Opini
Kembalikan Otonomi Daerah ke Spirit Awalnya
Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera adalah visi utama otonomi daerah.
Kembalikan Otonomi Daerah ke Spirit Awalnya
Oleh: Arnoldus Nggorong
POS-KUPANG.COM - Sebelum otonomi daerah digulirkan, kita pernah meniti jalan panjang bernama ‘sentralisme’ dengan segala dampak dan dinamikanya. Semua urusan diatur oleh Pusat. Berbagai program ditentukan oleh Pusat. Daerah, dalam hal ini Provinsi dan Kabupaten/Kota, hanya sebagai objek.
Dalam konteks ini, relasi antara Pusat dan Daerah bersifat linier, tidak ada hubungan timbal-balik. Dalam rumusan lain, Pusat mendominasi segala urusan di daerah. Apa pun yang sudah ditetapkan oleh Pusat, Daerah wajib melaksanakannya.
Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok antara Pusat dan Daerah. Lebih dari itu, dampak substansialnya adalah kebebasan dipasung, kesetaraan direduksi, partisipasi rakyat dikerdilkan, dan kedaulatan rakyat dinafikan.
Kondisi tersebut memicu lahirnya berbagai persoalan. Salah satu yang cukup menonjol adalah keinginan segelintar orang di daerah untuk memisahkan diri dari NKRI. Sikap tersebut kemudian akrab disebut dengan terminus ‘disintegrasi’ terutama pada masa Orde Baru.
Belajar dari pengalaman tersebut, lahirlah otonomi daerah pada tahun 1999, satu tahun setelah Reformasi. Otonomi daerah dengan ‘desentralisasi’-nya dimunculkan untuk memperlawankannya dengan ‘sentralisasi’.
Otonomi daerah diluncurkan dengan pertimbangan Daerah lebih mengenal apa yang menjadi kebutuhan dan permasalahannya. Dan karena itu, Daerah pula yang lebih mengetahui apa yang mesti dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk bagaimana cara untuk memecahkan masalah dan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang melilitnya.
Dengan kata lain, Otonomi daerah dengan desentralisasinya memungkinkan orang-orang di daerah mengeksplorasi segala sumber daya yang dimiliki. Otonomi daerah memberi ruang yang lebih leluasa kepada orang-orang di daerah untuk membangun, mengembangkan, dan menata daerah dengan memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki, termasuk kekhasan dan kearifan lokalnya masing-masing.
Dalam konteks ini, dominasi pusat dikurangi dan hanya dibutuhkan dalam kerangka keutuhan NKRI.
Spirit itu terdapat dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, “Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD Negara Republik Indonesia 1945, pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Spirit itu lebih diperjelas lagi dalam pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatakan, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Spirit otonomi daerah yang dimaksudkan di atas telah mendorong kemajuan yang menggembirakan dan signifikan bagi warga masyarakat di daerah. Aktivitas pembangunan di daerah mulai tampak. Akses jalan ke daerah-daerah yang terisolir mulai dibuka meski belum benar-benar maksimal.
Sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan sudah sampai ke pelosok-pelosok. Kebebasan berpendapat termasuk di dalamnya berbenturan ide dan gagasan sudah menjadi sesuatu yang lumrah dalam alam demokrasi.
Di sini dapat dilihat dalam riak-riak kecil demonstrasi yang digelar segelintir warga masyarakat sipil sebagai salah satu contohnya, walau kadang juga berujung konflik terutama saat pilkada.
Permasalahan klasik