Berita Nasional
Ternyata Bukan Ahok Orang Tionghoa yang Pertama Pimpin DKI Jakarta, Lantas Siapa? Ini Penjelasannya
Anda salah kalau menyebutkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merupakan orang pertama dari etnis Tionghoa yang pertama pimpin DKI Jakarta.
POS-KUPANG.COM - Anda salah kalau menyebutkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merupakan orang pertama dari etnis Tionghoa yang pertama pimpin DKI Jakarta.
Mengapa salah? Karena orang etnis Tionghoa yang pertama kali memimpin DKI Jakarta, adalah bukan Ahok.
Lantas siapa sesungguhnya figur tersebut?
Untuk Anda ketahui, Gubernur DKI Jakarta pernah dijabat oleh sosok berdarah Tionghoa.
Sosok etnis Tionghoa itu mengemban tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, jauh sebelum Ahok.
Sosok tersebut adalah Henk Ngantung. Dia seorang pelukis ternama Indonesia kala itu.
Baca juga: Ahok Kena Sindir Gara-gara Formula E, Gerindra Bela Anies Baswedan?

Namun Henk Ngantung menjabat sebagai Orang Nomor Satu di DKI Jakarta tersebut, hanya seumur jagung.
Kepemimpinan Henk Ngantung di ibu kota negara kala itu hanya sebentar saja.
Henk Ngantung mengemban jabatan tersebut tak sampai satu tahun. Ia berkuasa hanya 11 bulan lamanya.
Masa kepemimpinannya terhitung mulai Agustus 1964 hingga Juli 1965.
Sejarah juga mencatat bahwa ada tiga pejabat yang masa kekuasaannya sanga singkat, tak sampai satu tahun.
Pertama, Daan Jahja. Sosok ini memimpin mulai Desember 1949-Februari 1950).
Berikutnya Henk Ngantung, mulai Agustus 1964 sampai Juli 1965.
Berikutnya lagi, Soemarno Sosroatmodjo (Juli 1965-April 1966).
Dari ketiga mantan pejabat tersebut, Henk Ngantung merupakan sosok yang paling apes dalam jabatannya.
Dari catatan sejarah, terungkap bahwa Daan Jahja menjabat sangat singkat sebagai Gubernur Militer Jakarta. Ia menjabat hanya tiga bulan saja.
Ia ditunjuk Presiden Soekarno memegang kendali Ibu Kota setelah Indonesia secara resmi diakui kedaulatannya seusai Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Saat itu memang kondisi politik nasional masih sangat labil.
Untuk diketahui, sebelum menjadi pejabat Gubernur DKI Jakarta, Henk Ngantung mendampingi Soemarno Sosroatmodjo sebagai gubernur.
Baca juga: Foto Bareng Sahabat, Veronica Tan Dipuji Bak Artis Korea, Begini Penampilan Terbaru Eks Ahok BTP
Soemarno Sosroatmodjo berkuasa selama 4 tahun mulai dari tahun 1960 - 1964.
Setelah empat tahun menjabat, Soemarno Sosroatmodjo digantikan oleh Henk Ngantung.
Selama memimpin DKI Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo didampingi oleh Henk Ngantung.
Namun ketika Henk Ngantung memimpin DKI Jakarta, tiba-tiba ia dicopot dari jabatannya pada Juli 1965.
Meski demikian, Henk Ngantung tercatat sebagai orang etnis Tionghoa dan orang non-Muslim pertama yang menjadi gubernur Jakarta.
Apesnya, tak lama setelah Henk ditunjuk Presiden Soekarno sebagai gubernur, ia dicopot tanpa sebab yang jelas.
Padahal, Henk punya kedekatan dengan Soekarno yang disinyalir berawal dari dunia seni.
Henk seorang pelukis andal yang beberapa kali diminta Soekarno mendesain sejumlah monumen, termasuk Tugu Selamat Datang dan Monumen Pembebasan Irian Barat.

Tahun 1965, aroma kekuasaan Soeharto mulai jelas tercium. Karier Henk sebagai birokrat pun tamat ketika ia dicap sebagai “pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia)”.
Cap yang kemudian jadi kegemaran rezim Orde Baru di bawah Soeharto itu, menjadikan Henk Ngantung tak bisa berkutik.
Tak diketahui pasti dari mana asal mula tuduhan “pengikut PKI” kepada Henk Ngantung itu.
Dalam kasus cap PKI terhadap Henk, pria kelahiran Manado, 1 Maret 1921, itu tak pernah disidang dan diberi kesempatan untuk membela diri.
Cap PKI merontokkan karier Henk. Istri Henk, Hetty Evelyn Ngantung Mamesah pun merasakan dampaknya.
Dan, Hetty Evelyn Ngantung pun membeberkan kenangan pahitnya ketika suaminya dicopot tanpa alasan.
“Pagi-pagi di depan rumah kami di Tanah Abang II banyak RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) sedang mengepung tangsi Tjakrabirawa."
Baca juga: Ahok Ramal 5 Tahun Lagi Tidak Ada yang Beli BBM, SPBU Bakal Sepi, Apa yang Terjadi pada Kendaraan?
"Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kehidupan kami selanjutnya menjadi susah hingga harus jual rumah,” kata Evelyn dalam berita harian Kompas pada 9 Juni 2006.
Tragedi yang menimpa kehidupan Henk dan istri bermula pada sekitar Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Peristiwa itu juga yang memaksa Henk dan Evelyn melego rumah mereka di kawasan cukup elite, Jalan Tanah Abang II, Jakarta.
“Kami jual rumah itu karena tidak punya uang lagi. Kan sejak Pak Henk dicopot sebagai gubernur tahun 1965, Pak Henk tidak diberi pensiun. Sampai akhirnya tahun 1980, baru diberi uang pensiun oleh pemerintah,” ujar Evelyn (harian Kompas edisi 14 Oktober 2012).
Uang hasil penjualan rumah di Jalan Tanah Abang II itu digunakan untuk membeli rumah di permukiman padat penduduk di pinggir Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, seharga Rp 5,5 juta.
Pasca Henk Ngantung Tutup Usia
Sejak 12 Desember 1991, Evelyn tetap tinggal di rumah mereka di gang sempit Jalan Dewi Sartika.
Saat itu, Henk Ngantung telah tutup usia. Alhasil, istri mantan gubernur Jakarta pun mesti tidur di kolong atap rumah yang hampir seluruhnya bocor.
“Saya bertahan di rumah ini karena penuh kenangan dengan Pak Henk,” tutur Evelyn (Kompas 14 Oktober 2012).
Banyak ruangan di rumah itu yang tak bisa lagi dipakai.
Beberapa foto dan lukisan (Henk seorang pelukis) terpaksa hanya ditaruh di kursi, karena tidak aman jika dipajang di dinding.
Begitu juga dengan tumpukan sketsa karya tangan Henk mangkrak dalam lemari.

Salah satunya sketsa Tugu Selamat Datang. Satu-satunya ruangan yang aman, adalah dapur. Di dapur inilah Evelyn melepas lelah dan tidur bila malam tiba.
“Hanya tinggal ruangan ini yang aman untuk tidur. Yang lain sudah bocor atapnya,” ujarnya.
Lima belas tahun sejak dicopot dari jabatannya, Henk kemudian diberi uang pensiun oleh pemerintah. Jumlahnya “hanya” Rp 850.000 per bulan.
Uang itu tak cukup buat sekadar menambal aneka kerusakan di rumah tersebut.
Baca juga: Dulu Dihabisi Ahok Gegara Banjir, Lalu Jadi Orang Dekat Anies Baswedan, Kini Sering WA Ahok, Lho?
Setelah Henk meninggal, hanya uang pensiun inilah yang diandalkan Evelyn untuk bertahan hidup.
Baru pada 24 April 2013 Pemprov DKI Jakarta berjanji memugar atap rumah Henk yang rusak parah.
Harian Kompas terbitan 24 April 2013, melaporkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu menjabat sebagai wakil gubernur DKI, memerintahkan Dinas Perumahan segera merenovasi atap rumah Henk yang sudah bocor dan nyaris roboh.
“Saya minta Dinas Perumahan agar mengganti atap dengan atap baja ringan,” ujar Ahok seusai menerima Evelyn Ngantung Mamesah di Balai Kota DKI Jakarta pada 23 April 2013.
Tak sampai setahun Evelyn menikmati rumah hasil pemugaran itu. Karena pada 3 September 2014, Evelyn tutup usia.
Evelyn dikebumikan dalam satu liang lahat dengan Henk Ngantung di TPU Menteng Pulo. (*)
Artikel ini telah tayang dengan judul: Sebelum Ahok, Henk Ngantung Lebih Dulu Jadi Gubernur DKI dari Etnis Tionghoa, Menderita Dicap PKI