Opini
Opini : Kekuatan Kata-Kata, Berkat atau Kutuk
Jean Paul Sartre, filsuf berkebangsaan Perancis mengatakan, setiap kata mempunyai konsekuensi, begitu juga keheningan.
Banyak tindakan menyimpang juga disebabkan oleh isi komunikasi dan dialog yang rendah kadar edukasinya. Melalui bahasa komunikasi antarpribadi yang bersifat melecehkan yang mengarah ke pornografi dapat memicu tindakan-tindakan menyimpang. Dengan kata lain, kata-kata negatif menjadi pintu masuk bagi sebuah tindakan yang mengikutinya. Tentu, kata-kata bernada sarkastis, pornografi dan berwajah kebohongan akan memicu kekerasan pula.
Jika demikian, apa yang mesti kita lakukan? Kata-kata yang mengandung ujaran kebencian, pelecehan, kekerasan berupa ancaman seolah menjadi bahasa komunikasi harian masyarakat. Bahkan para tokoh yang patut diteladani pun terjebak dalam koridor komunikasi ini. Masyarakat tidak lagi membedakan mana suasana formal, semi formal dan non formal.
Pertanyaannya, apakah hal tersebut mengindikasikan lemahnya pemikiran masyarakat kita seperti dikatakan Victor Hugo di atas? Apakah ini memperlihatkan indeks prestasi manusia kita masih rendah atau SDM kita yang masih harus ditingkatkan? Kita mendambakan komunitas yang warganya berproses dengan kesadaran kritis agar tidak terjebak dalam kekuatan bahasa komunikasi yang tidak mendidik dan merendahkan.
Kadang kita menjadi gamang dan eksklusif terhadap lingkungan di sekitar kita karena pola dan budaya komunikasi yang dipenuhi ujaran yang bernada kebencian. Kita tentu dituntut dan didesak untuk mengembalikan anomali ini. Kita mesti komit menyelamatkan masyarakat kita, khususnya anak-anak muda dan remaja kita yang sudah tersandera bahasa komunikasi tak beretika.
Bahasa komunikasi yang mengandung kekerasan verbal mesti diminimalisir. Kita mesti mulai mengatasi dengan melakukan budaya tanding. Berani mengingkari kebiasaan buruk yang telah membudaya dengan membiasakan hal-hal positif dari rumah. Orang tua mesti menjadi motor yang mengontrol dan mengarahkan anak-anak, remaja juga generasi muda di lingkungan masing-masing.
Misalnya, ketika seorang anak usia 4-5 tahun mengeluarkan kata-kata kotor/makian, kita panggil dan mengingatkannya bahwa itu kata-kata negatif dan kotor. Kita boleh menanyakan dari mana sumber ia mendengar atau memperoleh kata-kata tersebut. Selekas mungkin kita mengontrol anak agar memilih tempat bermain yang cocok.
Hal ini dapat kita lakukan untuk membekali anak-anak, remaja dan kaum muda menemukan teman yang tepat dan bukan sebaliknya teman dan lingkungan bermain yang bisa menjerumuskan mereka dalam bahasa komunikasi verbal yang bernada melecehkan, cacian, pornografi bahkan diskriminatif.
Menyitir pendapat (alm) Mgr. Leo Soekoto, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Jakarta, jika bibit ikan yang tidak baik dimasukan di dalam kolam yang baik dengan air kolam yang jernih, maka ikan-ikan itu akan hidup dan berkembang biak dengan baik pula. Sebaliknya, jika bibit ikan yang baik dimasukan dalam kolam yang berair keruh, maka ikan-ikan tersebut tidak akan berkembang biak dengan baik bahkan tidak bertahan hidup dan mati.
Sebelum kita terlambat, kita semua dipanggil agar bahu membahu menyiapkan komunitas-komunitas, keluarga-keluarga bahkan bangsa kita sebagai wahana, media dan sarana yang sehat agar anak-anak dan generasi muda kita juga berkembang seutuhnya seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kata-kata mengandung kekuatan yang positif tetapi juga negatif yang merusak.
Mari berbenah. Mulai dari diri sendiri dan keluarga. Tugas kita, menjaga dan merawat bahasa yang kita gunakan dengan mengelola komunikasi yang kita jalin agar tidak menimbulkan kekerasan bahasa, yang dapat memicu konflik horizontal antarwarga dan vertikal antar warga dengan para pemimpin bangsa ini.
Sedini mungkin kita sadari kata-kata yang hendak kita sampaikan ke publik, agar benar-benar bernada positif dan menyejukkan. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS