Pilpres 2024
Prabowo, Ganjar dan Anies Baswedan Dominasi Hasil Survei: Yohan Wahyu: Ini Top Three Indonesia
Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan senantiasa mendominasi hasil survei kepemimpinan nasional di Indonesia.
POS-KUPANG.COM - Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan senantiasa mendominasi hasil survei kepemimpinan nasional di Indonesia.
Setiap survei yang dilakukan, tiga nama ini selalu bertengger pada posisi teratas. Bahkan bersaing ketat satu sama lain.
Hal itu pun terlihat dari hasil survei terbaru yang dilakulan oleh Litbang Kompas.
Dalam survei tersebut, Litbang Kompas membukukan lagi nama Prabowo Subianto ( Menteri Pertahanan RI ), Ganjar Pranowo ( GUbernur Jawa Tengah ) dan Anies Baswedan ( calon presiden dari Partai NasDem ) dengan elektabilitas tertinggi.
Elektabilitas ketiga sosok tersebut, terkait erat dengan agenda akbar pesta demokrasi di Tanah Air, yakni Pilpres 2024 mendatang.
Baca juga: Prabowo Subianto Makin Tak Terbendung, Anies Baswedan Kini Berhasil Lampaui Ganjar Pranowo
Fakta-fakta ini diungkapkan Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, dalam Talkshow Series Memilih Damai dengan tema 'Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa'.
Talkshow itu digelar di Auditorium Arifin Panigoro, Universitas Al-Azhar Indonesia, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 8 Desember 2022.

"Terkait dengan hasil survei kepemimpinan nasional, masih didominasi nama-nama yang selama ini beredar di lembaga survei lain," ungkap Yohan dalam pemaparannya.
Yohan menyebutkan nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan merupakan tiga nama yang menguasai 60 persen lebih total suara responden, berdasarkan survei Litbang Kompas.
Survei lembaga penelitian lain juga menempatkan Anies, Ganjar, dan Prabowo sebagai top three.
Artinya di bawah tiga nama tersebut, memang banyak nama-nama yang bermunculan, tapi selisihnya cukup jauh.
"Apabila melihat dengan saksama, ada satu historis yang mempelajari mengupas dari mana sih rekrutmen jalur kepemimpinan Indonesia," ucap Yohan.
Pemilihan ketiganya juga bukan atas pertimbangan identitas kedaerahan atau SARA, tetapi karena kemampuan yang bersangkutan.
Baca juga: Emil Dardak Puji Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah Itu Disebut Bawa Gaya Politik Baru
Lebih lanjut Yohan menjelaskan, kalau ditelusuri saat dimulai periode kematangannya tahun 1940 sampai 1960.
Di sana muncul Bung Karno dan Bung Hatta. Menurut Yohan, mereka adalah generasi-generasi yang dibangun dari rekrutmen berdasarkan pendidikan.
"Jadi kalau dulu elit politik itu tidak sekadar bangsawan dan keturunan, tapi aspek pendidikan itu menjadi elit baru," jelas Yohan.
Jadi memang kata Yohan, hadirnya Soekarno Hatta yang membuat kemudian banyak tokoh-tokoh bermunculan berbasis intelektual akademis.
Kemudian di atas tahun 1960, periode kematangannya ketika perjuangannya sudah memasuki perjuangan fisik.
Yohan menjelaskan bahwa militer menjadi rekrutmen kepemimpinan Indonesia.
"Di era orde baru mungkin belum mengalami. Saya yang generasi X mengalami di era orde baru, kepemimpinan itu memang bersumber dari militer," kata Yohan.

Lantas, ia menceritakan dengan sosok Soeharto, hampir sekali kepala daerah jarang yang tidak dari militer.
"Bahkan saudara saya yang Akabri dulu, cita-cita masuk Akabri itu ya ingin jadi kepala daerah, sampai sejauh itu," ujar Yohan.
Kemudian saat periode baru berakhir, muncul periode aktivis (1970 hingga 1990).
Yohan menjelaskan bahwa periode tersebut orang-orang atau para pemimpin dibangun dari berbagai macam gerakan mahasiswa.
Baca juga: Prabowo Subianto Belum Tentukan Figur Cawapres, Kini Beredar Nama Khofifah Indar Parawansa
"Itu kemudian generasi mudanya muncul Ganjar Pranowo, kalau sekarang Muhaimin Iskandar, tokoh-tokoh ketua umum PMII termasuk Anas Urbaningrum," tandas Yohan.
Yohan menyadari memang ada elit baru yang sebenarnya dibangun dari para aktivis tersebut.
Saat ini kata Yohan, periode tahun pasca 2020-an, munculnya Joko Widodo, Erick Thohir, dan Sandiaga Uno, menandakan bahwa jalur rekrutmen kepemimpinan Indonesia berbasis bisnis.
Hal itulah yang sebenarnya menjadi trend ke depan, bagaimana jalur-jalur rekrutmen tersebut akan tetap bertahan.
"Jadi sebenarnya kita punya histori yang cukup kuat bahwa identitas, kesukuan, etnis, bahkan agama itu tidak menjadi isu utama," tegas Yohan.
Sebagai informasi, talkshow tersebut digelar atas kerja sama antara Tribun Network dengan Universitas Al-Azhar Indonesia.

Beberapa narasumber yang hadir menjadi pembicara antara lain: Ahli Antropologi dan Politikus, Meutia Farida Hatta Swasono; Dekan FISIP Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto; Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Heri Herdiawanto; Founder Lingkar Madani, Ray Rangkuti; dan Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu.
Berdasarkan pantauan Wartakotalive.com, sekira ratusan mahasiswa hadir dalam talkshow tersebut.
Antusiasme terlihat dari keaktifan mereka saat bertanya terkait topik talkshow yang sedang didiskusikan.
Baca juga: Prabowo Subianto Paling Populer Versi Voxpol CRC, Ganjar Malah Tak Masuk Daftar Nominasi
Pesan Putri Bung Hatta
Meutia Hatta, putri proklamator Mohammad hatta (Bung Hatta), terus memikirkan masa depan bangsa.
Meutia tak mau generasi penerus terlena pada kemajuan zaman.
Karena itu, kepada tokoh politik yang kini namanya digadang-gadang menjadi capres untuk selalu mawas diri.
Hal itu diungkapkan Meutia saat acara Talkshow Memilih Damai dengan tema "Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa digelar di Universitas Al-Azhar, Jakarta Pusat, Kamis 8 Desember 2022.
Meutia mengatakan, jika tokoh politik ingin menjadi pejabat, harus mengetahui soal Undang - Undang 1945 dan Pancasila.
"Kami melihat Pancasila itu adalah nilai budaya, kebudayaan nasional, dan kebudayaan nasional itu, adalah kebudayaan yang digunakan orang Indonesia, warga negara untuk berinteraksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Meutia.
Selain itu, Meutia juga menyebutkan tentang warisan yang diberikan kepada anak-anaknya.
"Warisannya adalah orang Indonesia harus menjadi tuan di negeri sendiri,"ujarnya.
Menurut Meutia, warisan Bung Hatta lainnya adalah memikirkan dan menghormati orang kecil.
Karena, tanpa orang kecil sebuah bangsa atau perusahaan tidak akan berarti.
"Salah satu contoh yang diberikan Bung Hatta adalah jangan menawar saat membeli buah di tukang buah. Sebab, hal itu tidaklah manusiawi," ujarnya.
Baca juga: Anies Baswedan Sampaikan Pesan Perdamaian dari Tanah Papua: Damai Itu Wujud dari Rasa Adil
Menurut Meutia, orang Indonesia harus menjadi tuan di negeri sendiri.
