Opini
Kembalikan Otonomi Daerah ke Spirit Awalnya
Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera adalah visi utama otonomi daerah.
Namun di balik kesuksesan tersebut ditemukan pula sejumlah permasalahan jika tidak hendak mengatakan kegagalan. Sebab jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, para pemikir sudah mewanti-wanti beberapa persoalan yang akan muncul ketika otonomi daerah diterapkan.
Permasalahan yang dimaksudkan adalah timbulnya raja-raja kecil, praktek korupsi yang menjamur, konflik horizontal, APBD yang lebih besar untuk belanja pegawai, birokrasi yang lamban, dan egoisme antardaerah, serta permasalahan sejenisnya (Rohman Budijanto, Jawa Pos, 4/10/2012).
Dengan kata lain, permasalahan, yang dahulunya amat menonjol terjadi di lingkaran Pusat, berpindah ke Daerah, hanya beda locus.
Deskripsi tentang penyelewengan kewenangan Kepala Daerah sebagai ekses dari pelaksanaan otonomi daerah dapat ditemukan dalam beberapa contoh yang disebutkan berikut ini.
Kompas.com 21/1/2022 mencatat, sejak KPK dibentuk sudah 167 Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi terdiri dari 22 Gubernur dan 145 Bupati/Wali Kota. Belum terhitung elite lokal dan pimpinan lembaga/instansi lainnya di daerah.
Lebih lanjut dijelaskan, angka tertinggi penangkapan Kepala Daerah yang terlibat kasus korupsi terjadi pada tahun 2018 yakni 32 Kepala Daerah yang terdiri dari 2 Gubernur dan 30 Bupati/Wali Kota.
Kasus korupsi terbaru adalah tiga operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Kepala Daerah cuma dalam kurun waktu kurang dari satu bulan.
Kemudian penggunaan kekuasaan yang melebihi batas kewajaran dapat dilihat dalam kasus penutupan Bandara Turelelo Soa di Kabupaten Ngada (Tempo.co 21/12/2013). Aksi memblokade Bandara tersebut dilakukan oleh Satpol PP atas perintah Bupati Ngada Marianus Sae. Akibatnya pesawat Merpati dengan nomor penerbangan 6516 batal mendarat dan harus kembali ke Bandara El Tari Kupang. Dalam kasus itu, Mendagri tidak dapat berbuat apa-apa kecuali sanksi yang sifatnya cuma teguran.
Demikian pula kasus Bupati Garut, Aceng Fikri, yang diduga menikah dengan anak di bawah umur. Dalam kasus ini Aceng Fikri tidak menunjukkan sikap penyesalan, apalagi rasa bersalah (Tribunnews.com 28/11/2012). Ia malah menolak berhenti dari jabatannya dan lebih dari itu, dengan penuh percaya diri dia berani menggugat Mendagri (Koran Jakarta, 26/12/2013).
Tindakan keberanian seorang oknum pejabat negara yang membuat ‘geleng-geleng kepala’ (baca: irasional). Seolah sang Kepala Daerah itu memiliki hak impunitas, tidak dapat disentuh oleh hukum, bebas berbuat apa saja.
Pembeberan sejumlah Kepala Daerah yang menyalahgunakan kewenangan di sini, tidak hendak menafikan keberhasilan Kepala Daerah lainnya yang telah menggoreskan tinta emasnya dengan sederet prestasi.
Namun deretan kasus-kasus itu paling tidak sudah cukup menggelisahkan. Lebih jauh lagi, kondisi tersebut mestinya menjadi perhatian serius dari semua elemen bangsa bahwa pada hakekatnya terdapat masalah kepemimpinan dan integritas yang mendesak untuk dicari solusinya, selain karena persoalan lainnya seperti ketidaksanggupan mengendalikan diri, konsumerisme, hedonisme.
Menyimpang dari spirit awal
Bertolak dari kondisi yang dipaparkan di atas dan seiring perjalanan waktu, de facto, terjadi pergeseran dalam memaknai otonomi daerah dan menyelenggarakan Pemerintahan di Daerah. Terdapat kesan, setiap Kepala Daerah memiliki perbedaan penafsiran terhadap amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 ketika menjalankan Pemerintahan di Daerah. Pemimpin Daerah seolah memiliki ‘kebebasan absolut’ dalam menafsir dan melaksanakan perintah UU tersebut.
Otonomi daerah pun, oleh sebagian Kepala Daerah, diartikan sebagai kekuasaan tanpa batas. Mereka merasa tidak perlu lagi ‘tunduk’ (baca: taat) pada otoritas Pusat. Pemerintah Pusat seakan-akan tidak berdaya terhadap Kepala Daerah yang terang-terangan menyalahgunakan kewenangannya.