Cerpen

Anak Angu

Kawin tidak harus menunggu kaya. Tua baru kaya lalu kapan kawinnya? Sengsara menahan cinta. Cinta itu anugerah, hadiah istimewa abadi pencipta alam

Editor: Agustinus Sape
DOK POS-KUPANG.COM
Ilustrasi 

Anak Angu

Cerpen: Aster Bili Bora

POS-KUPANG.COM - Kawin tidak harus menunggu kaya. Tua baru kaya lalu kapan kawinnya? Sengsara menahan cinta. Cinta itu anugerah, hadiah istimewa abadi pencipta alam semesta.

Dangu berpikir dan merenung. Kini acara masuk minta. Hewan baru 5 ekor, itu juga bantuan orang lain. Jika belis 100, maka dapat dari mana? Modal yang masih ada: sebidang tanah warisan leluhur. Apa harus jual? Tidak! Anak-istri makan apa nanti!

Tawar-menawar terjadi seperti layaknya di pasar hewan. Akhirnya sepakat belis Linda 20 kerbau 30 kuda. Hari itu diserahkan 5 ekor, sisanya akan dilunasi berdasarkan kesepakatan pula. Selama belis belum lunas, maka Dangu angu: tinggal dan bekerja di rumah ipar dengan hasil dinikmati bersama.

Jika seumur hidup tidak lunas belis, maka siap katanga ngenge angu abadi. Tetapi tidak mungkinlah terjadi. Semiskin-miskinnya Dangu, dia punya harga diri. Apa pun dipertaruhkan asalkan bisa pindah. Katanya, makan tidak makan, yang penting rumah sendiri.

Empat tahun Dangu angu. Dengan sistem gotong-royong, saling menyumbang seluruh keluarga terkait,  maka Linda pindah dengan belis dibayar lunas 50 ekor. Bagaimana daya mengganti sumbangan orang di kemudian hari, akan diatur belakangan. Waktu tidak berhenti berputar.

Dangu punya anak 5 orang: Lobo, Bani, Botu, Koni, dan Leda.  Dari lima orang ada satu  anak angu dan empat lainnya bukan anak angu. Siapakah anak angu? Lobo, anak laki-laki sulung yang lahir di masa Dangu angu.

Anak angu menjadi hak mutlak orang tua perempuan. Ketika lunas belis dan akan pindah adat, anak angu tidak dibawa serta karena nama sudah masuk sebagai anggota marga ayah Linda, yaitu: marga Lobo. Hak waris berupa tanah dan lain-lain diberikan kepada keponakan oleh om-om anak angu.

Seiring waktu Lobo injak usia 20 tahun. Pemuda ganteng sudah layak cari istri. Di sisi lain delapan anak laki-laki dari kedua paman sudah batang-batang pula. Sudah sewajarnya dilakukan pembagian warisan agar keluarga tetap akur.

Kedua paman prakarsai pertemuan keluarga. Delapan anak laki-laki dan Lobo menghadiri acara musyawarah. Dalam pembagian warisan, Lobo diberikan satu hektare, sedangkan 8 laki-laki anak paman masing-masing dapat  setengah hektare.

Kedelapan anak laki-laki paman kompak protes. Mereka menilai pembagian warisan oleh kedua ayah mereka sangat tidak adil. Lobo ikut bicara dalam nada mendukung apa yang digariskan kedua pamannya.

Akibatnya situasi menjadi kacau karena anguleba menilai  ayah mereka lebih sayang keponakan daripada anak kandung. Karena itu Lobo yang dicap sebagai sumber konflik dan pengacau difitnah habis-habisan dan dikejar dengan parang. Ia lari sembunyi di rumah Dangu.

Beberapa hari kemudian dilakukan pula pertemuan di rumah Dangu. Lobo mengeluh seperti peminta-minta agar kiranya ayah dan kedua adiknya berkenan memberikan bagian, biar tempat rumah semata. Dangu sesungguhnya siap memberikan karena Lobo anak kandung, bukan anak tempelan.  

Tetapi Bani dan Botu keras kepala dan tidak memberikan, biar sejengkal. “Dia marga Lobo mengapa minta di marga Roto? Silakan minta bagian pihak om! Tanah sudah sempit, mau bagi bagaimana. Pengacau namanya”

Ketika itu Lobo mau tikam diri mengapa lahir sebagai anak angu. Waktu kecil dimanja-manja, di kala besar diinjak-injak. Nasib apa begini? Pihak om tolak, orang tua kandung lebih tolak. Kepada siapa harus berharap? Kiranya lebih baik ketika lahir dibunuh mati…

Dengan gusar Lobo turun dari balai dan mengikat parangnya di pinggang. Dikira akan potong siapa, kedua adiknya menghindar. Sebelum pergi, entah ke mana, Lobo menatap ayahnya dengan air mata darah.

 “Bapak, supaya bapak tahu. Saya ini adalah hasil gairah cinta pertama bapak dan mama. Sumpah, saya tidak pernah minta untuk dilahirkan. Mengapa saya dibuang begitu saja?!”

Setelah beberapa malam Lobo tidak pulang rumah, maka dicari di berbagai tempat oleh seluruh keluarga terkait. Tidak ditemukan. Karena sudah kehabisan akal, maka disimpulkan begitu saja, bahwa Lobo sudah mati. Maklum ketika itu lagi ganas-ganasnya perlakuan Jepang terhadap pribumi.

Perkawinan Paul dengan Iren membuka tabir yang selebar-lebarnya, bahwa Lobo yang dikatakan sudah mati ternyata beranak cucu-cece di rantau. Paul adalah cece Lobo yang telanjur kawin dengan saudarinya sendiri, Iren yang adalah cece kandung Bani.  

 Waktu urusan adat perkawinan tidak terbayang adanya kaitan darah Paul dan Iren. Orang tua Iren tahunya, bahwa suami Iren berasal dari Jawa karena Paul lahir, besar, dan bekerja di Jawa. Apa lagi nama ayah Paul yang tercantum dalam KTP dan dalam akta perkawinan bukan nama Malo, melainkan Andre.

Setelah memperoleh 2 anak, akhirnya Iren tahu bahwa nama kecil ayah Paul adalah Malo. Itu pun secara kebetulan terucap oleh mama mertua Endah yang agak marah karena Andre tidak belikan sesuatu sesuai pesanan cucu. “Gimana opa Malo gak bawa pesanan cucu?”

Tentu saja Iren kaget karena yang nama Malo biasanya dari Sumba. Kemudian setelah ditelusuri lebih jauh lewat tanya-jawab tentang silsilah Paul, maka diketahui pula bahwa ayah Andre yang bernama Bagus dalam KTP ternyata nama kecilnya Bora, anak dari Lobo.

Silsilah Paul keturunan Dangu disampaikan Iren kepada keluarga. Nono, ayah Iren terkejut dan pukul testa karena anaknya kawin dengan musuh. Bani yang adalah kakek dari Nono dan Nono adalah ayah Iren saudara kandung dengan Lobo yang adalah kakek dari Malo dan Malo adalah ayah Paul. Karena itu, disimpulkan, Paul kawin dengan saudari sendiri.

Tidak malukah Paul dan Iren yang ternyata bersaudara? Sama sekali tidak! Dengan bangganya mereka menyambut dengan suka cita, bahwa perkwinan mereka sebagai perkawinan dalam misi damai persetujuan dan suruhan leluhur.

Apa benar? Ya, karena Paul dan Iren melewati tahap perkenalan yang aneh tidak masuk akal. Iren TKW Malaysia pulang Sumba dengan transit Denpasar. Sebelum melanjutkan perjalanan Iren beranjang sana ke pantai Kuta dan secara sangat kebetulan Paul juga ada di sana.

Dari kejauhan Paul melihat Iren dengan penampilan melebihi ratu. Mata Paul mengikuti langkah demi langkah Iren berjalan di pantai Kuta. Dari belakang kepala terdengar suara ajakan dalam alunan angin sepoi tanpa wajah. Apakah itu suara leluhur?

“Paul, perempuan yang sedang berjalan di pasir putih dialah perempuan terbaik dalam hidupmu. Cepat dekati dan nyatakan cinta.”

Dengan penuh semangat Paul berjalan ke arah Iren. Ketika berpapasan, Paul menyatakan 'halo' dan menyorong tangan untuk salam perkenalan. Iren melihat mata Paul semacam bulan purnama bercahaya indah. Ia tersenyum bahagia karena alam bawah sadarnya berkata.

“Inilah laki-laki terbaik yang akan bersamamu sampai akhir hayat.”

Ketika Paul menyentuh telapak tangan Iren, ada aliran darah cinta persaudaraan. Keduanya berjalan ke arah warung terdekat untuk minum dan cerita lebih rapi. Di warung itulah Paul menyatakan cinta yang sesungguhnya.

Herannya, tanpa pikir panjang kepada lelaki asing yang belum pernah ditemui dan dikenal sebelumnya Iren menyatakan dengan penuh gairah: “I love you so much”. Mereka saling menatap dalam waktu yang agak lama.

Bayang-bayang Iren terlihat dalam bola mata Paul. Sebaliknya bayang-bayang Paul terlihat dengan jelas dalam bola mata Iren. Tanpa saling mengajak keduanya berdiri dan berpeluk-cium bahagia dengan disaksikan pendatang lain di warung itu.

Begitulah cinta pertama Paul dan Iren. Ketika dikenang kembali macamnya tidak masuk akal makhluk yang belum pernah saling mengenal spontan bercinta tanpa pertimbangan. Itulah sebabnya, maka disebut cinta Paul dan Iren atas suruhan leluhur.

Di balik cinta abadi Paul dan Iren, ada misi perdamaian yang wajib dilaksanakan. Leluhur sudah bosan dengan kelakuan anak-cucu-cece yang bermusuhan begitu lama. Leluhur juga sudah sangat malu melihat anak-cucu-cece yang berantakan hidup dalam sekat perbedaan yang penuh dengan dendam, benci, iri, dan dengki.  

“Berhenti! Berhenti! Berhentilah bermusuhan! Loda wee maringi pada wee malala menegur engkau dalam perkara-perkara kecil. Seandainya engkau juga belum paham, maka jangan marah engkau akan ditampar dengan perkara-perkara besar. Apakah harus keok baru sadar?”

Tambolaka, 21 Maret 2022

Catatan:

1. Katanga ngenge: kendali (makna denotasi), tidak berhak (makna konotasi)

2. Anguleba: sapaan/sebutan untuk anak om.

3. Loda wee maringi pada wee malala: wilayah subur nan indah.

Aster Bili Bora, sastrawan tinggal di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Email: asteriusbilibora@gmail.com Antologi cerpennya: Bukan sebuah jawaban (1988), Matahari jatuh (1990),  Bilang saja saya sudah mati ( 2022), dan yang akan menyusul terbit: antologi cerpen Laki yang terbuang, dan antologi Lahore. Karya novel yang sedang disiapkan: Laki yang kesekian-sekian. Antologi bersama pengarang lain:  Seruling perdamaian dari bumi flobamora tahun 2018 , Tanah Langit NTT tahun 2021,  Gairah Literasi Negeriku tahun 2021 .

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved