Cerpen
Seandainya Engkau Perempuan, Dia Tidak Akan Mati
Bagaimana rasanya jadi janda sekarang bagi Bela bukan lagi cerita yang sering didengar dari perempuan-perempuan yang telah mendahuluinya jadi janda.
Seandainya Engkau Perempuan, Dia Tidak Akan Mati
Cerpen: Aster Bili Bora
POS-KUPANG.COM - Bermain judi ala kampung modalnya ayam. Kalau modalnya uang, takut ketangkapan. Sudah pernah terjadi main di bawah tenda duka dengan pasang uang, maka ditangkap lalu diancam hukuman 10 tahun penjara atau denda sekurang-kurangnya dua puluh lima juta. Siapa yang mau? Cari seratus ribu tetapi keluarnya 25 juta. Kerja Gila! Karena itu, main foker sebaiknya tanding ayam. Siapa yang tertinggi jumlah point, dialah yang akan ambil.
Lede banyak kali untung judi ayam. Hitung-hitung sudah 50 ayam yang masuk dalam perut istri-anak. Sesuai janji akan main lagi malam itu. Istri yang juga sudah rasakan nikmatnya hasil judi, ia doa dalam hati supaya Tuhan tolong suaminya pulang dengan membawa beberapa ekor. Seusai makan malam, Lede pamit. Bela mengangguk tanpa kata-kata karena bayi laki-laki yang baru usia 4 hari menangis histeris minta susu.
Satu jam kemudian terjadi keributan di dapur. Lede berusaha gantung diri. Mamanya merampas tali kuda yang sudah terikat di leher Lede. “Manusia tidak tahu bersyukur. Selama 9 bulan engkau dalam kandungan ibu. Ketika lahir sampai dewasa, engkau dalam kasih sayang. Sekarang apa yang engkau buat?” Lede menanggapi sakit hati mamanya dengan tertawa. Dipikir sandiwara, maka mamanya masuk kamar dan membuang tali di bawah tempat tidur. Begitu pula Bela kembali masuk kamar untuk melanjutkan menyusui.
Lede yang selama hidup belum pernah ada nama dalam dunia tarik suara, herannya malam itu ia bersuara merdu dan berhasil meninabobokan sang bayi. Bela yang beberapa malam lalu kurang tidur karena bayinya banyak rewel, dalam pelukan kekasihnya ia tertidur nyenyak dan mimpi indah sedang asyik bermain bola pingpong di bawah terang bulan purnama. Ketika selesai permainan 5 set dengan posisi Bela menang Lede kalah, mereka turun dari bulan dengan dijemput malaikat Gaberial. Ayam berkokok dan burung-burung bernyanyi merdu di pagi hari, Bela belum terjaga dari tidurnya.
Di jalan setapak arah kebun sebelum ayam turun, warga satu kampung heboh teriak dan menangis. Pintu rumah Lede dipukul dan atap dilempar kemiri baru ada yang bangun. Setelah pintu depan dibuka, Bela dan mama mertua dituntun ke arah kebun tempat kerumunan. Dari jarak 30 meter mereka melihat dengan jelas Lede tergantung mati di pohon mahoni. Selendang kuning yang selalu dipakainya kalau akan ke pesta telah menghabiskan nyawa Lede. Dalam nada sedih campur kesal, mamanya teriak menangis.
“ Arro, ana ou..bulle da manoto, tia da palara !” (Aduh, anak..perutku tidak ada guna, rahimku tidak ada nilai) membungkus engkau selama 9 bulan.
Bela kering air mata. Namun raut wajahnya menjelaskan bahwa rasa, hati, dan jiwanya terpukul patah dengan Lede mati tidak terhormat. Mata seakan tidak berkedip menatap korban yang tergantung lurus dengan jarak satu meter dari permukaan tanah. Tiba-tiba badannya terguncang, dan menggigil. Bela hampir jatuh tersungkur di antara batu, untung ada yang tangkap. Dalam posisi pingsan, Bela dipikul masuk rumah.
Ketika polisi tiba di TKP dan akan menurunkan korban, Bela siuman. Ia akan segera dibawa ke Polsek untuk diambil keterangan. Tetapi gagal karena orang tua Lede dan kebanyakan warga kampung mengamuk dan menyalahkan polisi seandainya Bela diduga yang macam-macam.
“Tidak ada yang bunuh. Tadi malam ia sudah melakukan percobaan di dapur dengan tali kuda. Sempat ketahuan dan dicegat. Kita pikir ia main-main, karena tidak ada masalah yang mendahului. Bahkan tadi malam ia tertawa kiki-kaka dan bernyanyi.” Akhirnya polisi pulang dengan kesimpulan Lede bunuh diri sendiri.
***
Delapan tahun yang lalu ketika malam pertama bikin anak, Lede sudah sepakat dengan Bela, bahwa mereka hanya ingin punya anak laki-laki satu orang saja. Anak perempuan mau berapa banyak terserah Tuhan Allah. Alasan yang mendasar sesuai pengakuan Bela, bahwa Lede berharap ingin hidup bahagia. Bosan, katanya, mulai lahir, besar, dan bahkan sampai mati sengsara terus. “Saya mau engkau bahagia, Sayang,“ kata Bela menirukan ucapan Lede di hari pertama bulan madu.
Dari rahim mama lahir lima orang bersaudara: 3 laki-laki dan 2 perempuan. Dengan sistem perkawinan patriarkat, laki-laki yang akan menjadi pewaris kekayaan baik kekayaan berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak. Sebelum meninggal dunia, ayah mereka sudah membagi secara adil tanah warisan masing-masing anak satu hektare.
Dengan telah dibagikan warisan, mama yang masih hidup seakan menumpang kepada anak-anaknya. Ke mana hati senang ia akan ada di sana. Tetapi karena Bela dinilai anak mantu paling baik, apa lagi anak-anaknya masih kecil, maka mama kebanyakan bersama Lede sampai pada kejadian gantung diri.
Setelah lahir anak yang pertama laki-laki, Lede tidak bermimpi untuk harus dapat anak laki-laki yang kedua, apa lagi yang ketiga dan keempat. Cukup satu saja, katanya. Mau tanah di mana lagi yang akan dibagi-bagi kalau laki-laki yang banyak. Tanah satu hektare sudah tidak menjamin orang hidup bahagia. Hasilnya sangat minim, hanya 300 kg padi tiap musim. Kalau nanti anak laki-laki yang banyak dan tanah satu hektare dipotong-potong sebagai warisan untuk mereka pula, maka mau bahagia dari mana? Saya tidak rela anak laki-laki lebih menderita daripada saya. Cukuplah sudah saya yang menderita, kata Lede.
Waktu akan bikin anak yang kedua, Bela dalam kepasrahan yang total. Ia sungguh menyadari, bahwa sehebat-hebatnya perempuan, entah alat bantu secanggih apa pun, dia tidak akan melahirkan kalau tidak ada laki-laki yang menabur benih dalam rahimnya. Atas dasar kesadaran tersebut, maka Lede benar-benar disayang, dicintai, dan sangat dihormati oleh Bela. Kalau ia melihat suaminya kelelahan karena bekerja keras setiap hari, maka diminta atau tidak diminta, Bela akan mengurut dan memijat-mijat seluruh badan Lede. Namun bukan dalam pengertian yang erotis.
Setelah Bela tidak datang bulan, Lede macam orang gila mengungkapkan kebanggan dan kebahagiaan akan memperoleh anak perempuan dengan cara mengelus perut istri. Lebih-lebih setelah usia kandungan 7 bulan, Lede tidak alpa mengelus dan meninabobokan calon anak perempuan dalam rahim sang kekasih.
Ketika tiba saatnya melahirkan dan yang keluar justru jantan pula, Lede stres pukul tembok. Ia menyebut rahim istrinya sebagai rahim bodoh-tolol yang suka menderita. Sudah tidak ada tanah yang subur, justru laki terus yang keluar.
Anak kedua belum berumur tiga tahun Bela hamil lagi. Lede terus berharap semoga anak yang ketiga perempuan. Namun sikap gilanya elus-elus anak dalam kandungan ia hentikan. Kini lebih banyak berdoa supaya anak yang ketiga jangan telanjur laki-laki. Cukup sudah keterlanjuran anak kedua yang juga laki-laki. Kalau sampai anak ketiga telanjur keluar anak laki-laki pula, maka betapa konyolnya hidup ini. Sudah sangat menderita tambah menderita lagi. Tidak tahu mau jadi apa? Niat hati berhenti bikin anak, tapi napsu jalan terus.
Masa penantian tiba. Sudah ada tanda. Dukun bersalin dipanggil untuk membantu. Mau bawa ke rumah sakit, tidak ada fasiltas. Kalau miskin begitu sudah, terima kenyataan. Dengan pertolongan dukun, maka Bela lancar melahirkan dan yang keluar pistol lagi. Minta ampun, sudah konyol tambah konyol.
Lede minggat dari rumah beberapa malam. Ia bermalam di rumah saudarinya yang berumah tangga di kecamatan lain. Ia sungguh marah dan mengutuk istrinya sebagai perempuan tidak laku berahim busuk tolol. Tetapi herannya, mau bikin anak terus dengan rahim tolol si Bela.
Karena sedikit trauma dengan rahim bodoh tolol, maka Lede tidak mau lagi keburu bikin anak. Biar istri merayu dengan segala cara, ia tidak hewel. Kadang ia menghindar dengan cara berlama-lama ngobrol dengan tetangga sampai larut malam. Setelah pastikan Bela sudah pada posisi tidur nyenyak, barulah Lede perlahan-lahan masuk kamar seperti pencuri. Kalau bukan ngobrol dengan tetangga, maka Lede sengaja sibuk kerja malam dengan titi kemiri, atau pekerjaan lain yang juga bermanfaat untuk pengembangan ekonomi.
Setelah anak ketiga empat tahun, suatu malam Lede dan Bela berdiskusi untuk menyepakati satu hal. Apa itu? Bela boleh dilayani kebutuhan seksualnya yang kian membara dengan janji anak keempat mutlak perempuan. Kalau ternyata pistol pula yang keluar, maka siap-siaplah jadi janda muda. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik. “Saya harus bunuh diri, “ kata Lede dengan tegas. Bela tidak berani tanggapi dengan kata-kata. Alam bawah sadar Bela berbisik, perempuan atau laki-laki yang keluar bukan urusan, yang penting sudah lewati malam-malam yang berahmat dengan bercinta indah dan nikmat.
Enam bulan kemudian perut Bela makin menonjol. Hasil pemeriksaan rumah sakit, Bela positif hamil 3 bulan dengan jenis kelamin laki-laki. Sejak hari itu, Bela tidak nyaman rasa. Nuraninya memberontak tidak mau kehilangan Lede dan tidak mau pula jadi janda muda yang akan disiul-siuli duda keren atau pemuda nakal. Karena itu, ia memilih membunuh janin dalam kandungannya.
Beberapa hari kemudian ia mencari dukun yang berani menggugurkan. Namun sepuluh dukun yang sudah ia dekati dengan segala macam pengeluhan, semuanya tidak berani. Takut dosa dan takut kena karmanya. Karena itu Bela berusaha sendiri untuk menggugurkan dengan minum air sabun rinso sepuluh kali dan sepuluh kali pula makan mie rebus yang berbau busuk. Namun hasilnya nihil. Hasil pemeriksaan rumah sakit menjelaskan, bahwa janin Bela makin sehat walafiat dan akan lahir normal beberapa bulan ke depan.
Pikiran Bela makin saja kalut. Ia minta saran pendapat dokter kandungan bagaimana cara terbaik untuk menggugurkan. Hasilnya tetap saja nihil. Dokter tidak sudi melanggar sumpah jabatan.Hukuman moralnya sangat berat dan terancam hukuman malapraktek. Bahkan dokter menyarankan supaya Bela berjiwa besar menerima kenyataan sebagai perempuan yang mendapat anugrah, hadiah cuma-cuma dari Tuhan untuk melahirkan dan membesarkan anak.
“Tanpa perempuan, maka bumi mana pun akan kosong manusia. Perempuan harus bangga sebagai penerus bangsa.” Nasihat dokter ditanggapi Bela dengan anggukan, tetapi hatinya tetap memberontak karena tidak mau kehilangan Lede, dan juga tidak sudi jadi janda muda.
Semua jalan untuk membunuh sudah buntu. Bela pasrah terima kenyataan. Kalau akhirnya Lede tetap tekad bunuh diri karena anak keempat lahir dengan jenis kelamin laki-laki, maka hal itu sudah suratan tangan Lede sendiri. Sudah menjadi pilihan hidup sebagaimana digariskan pencipta. Yang penting, kata Bela, selama hidup bersama sebagai suami-istri saya sayang dia, saya hormati dia.
Setelah genap bulan, akhirnya Bela melahirkan di rumah sakit. Kakak-adik Bela yang sudah ikuti persoalan dari awal, sangat proaktif memberikan dukungan agar Bela melahirkan dengan selamat. Lebih kurang 3 jam berbaring kesakitan, Bela melahirkan normal dan yang keluar pistol lagi. Minta ampun. Alam macamnya sudah enggan bersahabat. Dosa apa memang sehingga yang keluar senjata semuanya.
Lede yang sudah janji bunuh diri justru tidak menampakkan kekecewaan seperti halnya waktu lahir anak kedua dan ketiga. Kali ini ia gembira ria dengan semangat 45. Begitu pula beberapa hari kemudian Lede tetap terlihat bahagia, sehingga hampir seisi kampung menyampaikan profisiat dan salam bahagia dengan lahirnya anak keempat. Di luar dugaan sama sekali, empat hari kemudian Lede mati gantung diri di pohon mahoni belakang rumah, persis pinggir jalan setapak menuju kebun.
Mungkin sudah suratan tangan pula, bahwa setelah lahir anak keempat Bela harus janda muda. Bagaimana rasanya jadi janda sekarang bagi Bela bukan lagi cerita yang sering didengar dari perempuan-perempuan yang telah mendahuluinya jadi janda. Kepada bayi yang ada di pangkuannya ia membisikkan sesuatu.
“Seandainya engkau perempuan, maka ayahmu tidak akan mati.”
Tambolaka, 13 Maret 2022
Aster Bili Bora, sastrawan tinggal di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Email: asteriusbilibora@gmail.com
Antologi cerpennya: Bukan sebuah jawaban (1988), Matahari jatuh (1990), Bilang saja saya sudah mati ( 2022), dan yang akan menyusul terbit: antologi cerpen Laki yang terbuang, dan antologi Lahore. Karya novel yang sedang disiapkan: Laki yang kesekian-sekian. Antologi bersama pengarang lain: 1) Seruling perdamaian dari bumi flobamora tahun 2018 2) Tanah Langit NTT tahun 2021, 3) Gairah Literasi Negeriku tahun 2021