Opini
Opini Herlince W Amalo: Menyongsong Megatrend Dunia 2045 dan Tantangan Menghadapi Stunting di NTT
Megatrend Dunia 2045 selalu digaungkan baik dalam pemberitaan maupun dalam pertemuan formal para pemangku kebijakan.
POS-KUPANG.COM - Megatrend Dunia 2045 selalu digaungkan baik dalam pemberitaan maupun dalam pertemuan formal para pemangku kebijakan. Pada tahun 2045, Negara kita akan masuk pada usia 100 tahun Indonesia merdeka.
Pemerintah menggadang-gadang pada tahun 2045 Indonesia menjadi Megatrend Dunia, dimana adanya perubahan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah demografi dunia. Dalam perubahan demografi, Indonesia akan didominasi dengan usia produktif.
Salah satu pilar visi Indonesia saat usia emas adalah pembangunan manusia, artinya diharapkan generasi penerus bangsa pada periode tersebut adalah generasi dengan usia produktif yang berkarakter, cerdas dan dapat bersaing dengan negara maju lainnya.
Disela-sela semangat bergelora menyongsong Megatrend Dunia 2045, masih ada satu permasalahan kesehatan yang sangat berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia ke depan, yaitu stunting.
Stunting, sering didengar, dilihat dan berada disekitar kita namun menjadi hal lumrah di tengah masyarakat, khususnya di NTT. Padahal stunting mempengaruhi dampak jangka panjang bagi masa depan anak ke depan.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, tren stunting di Indonesia memang mengalami penurunan setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2019 sebesar 27,7 persen menjadi 24,4 persen di tahun 2021 dan mengalami penurunan di tahun 2022 menjadi 21,6 persen . Namun angka ini masih terbilang besar berdasarkan angka toleransi stunting menurut WHO yaitu di bawah 20 % .
Baca juga: Dinas Kesehatan NTT Catat 77.338 Balita Penderita Stunting
NTT menempati urutan pertama provinsi dengan kejadian stunting tertinggi di Indonesia pada tahun 2019, bahkan tetap memegang peringkat pertama hingga tahun 2022, dengan kejadian stunting sebesar 35,3 % .
Stunting sendiri merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam jangka panjang sehingga anak mempunyai postur lebih pendek dibanding usianya. Masalah stunting bukan hanya sekedar karena perawakannya yang pendek, namun asupan gizi yang kurang dapat berpengaruh juga pada perkembangan otak.
Anak yang stunting bisa disebabkan sejak janin. Intervensi saat masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK) sangatlah penting. 1.000 HPK (270 hari selama kehamilan dan 730 hari setelah kelahiran) dimulai sejak janin hingga anak berusia 2 tahun.
Lantas, mengapa 1000 HPK ini penting? 1000 HPK merupakan periode emas untuk seorang anak bertumbuh dan berkembang secara optimal. Apabila terjadi kekurangan gizi pada periode emas tersebut, maka akan berdampak pada perkembangan tulang dan otak. Sehingga bila dilakukan intervensi, maka harus dilakukan pada periode penting tersebut.
Beberapa cara yang dilakukan untuk mencegah stunting adalah dengan intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan upaya mencegah gangguan gizi secara langsung, yang dilakukan oleh sektor kesehatan sedangkan intervensi gizi sensitif merupakan upaya mencegah gangguan gizi secara tidak langsung yang dilakukan oleh sektor non kesehatan.
1000 HPK karena dimulai sejak janin, maka intervensi yang diberikan adalah pada ibu hamil. Intervensi spesifik pada ibu hamil, seperti makan satu porsi yang lebih banyak per hari, minum tablet tambah darah dan asam folat selama 90 hari yang bisa didapatkan dari Puskesmas atau Dokter Kandungan saat pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan kehamilan minimal 4x (1x pada trimester 1, 1x pada trimester 2 dan 2x pada trimester 3), imunisasi TT (Tetanus Toxoid), Pemberian Makanan Tambahan berupa biskuit pada ibu hamil yang mengalami gangguan gizi.
Baca juga: Beda Angka Stunting Pemprov NTT dan Pempus, Menkes Budi Ikut Data Provinsi
Intervensi saat bayi lahir seperti persalinan ditolong oleh bidan atau dokter, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada bayi saat lahir, pemberian ASI eksklusif (artinya anak hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan lain selama 6 bulan), mendapatkan imunisasi dasar, serta rutin memantau tumbuh kembang anak.
Intervensi yang dilakukan pada bayi berusia 6 bulan hingga 2 tahun adalah anak diberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI), kapsul vitamin A, melengkapi imunisasi dasar, serta memantau tumbuh kembang anak secara rutin.
Untuk sektor non Kesehatan, intervensi sensitif yang dapat dilakukan seperti, menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Keluarga Berencana, penanggulangan kemiskinan, pengadaan pangan serta penyediaan lapangan kerja.
Banyak orang tua yang tidak menyadari bahaya dari anak yang mengalami stunting. Namun, dampak jangka panjang yang ditimbulkan sangatlah besar. Anak yang mengalami stunting, akan mengalami gangguan perutumbuhan dan kognitif.
Anak memiliki tubuh lebih pendek dibanding anak usianya, sitem kekebalan tubuh yang lebih lemah akibatnya anak sering sekali sakit seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas, keterlambatan keterampilan motorik dan verbal contohnya terlambat berjalan atau berbicara, kesulitan membangun interaksi sosial, mudah terserang penyakit kronis (seperti hipertensi, diabetes atau penyakit jantung) dan dapat menimbulkan kematian serta gangguan kognitif. Gangguan kognitif menjadi akibat dari yang stunting yang paling dikhawatirkan.
Salah satu organ yang paling cepat mengalami kerusakan pada gangguan gizi ialah otak. Otak manusia mengalami perubahan struktural dan fungsional yang sangat pesat antara minggu ke-24 sampai minggu ke-42 setelah konsepsi dan berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, dengan periode tercepat pada usia 6 bulan pertama kehidupan.
Baca juga: Angka Stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan Mengalami Penurunan
Pada proses perkembangan anak dengan gizi yang tidak adekuat, dapat terjadi perubahan struktur dan fungsi otak. Fungsi otak yang terganggu tentu akan berpengaruh pada kognitif anak.
Perkembangan kognitif merupakan aspek yang fokus pada keterampilan berpikir, termasuk belajar, pemecahan masalah, rasional, dan mengingat yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa di sekolah.
Anak tidak akan fokus dalam belajar, prestasi di sekolah juga akan menurun. Anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tidak maksimal akibat stunting pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan di suatu negara.
Meskipun terdapat sedikit tindak lanjut penelitian sejak masa anak-anak hingga usia dewasa, bukti substansial menunjukkan adanya hubungan antara stunting dengan kemampuan kognitif pada anak-anak dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Filipina, Jamaika, Peru, dan Indonesia, bersama dengan data baru dari Brazil dan Afrika Selatan, menunjukkan bahwa anak stunting berusia 12-36 bulan diperkirakan mengalami gangguan kognitif. Begitu juga yang terjadi di NTT, orang tua dengan status ekonomi rendah, akan memiliki anak dengan gangguan gizi.
Menurunnya kapasitas belajar dan performa anak pada masa sekolah dapat mengakibatkan produktivitas dan kinerja saat anak dewasa juga menjadi tidak optimal. Hal ini merupakan dasar penanggulangan stunting harus menjadi prioritas untuk kemajuan sumber daya manusia Indonesia.
Bila dihitung, balita sekarang ini adalah generasi yang akan masuk usia produktif saat periode emas di tahun 2045. Namun, melihat angka kejadian stunting yang masih tinggi, khususnya di NTT tentu akan berpengaruh pada kognitif dan kualitas sumber daya manusia ke depan.
Akankah Indonesia di tahun 2045 memiliki generasi masa depan Bangsa dengan kualitas sumber daya yang rendah? Tentu bukan itu yang kita harapkan.
Angka stunting yang masih tinggi, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kita sebagai Warga Negara.
Mari bersama-sama menyongsong Megatrend Dunia 2045, dengan mempersiapkan anak-anak cerdas yang mampu bersaing dan diakui di mata dunia. (Penulis Dokter di Puskesmas Oebobo Kupang)
Sumber :
1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Visi Indonesia 2045. Kementerian PPN 2019 : 3-4
2. Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan. Buku Saku Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.Kementerian Kesehatan RI 2022 : 5-9
3. Rahayu A, Rahman F, Marlinae L, Husaini, Meitria, Yulidasari F, et al. Buku Ajar Gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan. CV Mine ; 2018:1-108
4. Grantham-McGregor S. Developmental potential in the first 5 years for child in developing countries. Lancet. 2007; 369:60-70
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.