Karena itu, dalam berperilaku harus mengacu pada Pancasila, nilai budaya yang digunakan orang Indonesia dalam berinteraksi.
Sebab itu, Pancasila harus ada di dalam jiwa sebagai akhlak.
"Mau jadi tokoh politik atau pejabat harus tahu UUD 45 dan Pancasila. Setiap individu mempunyai kemampuan diri sendiri. Orang hukum dapat belajar ekonomi dan tata negara, sehingga tahu apa yang harus dilakukan bila mengelola negara," kata Meutia.
Memikirkan Orang Kecil dan Sayang Hewan
Meutia juga menyampaikan warisan Bung Hatta lainnya adalah memikirkan dan menghormati orang kecil.
Sebab, tanpa orang kecil sebuah bangsa atau perusahaan tak akan berarti.
Salah satu contoh yang diberikan Bung Hatta adalah jangan menawar saat membeli buah di tukang buah. Sebab, hal itu tidaklah manusiawi.
Alasannya para petani harus bersusah payah menanam dari bumi sendiri dan membuat buah itu enak di makan.
"Saat kecil kami diajari bahwa kami harus menghormati orang kecil. tanpa mereka kita tidak bisa. Jadi yang diajarkan itu adalah memikirkan orang kecil dan sayang kepada hewan," ujar Meutia Hatta.
Baca juga: Andika Perkasa Bakal Jadi Pendamping Anies Baswedan, Adi Prayitno Ungkap Keraguan: Belum Tentu
Dijodohkan Bung Karno
Meutia juga menyebutkan bahwa saat Mohammad Hatta berusia 8 bulan telah yatim.
Sebab itu, sang ibu harus menikah lagi lantaran mempunyai dua anak-anak yang masih kecil.
Ayahnya yang telah meninggal berdarah Minang, sedangkan ayah tirinya berdarah Palembang.
Kemudian orangtua Bung Hatta merupakan pengusaha ekspedisi di zaman Belanda.
Namun, kendaraan yang digunakan adalah kuda. Sebab, saat itu belum ada motor dan mobil. Lalu, karyawannya dari berbagai suku bangsa.
Bung Hatta belajar berdagang. Lalu, memperdalam ilmu berdagang dengan sekolah di Batavia dan Rotterdam, Belanda.
Di Batavia dan di Belanda sang proklamator bergabung dengan berbagai suku bangsa.
Saat di Belanda Bung Hatta mendorong Arnold Monomutu dari Manado untuk memilih Indonesia dan memperjuangkan Indonesia untuk merdeka.
Sebab, bila Indonesia merdeka, maka Banga Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri dan dapat menjadi pemimpin di negeri sendiri.
"Lantaran Arnold memilih Indonesia, maka Bung Hatta dan teman-temannya urunan membantu kehidupan keluarga Arnold. Sebab, Belanda mengambil kekayaan keluarganya lantaran tak mendukung Belanda," tuturnya.
Selain hal itu, lanjut Meutia, istri Bung Hatta, Rachmi Hatta adalah berdarah Aceh dan Purworejo.
Baca juga: Prabowo Subianto Diramalkan Menang Pilpres 2024, Dukungan Presiden Jokowi Jadi Penentu
Oleh sebab itu, Bung Hatta sudah terbiasa dengan kemajemukan suku bangsa atau Bhineka Tunggal Ika.
"Ayah saya Bung Hatta bersumpah tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Soekarno kemudian menjodohkan Bung Hatta sebelum memproklamatorkan kemerdekaan. Masa Wakil Presiden tak mempunyai istri," ungkap mantan Menteri PPPA era Presiden SBY.
"Bung Karno lalu menjodohkan Bung Hatta yang kala itu berusia 30 tahun dengan Rachmi yang saat itu berusia 19 tahun. Kenapa muda, karena istri Bung Karno, Fatmawati masih muda dan cantik," kata Meutia Hatta. (*)
Ikuti Pos-Kupang.Com di GOOGLE NEWS