Laut China Selatan

Bagaimana Langkah Indonesia dan China dalam Sengketa Natuna - Laut China Selatan?

Ketegangan dengan China membuat Indonesia meningkatkan pertahanan di sekitar Kepulauan Natuna. Tapi nusantara ingin dikenal karena pariwisata

Editor: Agustinus Sape
Flickr/Stratman
Pemandangan Pulau Natuna Indonesia di Laut China Selatan. 

Presiden Joko Widodo berharap Tiongkok terus mendukung pembangunan Indonesia, termasuk pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Ditanya tentang dampaknya jika China memotong investasinya di Indonesia, Achmad Sukarsono, direktur asosiasi dan analis utama untuk Indonesia di konsultan risiko Control Risks, mengatakan Indonesia dapat terus mengembangkan infrastrukturnya tanpa Belt and Road Initiative (BRI) China.

Tapi akan ada “pemotongan signifikan” di luar Jawa. “Tanpa BRI, Indonesia akan kembali ke pola lama Jawa-sentris yang berfokus pada pulau utama,” tambahnya.

Di luar sektor minyak dan pertambangan, investor Barat dan Jepang juga “enggan berinvestasi di luar Jawa” karena biaya logistik dan perizinan yang lebih tinggi serta masalah lainnya. “Indonesia pasti bisa membangun tanpa China, tapi haruskah mereka?” dia bertanya.

Proyek yang didanai China termasuk kereta api berkecepatan tinggi yang menghubungkan Jakarta dan Bandung di Jawa Barat diharapkan selesai tahun depan.

Ini adalah “proyek yang sangat penting”, yang “dipantau secara intensif oleh presiden kedua negara”, kata Allan Tandiono, direktur manajemen proyek dan pengembangan bisnis di PT Kereta Cepat Indonesia China, perusahaan patungan antara perusahaan kereta api Indonesia dan China.

“Ini penting untuk membuktikan kepada dunia bahwa China dan Indonesia dapat berkolaborasi dengan baik untuk membangun infrastruktur — fasilitas umum yang dapat membawa manfaat ekonomi bagi Indonesia, China, dan masyarakat.”

PEMBANGUNAN BERSAMA DI NATUNA JUGA?

Diplomasi dan kerjasama juga merupakan jalan ke depan untuk menyelesaikan sengketa Natuna, mengutip para analis. “Opsi yang dilihat kedua negara sekarang adalah bagaimana mengelola pergerakan di atas perairan melalui semacam kerjasama,” kata Achmad.

“Ini dapat diperluas ke pengembangan bersama sumber daya gas laut dalam tanpa mempermasalahkan garis perbatasan. Indonesia masih jauh dari aktif mengembangkan deposit gas Natuna, dan Indonesia masih membutuhkan teknologi yang lebih baik untuk mendeteksi induk hidrokarbon tersebut.”

Victor Gao, wakil presiden Center for China and Globalization yang berbasis di Beijing, setuju bahwa “dalam segala jenis sengketa teritorial, diplomasi adalah pilihan terbaik”. "Perang adalah pilihan terakhir," katanya.

Perang mudah untuk diluncurkan tetapi sangat sulit untuk diakhiri. Dan saya pikir kita perlu mempertimbangkan situasi tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi untuk ratusan generasi yang akan datang.”

Sementara itu, minat yang lebih besar dari pihak berwenang Indonesia dalam mengembangkan Natuna telah meningkatkan kehidupan lebih dari 80.000 penduduk pulau, kata mahasiswa pascasarjana Destriyadi Nuryadin, 25 tahun. “Saya dapat melihat perubahannya dibandingkan ketika saya masih kecil,” katanya.

“Ada lebih banyak tempat untuk makan di luar, yang mungkin merupakan cerminan dari ekonomi yang lebih baik. Ada lebih banyak fasilitas umum termasuk (di) pantai Piwang, yang membuat orang lebih nyaman berada di sini.”

Selain instalasi pertahanan, pulau-pulau tersebut sedang dikembangkan untuk perikanan, minyak dan gas serta pariwisata, kata Bupati Natuna, Wan Siswandi.

Pada tahun 2018, pulau-pulau tersebut ditambahkan ke dalam daftar taman nasional geopark Indonesia, yang merupakan bentang alam yang dilindungi dengan signifikansi geologis. “Natuna sudah dikenal secara internasional. Tapi kami tidak ingin orang-orang mengenal Natuna sebagai daerah pertahanan,” ujarnya.

“Kami ingin orang mengenal Natuna karena pariwisata.”

Sumber: channelnewsasia.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved