Gaduh Politik DPRD Versus Sepi Lelang JPTP Ende
Kita patut menduga kuat bahwa proses pemilihan wakil bupati Ende berjalan dalam alur irasionalitas demokrasi dan politik.
Gaduh Politik DPRD Versus Sepi Lelang JPTP Ende
Oleh Steph Tupeng Witin
Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2019)
POS-KUPANG.COM - Selama pertengahan 2021, panggung politik Ende gaduh oleh sandiwara pemilihan wakil bupati Ende yang kini menuai “perlawanan” baru secara rasional.
Artinya, kita patut menduga kuat bahwa proses pemilihan wakil bupati Ende berjalan dalam alur irasionalitas demokrasi dan politik.
Sandiwara ini diduga kuat disutradarai oleh para politisi yang sudah tenar dalam soal “kerusuhan politik” lokal Ende.
Nama-nama itu pun bukan orang asing dalam kasus dugaan korupsi gratifikasi PDAM Ende.
Dalam kasus gratifikasi PDAM Ende, publik tahu nama Fransiskus Taso (sekarang Ketua DPRD Ende), Erik Rede (memimpin sidang penetapan kasus gratifkasi PDAM), Heri Wadhi, Sabri Indra Dewa, Orba K. Ima, Kadir Mosa Basa, Fian Moa Mesi dan Yohanes Pela.
Kegaduhan politik Ende bukan hal yang baru karena aktornya adalah pemain lama yang malang melintang dalam urusan kerusuhan politik.
Publik patut menduga kuat, kerusuhan politik lokal ini hanya sandiwara penetrasi permainan lebih intens ke dalam tubuh birokrasi.
Sosok wakil bupati yang diharapkan mayoritas anggota DPRD Ende adalah yang bisa dikendalikan dan diatur mengikuti hasrat mereka.
Sutradara utama dijuluki “The Founding Fathers.”
Andaikan yang terpilih adalah sosok wakil bupati berintegritas, paham tupoksi, berpengalaman dalam birokrasi dan cerdas, maka celah bagi para pemain ini untuk “menyorongkan tangan” ke birokrasi akan tertutup.
Maka publik menduga, pemilihan wakil bupati Ende berlangsung dalam aras pemikiran ini sehingga hasilnya pun tidak mengejutkan rasionalitas mayoritas publik.
Kegaduhan panggung politik Ende untuk memperebutkan “bola muntah” jabatan Wabup Ende tidak diimbangi dengan proses lelang Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) di Birokrasi Ende yang sangat sepi pelamar sepanjang Oktober 2021.
Memang politisi di Ende lebih doyan rusuh karena dalam kerusuhan, rasionalitas mati dan irasionalitas tumbuh subur.
Politisi rusuh agar menghadirkan demo-crazy di ruang publik.
Sementara birokrasi sepi karena mungkin ASN lebih berpikir soal urgensi dan efektivitas kinerja yang mengandaikan profesionalisme dan jenjang karier ketika berhadapan dengan pimpinan “elite” birokrasi yang kinerjanya sangat diragukan sehingga kolusi dan nepotisme menjadi “barang jualan.”
Sebagian birokrat yang waras dan rasional tahu bagaimana para politisi yang kehilangan urat malu bisa menerobos dinding birokrasi untuk menancapkan kuku “proyeknya.”
Maka birokrasi Ende butuh sosok pemimpin yang “kuat” kalau idealismenya adalah hadirnya birokrasi bersih dan bebas KKN.
Proses politik pemilihan wakil bupati di ruang DPRD Ende telah mengembuskan angin apatisme bagi kalangan ASN yang rasional dan profesional.
Proses politik mesti mendukung kinerja birokrasi, bukan mengobok-obok birokrasi menjadi semacam panggung uji coba penaklukan hasrat politik.
Target Nasional
Salah satu target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah mewujudkan pemerintahan kelas dunia (world class government).
Aspek yang menjadi keunggulan adalah quality/kualitas (yang terus ditingkatkan), cost/biaya (terus diturunkan menjadi lebih efisien dan terjangkau), time/waktu (proses kerja yang lebih cepat) dan satisfaction/kepuasan (kepuasan pengguna layanan dengan segala kemudahan).
Pemerintahan kelas dunia didukung oleh birokrasi kelas dunia yang memiliki visi dan strategi global yang diwujudkan dalam kenyataan, berpikir global dan bertindak lokal, tidak puas dengan status quo, memberdayakan karyawannya dan berpegang pada etika dan menjadi warga masyarakat yang baik.
Birokrasi kelas dunia harus mampu melakukan tindakan kelas dunia (world class action), seperti inovasi yang terus menerus, membangun kapabilitas untuk maju dalam jangka panjang, berani bertindak dengan pendekatan baru, pengumpul dan pengguna pengetahuan, setiap gagasan baik dipraktikkan.
Di dalam tubuh birokrasi kelas dunia terdapat SMART ASN, yang memiliki profil sebagai Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, berjiwa nasionalisme, menjunjung tinggi profesionalisme, berwawasan global, menguasai teknologi informasi (IT) dan bahasa asing, ramah dalam bersikap/melakukan pelayanan (hospitality), sanggup bekerja sama dalam jejaring lintas fungsi (networking) dan memiliki semangat kewirausahaan (entrepreneurship).
Sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, promosi, rotasi dan pengembangan karier PNS harus mempertimbangakan aspek integritas, kompetensi, kinerja dan kualifikasi (merit system).
Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP)/Eselon II B merupakan salah satu jabatan “puncak” karier ASN di kabupaten/kota. Setelah jabatan Pimpinan Tinggi Madya/eselon II A/Sekretaris Daerah.
Tidaklah berlebihan bila posisi ini menjadi impian hampir sebagian besar ASN di daerah.
Salah satu indikasinya adalah bahwa seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama biasanya menjadi magnet bagi ASN yang memenuhi syarat untuk ambil bagian menjadi peserta seleksi.
Hampir dapat dipastikan bahwa jumlah pelamar dalam suatu jabatan, melebihi (dan bahkan berlipat) dari syarat pelamar minimal (3 orang).
Semua tentu berharap bahwa proses berjalan kompetitif dan objektif.
Jabatan pada level ini berada pada posisi strategis (di daerah), maka tidak berlebihan bila proses rekrutmennya diatur tersendiri oleh peraturan perundang-undangan (Permenpan RB) No. 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara terbuka dan kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Proses rekrutmen/seleksi jabatan ini melibatkan panitia seleksi dari berbagai unsur.
Hasil kerja panitia seleksi disampaikan kepada kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian.
Panitia seleksi sampai pada batasan menyampaikan 3 (tiga) peserta terbaik untuk masing-masing jabatan. Oleh kepala daerah ditetapkan (dipilih) satu orang dalam setiap jabatan.
Penetapan (pengangkatan) pejabat hasil proses ini menjadi kewenangan “prerogatif” kepala daerah. Maka diharapkan menghadirkan keputusan yang objektif, rasional dan bebas kepentingan.
Mekanisme ini merupakan terjemahan dari merit system dan ASN yang ditetapkan untuk menduduki jabatan ini adalah terbaik, yang memenuhi standar kompetensi Jabatan ASN sesuai amanat regulasi (Permenpan RB Nomor 38 Tahun 2017 dan Keputusan Menpan Nomor 409 Tahun 2019).
Konteks Birokrasi Ende
Pemerintah Daerah Kabupaten Ende menyelenggarakan seleksi terbuka pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) untuk 8 (delapan) jabatan yang sampai saat ini lowong.
Sampai dengan batas akhir pendaftaran dan penerimaan berkas, ternyata beberapa jabatan belum memenuhi syarat jumlah pelamar minimal (3 orang).
Kondisi ini akhirnya mengharuskan perpanjangan waktu pendaftaran dan penerimaan berkas selama 7 hari kalender.
Sepinya peminat dalam proses seleksi kali ini berbanding terbalik dengan proses yang sama tahun 2019.
Tetapi rupanya proses sama dalam dalam waktu berbeda ini mempunyai hubungan.
Sebuah komentar bernada kritik datang dari salah seorang anggota DPRD Ende,
“ .....Saya lihat ada indikasi traumatik soal keputusan seleksi di masa lalu, dimana keputusan tidak berdasarkan hasil seleksi....Ada kesan non teknis yang lebih mendominasi keputusan dan seleksi terkesan cuma formalitas belaka. Bisa juga ada pembenaran sinyalemen dan isu yang berkembang di ruang publik, jabatan yang dilelang sudah ada jagonya. Kondisi ini sangat mempengaruhi minat untuk mengikuti seleksi......” (Kelimutu Pos, 25/10/2021).
Pertanyaan reflektif: ada apa dengan hasil dari proses yang sama di tahun 2019? Hanya panitia seleksi dan PPK yang tahu.
Para peserta kala itu dan publik hanya menerima hasil meski dengan menyisakan tanda tanya. Minimal sebuah evaluasi diri peserta akan kekurangannya sehingga tidak menjadi pilihan pimpinan karena nilai akhir seleksi itu bukan menjadi haknya untuk tahu.
Baca juga: Erik Rede Ditetapkan Sebagai Wakil Bupati Ende Terpilih, Ini Jumlah Suara yang Diraihnya
Argumentasi objektif yang dapat diutarakan terkait sepinya peminat yang mendaftar adalah bahwa proses seleksi ini mengharuskan beberapa syarat administrasi.
Misalnya, sertifikat latihan teknis, sertifikat pendidikan penjenjangan/struktural.
Sepinya pendaftar dalam kasus ini bisa dilihat sebagai kondisi dimana sangat sedikit ASN yang memenuhi syarat (administrasi).
Pertanyaan selanjutnya, ada apa dengan manajemen aparatur pada Pemerintah Daerah Kabupaten Ende beberapa tahun belakangan ini?
Apakah aspek peningkatan kapasitas teknis dan manajerial bagi ASN menjadi hal yang penting?
Sudahkah merit system diterapkan dalam manajamen ASN?
Masih banyak pertanyaan serupa yang dapat dengan mudah terdengar dalam desas-desus publik di warung kopi, media sosial, media online dan sebagainya.
Terkait ini banyak pihak pasti menghadirkan berbagai argumentasi pembenaran yang mungkin saja akan dihadirkan di ruang publik.
Tetapi salah satu realitas objektif berikut ini justru berbicara yaitu nilai hasil evaluasi akuntabilitas kinerja tahun 2020 berpredikat “CC”. Predikat ini sama dengan tahun 2019.
Kemenpan RB menetapkan bahwa predikat ini menunjukkan rendahnya tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran jika dihubungkan dengan capaian kinerja.
Menerjemahkan hasil penilaian ini dari sisi daya dukung kapasitas sumber daya aparatur, maka kita dapat mengatakan bahwa hasil dari proses seleksi JPTP yang dilakukan pada tahun 2019 tidak mampu memberikan dampak signifikan kepada akuntabilitas kinerja.
Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang dipakai dalam menentukan (memilih) pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada proses sebelumnya perlu dievaluasi.
Hal ini sangat membutuhkan keberanian PPK. Publik justru sangat meragukan keberanian PPK saat ini.
Tergilas Perubahan
Saat ini, di Pemerintahan Daerah Kabupaten Ende terlihat keharmonisan yang luar biasa antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Strategi kompromi telah menjadi senjata ampuh untuk melahirkan stabilitas politik di daerah ini.
Tetapi, yang namanya politik selalu kembali kepada citranya: “tidak ada makan siang gratis”.
Dampaknya adalah poilitk seolah menjelma menjadi panglima dan sekaligus “ratu adil” yang dapat tampil perkasa untuk menyelesaikan berbagai persoalan.
Tidaklah mengherankan kalau beberapa keputusan strategis birokrasi justru beraroma kepentingan, termasuk juga berpotensi memengaruhi hasil akhir proses seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama.
Bisa jadi inilah akar masalah sekaligus alasan yang ingin dikemukakan oleh sebagian kalangan yang telanjur skeptis dengan proses seleksi JPTP ini: sekadar formalitas, sudah ada jagonya.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah beredarnya dugaan bahwa hasil akhir proses ini dikaitkan dengan proyeksi menuju tahun 2024.
Baca juga: Ini Orang Pertama Dihubungi Erik Rede Usai Menang Pemilihan Wakil Bupati Ende
Bila sudah seperti ini, maka harus diakui bahwa manajemen aparatur birokrasi sudah terlalu jauh tercebur dalam kepentingan politik.
Birokrasi bukan berpikir soal pelayanan kepada masyarakat, tetapi lebih cenderung soal bagaimana pemilu mendatang.
Saat ini banyak pemerintah daerah di Indonesia seolah berlomba memperbaiki strategi pelayanannya kepada masyarakat dengan penataan berbagai instrumen pendukung (SDM, sarana dan prasarana, SOP).
Sejalan dengan itu, organisasi perangkat daerah bersama aparaturnya berpacu melakukan inovasi dan memberikan kinerja terbaik.
Kepada mereka yang berkinerja baik dan berprestasi, diberikan penghargaan, promosi, pengembangan kapasitas dan karier.
Merit system mendapatkan tempat sekaligus memberikan ruang kompetisi bagi aparaturnya.
Birokrasi pemerintah saat ini menghadapi tantangan era Teknologi 4.0.
Kemenpan RB bahkan menjawabnya dengan mencoba menghadirkan Birokrasi 4.0 yang bercirikan efisiensi pelayanan, akurasi pelayanan, percepatan pelayanan, fleksibilitas kerja.
Di era ini pemerintahan daerah yang akan memenangkan persaingan adalah yang cepat mengambil keputusan: the fast eat the slow (Sebastian Stern, et al, 2018).
Salah satu faktor kunci adalah sumber daya aparatur yang mumpuni.
Cerita seleksi JPTP sepi peminat sejatinya hanyalah sebagian kecil dari ekspresi protes ASN terhadap manajemen ASN yang terjadi akhir-akhir ini di Pemda Ende.
Publik sudah mengetahui itu, meski ada banyak pihak yang mencuci tangan menunjuk sikap tak bersalah, dengan berbagai argumen pembenar.
Menghadapi tantangan dunia sebagaimana digambarkan di atas, apakah Pemda siap hadapi perubahan?
Jawabannya: Tidak!
Pemerintah Daerah Kabupaten Ende: antara eksekutif dan legislatif, dari pimpinan sampai dengan tenaga pelaksana, saat ini sedang asyik mencari makan serta mengamankan kepentingannya (pribadi dan kelompok) masing-masing.
Kita semua siap-siap untuk tetap tertinggal dan bahkan digilas oleh perubahan.*
Berita Kabupaten Ende lainnya