Opini
Implementasi Program Merdeka Belajar
Program Merdeka Belajar yang digagas Mendikbudristek secara potensial memiliki kekuatan dahsyat untuk membuat mutu pendidikan Indonesia terbaik.
Opini - Implementasi Program Merdeka Belajar
Oleh Tans Feliks
Guru Besar Universitas Nusa Cendana
POS-KUPANG.COM - Program Merdeka Belajar ( PMB), yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi ( Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, secara potensial memiliki kekuatan dahsyat untuk membuat mutu pendidikan Indonesia terbaik di dunia. Sebab belajar (learning) dan pembelajaran (teaching) yang sesuai dengan bakat, minat dan aspirasi ( BMA) – tiga kata kunci PMB – dari setiap murid, di setiap sekolah, di seluruh Indonesia, memungkinkan setiap murid itu bertumbuh kembang secara maksimal.
Secara praktis, PMB sudah diterapkan dalam beberapa hal secara benar seperti penghapusan Ujian Nasional (UN) dan pelaksanaan belajar dan pembelajaran yang tidak hanya terjadi di kelas, tetapi juga di luar kelas/kampus. Namun, secara substansial, saya takut, PMB belum diimplementasikan secara komprehensif.
Akibatnya, lembaga pendidikan kita bermasalah. Yang kita hasilkan adalah, antara lain, penganggur sebanyak 9,1 juta orang (per Agustus, 2021) setelah sekolah selama sekitar 16 tahun, dari SD hingga jadi sarjana.
Yang bekerja pun tidak mampu maksimal. Korupsi, intoleransi, perusakan lingkungan, penghalalan kekerasan, dan kemalasan yang masih masif serta berbagai karakter kacau lainnya adalah contoh tak maksimalnya hasil pendidikan Indonesia – Totum pro parte.
Pada level dunia, hasil ujian literasi dan berhitung kita sering berada di urutan akhir.
Untuk mengatasi masalah tersebut, PMB, saya usul, segera diimplementasikan secara total.
Peluang Implementasi Total PMB
Ada beberapa peluang implementasi total PMB di negeri ini.
Pertama, kurikulum disusun oleh guru dan kepala sekolah sesuai dengan BMA murid mereka. Karena BMA murid, secara umum, bisa diketahui oleh guru dan kepala sekolah melalui dialog, setiap sekolah, menurut Paulo Freire, perlu menerapkan pendidikan dialogis (dialogical education) sebagai “aksi kultural untuk kemerdekaan” atau “praktik kemerdekaan” pendidikan (Cultural Action for Freedom. 1970. London: Penguin Books; dan, Education: The Practice of Freedom. 1976. London: Writers and Readers Publishing Cooperative).
Tujuannya supaya kurikulum yang tersusun itu pas dengan BMA para murid dan, karena itu, mereka tergerak untuk selalu belajar secara total.
Dengan kata lain, kesesuaian kurikukum dengan BMA murid seperti itu merupakan roh PMB yang, pada gilirannya, mampu menggerakkan setiap murid untuk terus belajar secara sungguh-sungguh.
Selama ini pembelajaran di setiap sekolah di Indonesia tidak menghargai BMA para murid sehingga mereka tidak merdeka sama sekali dalam belajar.
Baca juga: Unimor dan Undana Siap Implementasikan Kebijakan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka