saudi. Kantor berita Arab Saudi, SPA, mengabarkan, sejak gelombang pertama evakuasi, Jeddah telah menerima 2.148 orang. Mayoritas adalah warga asing dari 62 negara dan sisanya warga Arab Saudi.

Riyadh menjadikan Pangkalan Angkatan Laut Raja Faisal sebagai pusat penerimaan pengungsi dari Sudan. Pangkalan itu salah satu pelabuhan terdekat dari Port Sudan, pelabuhan milik Sudan di tepi Laut Merah.

Warga sejumlah negara dibantu pemerintahnya keluar dari Sudan. Sebagian lagi harus mengupayakan sendiri penyelamatan dari negara yang kembali dilanda perang itu. Hal ini, antara lain, dialami mayoritas dari 16.000 warga Amerika Serikat di Sudan. Washington telah menegaskan, tidak ada evakuasi oleh pemerintah untuk warga yang bukan pegawai atau keluarga pegawai Pemerintah AS.

Bagi pelajar Palestina pun, kondisi di Khartum saat ini lebih buruk dibandingkan Tepi Barat dan Gaza. ”Saya belum pernah melihat hal seperti ini seumur hidup. Semua orang ketakutan,” kata Khamis Jouda, mahasiswa Palestina yang mengungsi dari Khartum menuju Mesir.

Sepanjang perjalanan, ia dan rekan-rekannya menyaksikan penjarahan di berbagai lokasi. Mayat bergelimpang di jalan dan berbagai tempat umum. Selain itu, orang-orang tanpa seragam juga menyandang aneka jenis senjata api.

Baca juga: Konflik Sudan, MUI Desak OKI dan PBB Ambil Tindakan

Penjarahan dan perampokan merebak. Bank, toko perhiasan, hingga apotek jadi sasaran penjarahan. Ada laporan salah satu pabrik tepung gandum di Khartum sudah terbakar selama beberapa hari terakhir. Tepung gandum merupakan bahan makanan pokok di Sudan.

Dalam kondisi itu, nasib hingga enam juta warga Khartum tidak jelas. Akibat ketiadaan pemerintahan faktual, enam juta warga Khartum dan total 45,5 juta warga Sudan telantar. Sebagian warga Khartum dan Omdurnan, kota di tetangga Khartum, mengungsi. Sebagian lagi tetap tinggal.

“Sejauh ini di tempat tinggal kami masih aman dari pertempuran. Tidak tahu kalau besok,” kata Mahasen Ali, salah seorang warga Khartum.

Warga Sudan merasa ditinggalkan berbagai negara lain. “Mengapa dunia mengabaikan kami,” kata warga lain di Khartum, Sumaya Yassin. Bagi mereka yang bertahan di Sudan, risikonya menjadi salah sasaran tembak atau pengeboman. Risiko lain adalah kelaparan karena cadangan pangan semakin menipis.

Warga Sudan tidak yakin pemerintah berbagai negara akan peduli pada nasib mereka. Sebab, pegawai pemerintah berbagai negara sudah meninggalkan Sudan. Jangankan kepada warga Sudan, pemerintah sebagian negara tidak mau mengurus warga mereka sendiri di Sudan.

Kecemasan dan kekecewaan itu terungkap kala pertempuran masih terus terjadi. Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan milisi RSF masih terus baku tembak di berbagai penjuru Khartum serta kota lain di Sudan. Panglima SAF Jenderal Abdul Fattah Burhan dan Panglima RSF Letnan Jenderal Hamdan Dagalo masih saling menyalahkan soal baku tembak yang tidak kunjung berhenti sejak Sabtu (15/4).

Juru Bicara Tim Transisi Demokrasi Sudan Khaled Omar Yusuf yang dikutip harian Al Rakoba mengatakan, hanya dengan kepastian gencatan senjata permanen Burhan dan Dagalo bisa berunding. Hasil perundingan itu nanti memungkinkan Sudan bertransisi menjadi negara demokrasi sipil.

Perwakilan Tetap Arab Saudi di Perserikatan Bangsa-bangsa juga setuju atas gencatan senjata permanen. Bersama Washington, Riyadh sebagian yang berusaha menengahi SAF-RSF.

Sejak pertempuran meletus, sudah beberapa kali SAF-RSF mengumumkan gencatan senjata. Gencatan terakhir diumumkan pada Selasa. Meski demikian, tetap saja suara baku tembak dan ledakan terdengar antara lain di Bahri, Omdurman, dan Khartum. SAF diduga memakai pesawat nirawak untuk menyerang lokasi pasukan RSF.

Sebagian lokasi saling serang SAF-RSF berada di permukiman dan fasilitas sipil. Sejumlah rumah sakit dan gudang pangan untuk warga tidak mampu hancur karena saling serang itu. Padahal, hingga 15 juta warga Sudan mengandalkan pangan gratis dari berbagai gudang sejenis.

PBB wajib menjamin terlaksananya pemberian bantuan sosial kepada warga yang membutuhkan.

Sejumlah organisasi amal menyebut, cadangan obat dan peralatan kesehatan semakin menipis. Sementara jumlah korban perang terus bertambah. Dari warga sipil saja, lebih dari 4.000 orang cedera dan lebih dari 400 orang tewas.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa kantor-kantor PBB di Khartum tetap buka. ”PBB wajib menjamin terlaksananya pemberian bantuan sosial kepada warga yang membutuhkan,” ujarnya.

Ia mendesak Dewan Keamanan PBB segera menggelar rapat terkait Sudan. Negara ini telah mengalami dua kali perang saudara dan yang terakhir berakhir pada 2005. Sejak itu, sebagian besar warganya sangat bergantung pada bantuan sosial dari PBB ataupun negara-negara donor. 

(alarabiya.net/antaranews.com/kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved