Opini

Opini : Kekuatan Kata-Kata, Berkat atau Kutuk

Jean Paul Sartre, filsuf berkebangsaan Perancis mengatakan, setiap kata mempunyai konsekuensi, begitu juga keheningan.

Editor: maria anitoda
POS-KUPANG.COM
Albertus Muda, S.Ag, guru honorer di SMA Negeri 2 Lewoleba, Kabupaten Lembata, NTT. Albertus Muda juga sebagai Koordinator Festival Literasi Daerah Lembata-Nusa Tenggara Timur 

Oleh : Albertus Muda
Guru Honorer SMA Negeri 2 Nubatukan-Kabupaten Lembata

Jean Paul Sartre (1905-1980) penulis, filsuf dan peraih nobel sastra (1964) berkebangsaan Perancis mengatakan, setiap kata mempunyai konsekuensi, begitu juga keheningan.

Konsekuensinya, daya kata-kata bisa berdampak positif, bisa juga negatif atau merusak. Tergantung kapan kata-kata tersebut diucapkan, kepada siapa dan dalam kondisi batin yang bagaimana kata-kata itu diucapkan.

J.P. Sartre tidak sendirian. Victor Hugo (1802-1885) rekan senegaranya pun mengatakan, kata-kata yang kasar membuktikan lemahnya pemikiran. Pernyataan ini mau menegaskan bahwa dalam kondisi pikiran dan hati dirasuki kemarahan, kita begitu lemah sehingga seluruh ruang pemikiran rasional kita menjadi sangat labil dan tak terkontrol. Olehnya, kita mesti berefleksi, kontrol diri, menyadari dan memahami benar-benar apakah kata-kata yang kita ucapkan megandung kekerasan atau nuansanya kasar.

Sementara itu, Albert Camus (1913-1960) penulis, esais dan peraih nobel sastra (1956) yang juga berkebangsaan Perancis mengatakan, kata-kata yang keluar dari hati selalu sederhana. Dengannya, kata-kata yang keluar dari hati yang tulus pasti disampaikan dengan penuh kehati-hatian, dikatakan dengan kesahajaan dan tidak berlebihan. Olehnya, ketika hendak mengatakan sesuatau atau mengutarakan sebagai pendapat kita, semestinya direnungkan sebelum disampaikan.

Dalam tataran komunikasi, kita butuh kata-kata dan keheningan. Dua unsur esensial ini dibutuhkan agar tidak terjadi keterputusan dalam dialog. Jika kata dan keheningan memiliki konsekuensi, seperti diutarakan Sartre, maka keduanya mesti ditautkan dan saling mengisi. Ketika kata dan keheningan terpisah satu sama lainnya, komunikasi pun terputus, entah karena keterpisahan itu melahirkan kebingungan atau sebaliknya, menciptakan suasana kaku dan dingin (https://www.katolisitas.org/Selasa, 6 September 2022).

Ketika seseorang sedang dikuasai amarah, setiap perkataaan yang diucapkan tidak lagi terpikirkan soal kelogisannya, melainkan terlontar dengan tanpa terkendali. Dampak atau pengaruh dari setiap perkataan yang diucapkan, tidak lagi dipikirkan. Padahal, jika disadari kata-kata yang disampaikan tidak berada di ruang hampa, melainkan berhadapan dengan subyek dalam hal ini lawan bicara.

Kata-kata bernada murka, kutukan dan ancaman atau intimidasi tidak lagi dibedakan oleh nalar atau akal sehat. Tindakan dan kata-kata kita dikendalikan sepenuhnya oleh amarah, kegeraman. Padahal dengan sedikit kesabaran saja, kita bisa menguasai diri dan keadaan. Lebih dari itu, kembali kita mengontrol setiap kata yang kita ucapkan dan tindakan yang hendak kita wujudkan.

Berkat atau Kutuk

Setiap perkataaan yang terucapkan dalam relasi antarpersonal tentu mengandung konsekuensi. Kata-kata di satu sisi bisa menjadi berkat yang meneguhkan relasi. Namun, di sisi yang lain bisa menjadi kutuk karena dapat memicu putusnya relasi. Kata-kata bisa menjadi spirit, support dan motivasi yang mampu membangkitkan, tetapi juga mengandung kekuatan yang melemahkan, mengutuk bahkan menjatuhkan.

Kata-kata support dan penyemangat akan menjadi berkat bagi para pihak yang berkomunikasi. Sebaliknya kata-kata yang bernuansa atau mengandung konten negatif akan merusak dan membawa dampak negatif bagi diri sendiri dan sesama. Setiap kata yang terucapkan dapat berbuah kutukan, tulah, karma dan hukuman dalam hidup pribadi maupun bersama.

Dalam kondisi tak terkontrol, kerap para komunikan lupa bahwa setiap kata dan kalimat yang terucap atau terkatakan mengandung daya yang menggerakan ke arah positif juga bisa ke arah yang negatif. Misalnya, dalam keseharian hidup masyarakat kita, komunikasi harian yang terbangun di kalangan sebagaian besar remaja dan orangtua bahkan pejabat publik hampir pasti bernuansa negatif melalui aksi saling menyerang.

Komunikasi yang terbangun di kalangan masyarakat saat ini, lebih dominan mengandung konten pembicaraan yang bernada melecehkan, penuh cacian dan saling serang yang tanpa disadari menguasai ruang komunikasi publik, baik melalui media sosial maupun melalui percakapan secara langsung. Suasana ini seolah membius sehingga setiap bahasa yang diucapkan terkesan melemahkan bukan meneguhkan atau menguatkan.

Disadari atau tidak komunikasi yang bernuansa negatif seolah membudaya sehingga tidak dielak bahkan ditolak sebagai hal yang bisa mengarah pada dekadensi moral karena mengandung ujaran kekerasan bahkan berbau pornografi yang dapat memicu tindakan menyimpang di kalangan masyarakat.

Jika dalam komunikasi, mayoritas masyarakat menggunakan pesan verbal yang negatif, maka nuansa kebersamaan pun menampakkan aura negatif. Orang tidak lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya dipandang relatif yang berarti sama saja. Pada titik ini, masyarakat kita sedang dirasuki paham relativisme dan indiferentisme.

Banyak tindakan menyimpang juga disebabkan oleh isi komunikasi dan dialog yang rendah kadar edukasinya. Melalui bahasa komunikasi antarpribadi yang bersifat melecehkan yang mengarah ke pornografi dapat memicu tindakan-tindakan menyimpang. Dengan kata lain, kata-kata negatif menjadi pintu masuk bagi sebuah tindakan yang mengikutinya. Tentu, kata-kata bernada sarkastis, pornografi dan berwajah kebohongan akan memicu kekerasan pula.

Jika demikian, apa yang mesti kita lakukan? Kata-kata yang mengandung ujaran kebencian, pelecehan, kekerasan berupa ancaman seolah menjadi bahasa komunikasi harian masyarakat. Bahkan para tokoh yang patut diteladani pun terjebak dalam koridor komunikasi ini. Masyarakat tidak lagi membedakan mana suasana formal, semi formal dan non formal.

Pertanyaannya, apakah hal tersebut mengindikasikan lemahnya pemikiran masyarakat kita seperti dikatakan Victor Hugo di atas? Apakah ini memperlihatkan indeks prestasi manusia kita masih rendah atau SDM kita yang masih harus ditingkatkan? Kita mendambakan komunitas yang warganya berproses dengan kesadaran kritis agar tidak terjebak dalam kekuatan bahasa komunikasi yang tidak mendidik dan merendahkan.

Kadang kita menjadi gamang dan eksklusif terhadap lingkungan di sekitar kita karena pola dan budaya komunikasi yang dipenuhi ujaran yang bernada kebencian. Kita tentu dituntut dan didesak untuk mengembalikan anomali ini. Kita mesti komit menyelamatkan masyarakat kita, khususnya anak-anak muda dan remaja kita yang sudah tersandera bahasa komunikasi tak beretika.

Bahasa komunikasi yang mengandung kekerasan verbal mesti diminimalisir. Kita mesti mulai mengatasi dengan melakukan budaya tanding. Berani mengingkari kebiasaan buruk yang telah membudaya dengan membiasakan hal-hal positif dari rumah. Orang tua mesti menjadi motor yang mengontrol dan mengarahkan anak-anak, remaja juga generasi muda di lingkungan masing-masing.

Misalnya, ketika seorang anak usia 4-5 tahun mengeluarkan kata-kata kotor/makian, kita panggil dan mengingatkannya bahwa itu kata-kata negatif dan kotor. Kita boleh menanyakan dari mana sumber ia mendengar atau memperoleh kata-kata tersebut. Selekas mungkin kita mengontrol anak agar memilih tempat bermain yang cocok.

Hal ini dapat kita lakukan untuk membekali anak-anak, remaja dan kaum muda menemukan teman yang tepat dan bukan sebaliknya teman dan lingkungan bermain yang bisa menjerumuskan mereka dalam bahasa komunikasi verbal yang bernada melecehkan, cacian, pornografi bahkan diskriminatif.

Menyitir pendapat (alm) Mgr. Leo Soekoto, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Jakarta, jika bibit ikan yang tidak baik dimasukan di dalam kolam yang baik dengan air kolam yang jernih, maka ikan-ikan itu akan hidup dan berkembang biak dengan baik pula. Sebaliknya, jika bibit ikan yang baik dimasukan dalam kolam yang berair keruh, maka ikan-ikan tersebut tidak akan berkembang biak dengan baik bahkan tidak bertahan hidup dan mati.

Sebelum kita terlambat, kita semua dipanggil agar bahu membahu menyiapkan komunitas-komunitas, keluarga-keluarga bahkan bangsa kita sebagai wahana, media dan sarana yang sehat agar anak-anak dan generasi muda kita juga berkembang seutuhnya seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kata-kata mengandung kekuatan yang positif tetapi juga negatif yang merusak.

Mari berbenah. Mulai dari diri sendiri dan keluarga. Tugas kita, menjaga dan merawat bahasa yang kita gunakan dengan mengelola komunikasi yang kita jalin agar tidak menimbulkan kekerasan bahasa, yang dapat memicu konflik horizontal antarwarga dan vertikal antar warga dengan para pemimpin bangsa ini.

Sedini mungkin kita sadari kata-kata yang hendak kita sampaikan ke publik, agar benar-benar bernada positif dan menyejukkan. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved