Opini
Politik Teko
Di salah satu daerah di NTT saya mendengar kisah perekrutan tenaga kontrak/honorer yang begitu politis
POLITIK TEKO
Oleh : Isidorus Lilijawa*
Tanggal 31 Maret 2022 lalu, publik membaca berita dari Kabupaten Malaka – NTT. Warga memblokir jalan menuju ke kantor bupati dan Rumah Sakit Umum Penyangga Perbatasan di Betun – Malaka. Mengapa itu terjadi? Tuan tanah protes karena anak-anak mereka tidak diakomodir sebagai teko (tenaga kontrak) daerah. Menurut tuan tanah, pemerintah sebelumnya sudah menjanjikan bahwa anak-anak mereka akan diangkat sebagai teko, ketika mereka menyerahkan tanah itu untuk pemerintah.
Pertanyaannya, apakah anak-anak tuan tanah itu harus mengikuti seleksi atau langsung diangkat begitu saja? Jika anak tuan tanah tidak memenuhi syarat, apakah tetap diangkat sebagai Teko? Apakah perjanjian menjadikan anak tuan tanah sebagai Teko adalah hal biasa dalam tata kelola birokrasi?
Aksi terkait teko pun terjadi di Kabupaten Belu. Tanggal 11 April 2022 lalu, Forum Masyarakat Perbatasan Korban Ketidakadilan (FMPKK) melakukan aksi demonstrasi di kantor DPRD Belu. Mereka menilai perekrutan Tekoda di Belu sarat KKN. Menurut FMPKK, perekrutan tenaga kontrak daerah yang dilakukan Pemkab Belu tahun 2022 sarat KKN karena mengorbankan PTT yang telah mengabdi di atas 5 tahun dan perekrutan 2022 nama mereka tidak ada.
Dalam aksi itu, masa aksi membawa spanduk-spanduk bertuliskan (Pemda jangan bodohi kami, masyarakat perbatasan berduka, stop baku tipu, Pemda membunuh keluarga kami, Stop janji-janji yang tidak bisa direalisasikan, Stop KKN Tekoda 2022 dan matinya keadilan dan kesejahteraan.Mereka mempertanyakan perubahan macam apa yang telah pemerintah kabupaten Belu lakukan dalam perekrutan tenaga kontrak kerja daerah.
Senada dengan 2 kabupaten tetangga, tanggal 8 April 2022, elemen mahasiswa dan masyarakat di Kabupaten TTU juga menggelar aksi menggugat perekrutan teko yang tidak transparan dan profesional. Para guru dan tenaga kesehatan yang sudah mengabdi hingga belasan tahun malah tidak lulus dalam proses itu. Padahal pemerintah selalu katakan mereka ini jadi prioritas. Di sisi lain, orang-orang baru malah diprioritaskan. Belum lagi ada dugaan menggunakan ijazah palsu dan model penilaian yang tidak punya standar jelas.
Komoditas Politik
Kasus yang terjadi di Malaka, Belu dan TTU ini menyibak praktik politik teko. Sudah cukup lama, teko menjadi komoditas politik. Seseorang yang menjadi calon kepala daerah (bupati, walikota, gubernur) kadang menjanjikan banyak orang menjadi teko apabila mereka terpilih. Persyaratannya, harus mendukung mereka dalam Pilkada. Namun seringkali, setelah terpilih mereka lupa pada janji ini. Karena yang diangkat sebagai teko malah orang-orang dalam lingkaran mereka saja: keluarganya saja, jaringan tim sukses. Sedangkan rakyat kebanyakan, biasanya gigit jari. Lihat saja di daerah-daerah kita saat ini. Mayoritas teko adalah keluarga penguasa dan jaringan tim sukses. Maka di ruang-ruang birokrasi, di kantor-kantor terlihat banyak wajah baru. Yang kadang masih kikuk dengan pakaian keki. Maklum tidak disiapkan untuk kerja kantoran. Kehadiran mereka adalah efek durian runtuh. ‘Takuju su jadi teko’. Demikian dalam Bahasa Kupang Melayu.
Di salah satu daerah di NTT saya mendengar kisah perekrutan tenaga kontrak/honorer yang begitu politis dan komersial. Sang kepala daerah bahkan kepala dinas memasukan keluarganya, anak-anaknya sebagai teko. Kerjanya tidak jelas, namun gajinya jelas setiap bulan. Itu jelas dari APBD. Tidak mau kalah, para wakil rakyatnya juga berlomba-loba merekrut tenaga kontrak. Ada yang satu, namun ada yang dua, bahkan belasan hingga puluhan. Pendekatan politik pasti. Jadi teko berarti siap jadi tim sukses. Namun di sisi lain ada pendekatan komersialnya. Teko jadi peluang untuk dapat uang. Bayangkan setiap teko diminta setor uang sekian juta jika mau menjadi teko. Jika tidak dengan uang maka boleh dengan tanah. Alhasil para perekrut teko mendapatkan banyak kapling tanah.
Pemborosan APBD
Perekrutan teko yang begitu banyak hanya karena mau ‘membalas jasa’ para tim sukses kepala daerah adalah suatu pemborosan APBD. Kadang-kadang teko ini juga kerjanya tidak jelas. Di satu sisi pemerintah gelorakan semangat berhemat melalui efisiensi anggaran daerah untuk membiayai program-program pro poor, di sisi lain pemerintah justru memboroskan anggaran hanya untuk membayar honor bulanan para teko.
Teko memang sangat seksi diteropong dari kepentingan politik. Maka tak heran ada kepala daerah yang berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya dengan merekrut teko sebanyak-banyaknya. Di salah satu instansi birokrasi misalnya jumlah ASN sebanyak 90-an orang. Tetapi jumlah teko mencapai 40-an orang. Hampir separuh dari jumlah ASN. Secara politis, ini memberi efek besar bagi kepala daerah. Namun dari aspek efisiensi anggaran, bukankah ini suatu pemborosan. Bayangkan setiap bulan para teko diberi honor 2 juta.
Dari satu instansi saja sudah menghabiskan hampir 100 juta sebulan. Setahun hampir 1 miliar. Jika jumlah OPD sebanyak 30, maka kurang lebih 30 miliar setahun untuk membayar teko. Di satu sisi pemerintah berupaya menggenjot berbagai potensi untuk menghasilkan PAD, di sisi lain anggaran dihamburkan untuk sekian banyak teko. Ini kita belum bicara soal kinerja para teko. Apakah berbanding lurus, berbanding terbalik atau malah kontra produktif.
Teko adalah komoditas politik. Dibutuhkan saat kepala daerahnya masih membutuhkan mereka. Jika kepala daerah berganti, nasib teko pun bisa tidak jelas. Apa yang terjadi di Malaka adalah warning bagi pemerintah. Jangan suka-sukanya menjanjikan orang sebagai teko apabila janji itu tidak ditepati. Apalagi keluarga sudah menyerahkan tanah untuk pemerintah. Patut diingat, setelah pertarungan Pilkada selesai, pertarungan berikutnya adalah pertarungan antara tim sukses melawan tim birokrasi dan tim legislatif memperebutkan jatah-jatah teko.
Politik teko yang tidak bisa dikelola secara bijak dan arif bisa menjadi politik teku. Kita di tanah Timor ini tentu cukup familiar dengan kata ‘teku’ ini. Teku adalah rombongan dan gerombolan para pencuri. Beberapa tahun yang silam, para teku sangat familiar. Mereka melakukan aksi pencurian entah hewan, uang maupun barang-barang berharga lainnya. Nah, politik teko bisa menjadi politik teku jika para pemimpin, para kepala daerah memanfaatkan teko hanya untuk keuntungan politik dan komersial semata, tanpa mempertimbangkan kapasitas, kualitas, kapabilitas orang-orang yang sudah lama mengabdi sebagai teko. Bukankah dengan tidak meluluskan para abdi masyarakat entah guru, entah tenaga kesehatan yang sudah mengabdi hingga belasan tahun, para pemimpin sedang menjadi pencuri harapan dan masa depan saudara-saudara kita itu?.(*)
( Isidorus Lilijawa Adalah Pegiat Literasi Politik)
Opini Publik
Opini
Isidorus Lilijawa
pegiat literasi politik
Pos Kupang Hari Ini
POS-KUPANG.COM
Edi Hayong
Opini Sarlianus Poma: KTT ASEAN Epicentrum of Growth, The Opportunity for Indonesian Economic Growth |
![]() |
---|
Opini Petrus Kanisius Siga Tage: Hari Perawat Internasional dan Catatan Tentang Perawat Indonesia |
![]() |
---|
Opini Yohanes Krisostomus Dari: Tuan Rumah ASEAN Summit ke-42 dan Harapan Bagi NTT yang Tertinggal |
![]() |
---|
Opini Petrus Kanisius Siga Tage: ASEAN Summit dan Isu Migran di Wilayah Timur Indonesia |
![]() |
---|
Opini Paul Ama Tukan: Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising |
![]() |
---|